Jumat, 16 September 2011

Dosa-Dosa Besar dan Taubat


I.     PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini yang dilahirkan secara fitrah, yaitu dalam keadaan yang suci dari dosa-dosa. Namun seiring dengan berjalannya waktu manusia yang dibekali Allah akal, fikiran dan nafsu ia mulai tamak dengan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Inilah kiranya yang membuat manusia memiliki potensi untuk berbuat dosa. Perbuatan dosa terjadi ketika manusia tersebut tidak dapat menyeimbangkan antara akal, fikiran dan nafsu sehingga manusia tersebut diperbudak oleh hawa nafsu yang menyelimutinya.
Perbuatan manusia yang berlebihan sehingga mendapatkan dosa dapat diperbaiki melalui cara taubat, yaitu menghentikan perbuatan berdosa tersebut dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan penuh rasa ikhlas dan mengharap ridha-Nya.

II.     POKOK PEMBAHASAN
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang:
A.  Definisi Dosa-Dosa Besar
B.   Definisi Taubat dan Tingkatannya
C.  Hadits-Hadits Tentang Dosa Besar dan Taubat
 
III.     PEMBAHASAN
A.  Defininsi Dosa-Dosa Besar
Sebagian ‘ulama’ telah membatasi dosa besar dengan tiap-tiap dosa yang disertakan dengan ancaman atau hukuman had atau kutukan. Maka tiap-tiap dosa yang diketahui bahwa kerusakan yang ditimbulkan olehnya, sebagai kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan yang diancam dengan siksaan atau hukuman had, atau kutukan, dipandanglah dosa besar. Kemudian Ibnu Abdis Salam berkata pula: “yang lebih patut menjadi pembatasan bagi dosa besar, ialah sesuatu dosa yang dirasakan bahwa orang yang mengerjakannya, menganggap enteng larangan agamanya, sebagai yang dirasakan oleh orang-orang yang mengerjakan sekecil-kecil dosa besar yang sudah dinashkan itu”. [1]
Abu Hasan Al-Wahidi berkata: definisi dosa besar tidaklah dapat kita ketahui. Syara’ hanya menyifatkan beberapa dosa dengan besar dan beberapa dosa yang lain dengan kecil, sedang beberapa dosa lagi tidak disifatkan dengan suatu sifat, sedang dia meliputi kecil dan besar. Hikmah tidak diterangkannya hal itu, supaya para hamba meninggalkan semua dosa.[2]

B.  Definisi Taubat dan Tingkatannya
v  Definisi Taubat
Pengertian taubat menurut bahasa berarti kembali, dan kata taubat ini adalah kata sifat yang biasa dipakai oleh Tuhan dan manusia. Orang yang melakukan kesalahan berarti lari dari rahmat Allah. Apabila ia meninggalkan sebuah perbuatan dosa, berarti ia kembali kepada-Nya. Secara terminologis, taubat mencakup tiga syarat: (1) meninggalkan perbuatan dosa, (2) menyesali perbuatannya, (3) bertekad tidak akan melakukannnya kembali. Salah satu unsur taubat adalah rasa penyesalan. Sebab rasa ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik, rasa menyesal ini akan menampakkan bahaya dosa di mata pelakunya, disamping siksaan yang bakal diterimanya dan akibat jelek yang akan menimpanya.
Taubat adalah penyesalan yang benar. Taubat mampu mendorong seseorang untuk merubah tingkah lakunya yang dipenuhi dengan dosa menjadi bersih dan baik kembali. Bertaubat harus disertai dengan rasa pengakuan dan penyesalan bahwa kita telah membangkang pada salah satu perintah Allah atau Rasulullah.[3]

v  Tingkatan Taubat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi taubat menjadi empat tingkatan:
a)    Orang yang taubat dari kesalahannya kemudian ia tetap meninggalkan kesalahannya, sampai akhir hayatnya tidak sedikitpun dalam hatinya untuk kembali melakukan dosa. Taubat ini dinamakan taubat yang benar, dan jiwa orang itu dinamakan jiwa yang tentram (nafsul muthmainnah).
b)   Orang yang bertaubat dan tetap mengerjakan kewajiban yang pokok dan meninggalkan segenap perbuatan yang keji dan dosa besar, tetapi terkadang terlanjur mengerjakan dosa dalam beberapa keadaan yang tidak menguasai dirinya. Ketika terlanjur melakukan dosa dia tetap menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Jiwa orang ini disebut jiwa yang suka tarik menarik ( nafsu lawwamah).
c)    Orang yang bertaubat dan berjalan baik, tetapi kemudian dikalahkan oleh nafsunya yang tidak dapat dilawannya. Namun, dia tetap taat menjalankan perintah Allah dan meninggalkan dosa selain dari satu atau dua yang tidak dapat dihentikannya, karena dorongan nafsu dipengaruhi kebiasaan atau keadaan disekitar. Walaupun demikian, dia tetap berjuang melawan nafsu dan mengharapkan terhindar dari dosa yang demikian. Jiwa ini pandai menipu (nafsu musawwilah)
d)   Orang yang bertaubat yang hanya berjalan dalam satu masa saja. Kemudian kembali lagi mengerjakan dosa dengan tidak merasa menyesal dan tidak teringat akan taubat. Jiwa ini dinamakan jiwa yang menyuruh kepada perbuatan salah (nafsu ammarah bis suu’). Untuk benar-benar bertaubat manusia harus berupaya merenung, bertafakkur dan beramal shalih, serta menyadari bahwa menjadi orang yang dicintai Allah itu merupakan sesuatu yang tidak terhingga harganya.[4]

C.  Hadits-Hadits Tentang Dosa dan Taubat 
v  Hadits Anas tentang menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, dan saksi palsu
عن أنس رضى الله عنه قال سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الكبائر قال الاشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس وشهادة الزور (أخرجه البخارى في كتاب الشهادات)
Artinya: dari Anas RA. berkata: ditanyakan kepada Rasulullah tentang dosa besar, maka Nabi menjawab: menyekutukan Allah, mendurhakai dua ibu bapak, membunuh orang, dan member kesaksian palsu (HR. Bukhari dalam kitab Syahaadaat)
Zuur menurut pendapat Ats-Tsa’labi dan Abu Ishaq adalah: ”membaguskan sesuatu hingga dikhayalkan oleh orang yang mendengarnya atau yang melihatnya, khayalan yang berlainan dengan hakikatnya. Maka zuur itu ialah menyandarkan kebatilan dengan cara yang menimbulkan persangkaan bahwasanya hal itu adalah suatu yang benar”.
Nabi menerangkan bahwasanya dosa-dosa besar ialah mempersekutukan sesuatu dengan Allah, mendurhakai ibu bapak, membunuh orang yang tidak patut dibunuh, dan memberikan kesaksian palsu. Ini semuanya adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung dosa-dosa besar. Sedikit sekali para ‘ulama’ yang menetapkan dengan tegas makna “mendurhakai orang tua”. Imam Abu Muhammad Ibnu Abdis Salam berkata: “saya belum mengerti arti mendurhakai dua ibu bapak, hak-hak khusus bagi ibu bapak dan hak-hak yang tegas yang dapat kita pegangi, karena sudah dimaklumi bahwa tidaklah wajib kita taati ibu bapak pada segala suruhan mereka dan pada segala teguran mereka, dengan mufakat segala ‘ulama’”. Abu Amr Ibnu Salam berkata: “’Uquq (mendurhakai ibu bapak) yang diharamkan ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terganggunya perasaan bapak ibu, padahal perbuatan-perbuatan itu bukan perbuatan wajib”. Kerapkali para ‘ulama’ berkata: “menaati dua ibu bapak diwajibkan pada yang bukan maksiat, menyalahi perintah pada yang bukan maksiat dipandang ‘uquq.[5]
v  Hadits Abu Hurairah tentang tentang tujuh macam dosa besar
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغا فلات (أخرجه البخارى في كتاب الوصايا)
Artinya : “dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad bersabda: jauhilah kamu sekalian 7 perkara yang merusak, sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah yang 7 itu? Rasul menjawab: menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang telah diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, makan harta bendanya anak yatim, berpaling pada hari pertempuran (lari), menyangka seorang perempuan mukmin berzina”(HR. Bukhari dalam kitab Washaya)
Nabi menerangkan, bahwa dosa yang besar yang membinasakan orang yang mengerjakannya ada 7 perkara, yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah, berbuat sihir, membunuh orang yang tidak dibenarkan kita membunuhnya, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari barisan yang tengah menghadang musuh, dan menukas perempuan-perempuan muhshanah dengan tuduhan berzina. Sihir dalam bahasa ialah memalingkan sesuatu dari hakikatnya, atau sesuatu yang bersembunyi dan yang halus sekali sebabnya. Demikianlah pendapat Ibnu Katsir. Dan dinamakan waktu sahur dengan sahar, adalah karena dia tersembunyi di akhir malam. Abu Muhammad Al-Maqdisy dalam kitab Al-Kafi berkata: “sihir ialah jimat-jimat, jampi-jampi dan pintalan-pintalan benang yang mempengaruhi jiwa dan tubuh, menyakiti, membunuh, atau menceraikan seseorang dari yang lain”.
Mengenai pembunuhan, maka yang dimaksudkan disini adalah membunuh jiwa yang tidak boleh dibunuh. Para ‘ulama’ berselisih paham tentang orang yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja. Apakah ada tobat baginya atau tidak? Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan beberapa sahabat yang lain berpendapat, bahwa tidak ada tobat bagi orang yang dengan sengaja membunuh orang. Mereka berdalil dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 92. Ibnu Abbas berkata: “ayat ini adalah penghabisan ayat yang diturunkan. Ayat ini tidak dimansukhkan oleh sesuatu pun”. Dan dikuatkan pendapat ini oleh riwayat An-Nasa’i dan Ahmad dari Mu’awiyah, bahwasanya Rasulullah menerangkan, bahwa setiap dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, terkecuali dosa orang yang mati dalam kekafiran atau dosa orang yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja. Jumhur ‘ulama’ berpendapat, bahwa si pembunuh dapat bertobat. Maka jika dia bertobat dan kembali kepada Allah serta mengerjakan amalan-amalan shalih, niscaya Allah mengganti kejahatan-kejahatannya dengan kebaikan.
Riba bermakna “penerimaan yang lebih dari yang kita berikan tanpa ada imbangannya”. Riba yang diharamkan ini meliputi segala macamnya. Yatim pada bahasa ialah “orang yang ayahnya meninggal sebelum dia sampai umur”. Dikehendaki dengan makan harta anak yatim, ialah mempergunakan harta anak yatim untuk kepentingan diri sendiri dan berlaku curang terhadap harta anak yatim itu. Lari dari membelakangi musuh (orang kafir) di waktu peperangan telah berkecamuk, dianggap suatu dosa besar, adalah apabila meninggalkan medan peperangan itu, bukan karena menggabungkan diri kepada barisan sendiri dan bukan karena mencari perlindungan untuk melanjutkan peperangan.
Muhshanat, adalah jamak dari muhshanah. Al-Kisa’I membacanya dengan kasrah shad, sedangkan ahli qira’at yang lain membacanya dengan fathah shad. Kalau dibaca muhshanat, berartilah ‘perempuan-perempuan yang telah dipelihara oleh Allah dengan diberikan suami dan dipelihara pula dari zina’. Kalau dibaca muhshinat, berartilah ‘perempuan-perempuanyang memelihara dirinya dari zina’. Dimaksud dengan menukas atau menuduh disini ialah menukas berzina atau berliwath. Adanya kata mu’minat sesudah muhshanat memberi pengertian, bahwa menuduh perempuan-perempuanbkafir berzina, bukanlah suatu dosa besar.[6]
v  Hadits Abi Bardah tentang beristighfar 100 kali sehari
عن أبي بردة عن رجل من المهاجرين يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول ياأيها الناس توبوا إلى الله واستغفروه فإ ني أتو ب إلى الله و أستغفره فى كل يوم مائة مرة أو أكثر من مائة مرة (رواه احمد في مسندالكوفين)
Artinya : “Dari Abi Burdah dari seorang laki-laki dari sebagian sahabat Muhajirin, beliau mengatakan: saya telah mendengar Nabi Muhammad bersabda “Wahai ingatlah manusia! bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah dan mohonlah pengampunan kamu sekalian kepada-Nya, sesungguhnya saya bertaubat kepada Allah dan sayai mohon pengampunan kepada-Nya pada tiap hari 100 kali atau lebih””
Manusia adalah insan yang tempatnya salah dan lupa, banyak kesalahan yang kita lakukan, baik secara sengaja maupun tidak, kita sadari atau tidak. Sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah segera minta maaf, oleh sebab itu menurut hadits di atas kita dianjurkan untuk beristighfar 100 kali atau lebih. Membiasakan hidup dengan senantiasa zikir kepada Allah, akan membawa ketenangan hari serta terjaga dari sikap dan tutur kata yang buruk, karena lisan kita telah terbiasa berkata yang baik, yaitu kalimat thayyibah dan hati kita senantiasa mengakui kesalahan dan kelemahan kita, sehingga kita menjadi orang yang rendah.[7]
v  Hadits Abu Hurairah tentang Allah gembira terhadap hamba-Nya yang bertaubat
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال قال الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حيث يذكرني والله لله أفرح بتوبة عبده من أحدكم يجد ضالتة بالفلاة و من تقرب إلي شبرا تقربت إليه ذراعا ومن تقرب إلي ذراعا تقربت إليه باعا وإذا أقبل إلي يمشي أقبلت إليه أهرول (أخرجه مسلم في كتاب التوبة)
Artinya : “Dari Abi Hurairah dari Rasulullah SAW bersabda : Allah yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Aku menurut dugaan hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya ketika ia ingat kepadaku, demi Allah, sungguh Allah lebih suka kepada taubat hamba-Nya daripada salah seorang diantaramu yang menemukan barangnya yang hilang di padang. Barang siapa yang mendekatkan diri kepadaku sejengkal, maka Aku mendekatkannya sehasta, dan barangsiapa mendekatkan diri padaku sehasta, maka Aku mendekatkan diri padanya satu depa, dan barang siapa yang mendekatkan diri kepadaku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari”(HR. Muslim dalam kitab taubat)
Adapun maksud dari hadits di atas adalah Allah selalu bersama hamba-Nya dengan rahmat, pertolongan, petunjuk, dan pemeliharaan kepedulian, dan barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan taat, Allah akan memberinya rahmat, taufiq dan pertolongan. Jika ia menambah dalam bertaat, maka Allah menambah taufiq dan rahmat-Nya. Jika hamba datang dengan berjalan dan segera bertaat maka Allah akan melimpahkan rahmat yang amat banyak.
Allah menyukai hamba-Nya yang bertaubat meskipun taubat tersebut terlambat.[8]
v  Hadits Abdullah Ibn Umar tentang taubat yang terlambat
عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله عز وجل ليقبل توبة العبد ما لم يغرغر (أخرجه ابن ماجه في كتاب الزهد)
 Artinya: dari Abdullah Ibn Umar dari Nabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan menerima taubat seorang hamba sepanjang nyawanya belum sampai ke tengorokan (HR. Ibnu Majah dalam kitab Zuhud)
Yugharghiru ialah bolak-baliknya ruh di tenggorokan. Dan artinya bahwa taubatnya orang yang berdosa itu bisa diterima selama ruh belum sampai di tenggorokan. Karena diwaktu sakaratul maut, sudah terang seseorang itu kambali ke rahmat atau kembali ke resiko atau siksa, dan tidak akan bermanfaat atau berguna ketika itu taubatnya atau imannya. Karena syarat bertaubat itu berkemauan meninggalkan dosa dan tidak akan membiasakan dosa. Sedang kemauan itu bisa terjadi nyata bilamana memungkinkan bagi orang yang bertaubat, padahal tidak mungkin terjadi karena dia sudah tidak mampu lagi.[9]
IV.     KESIMPULAN
Dari paparan makalah di atas, dapat kami simpulkan bahwa definisi dosa besar tidaklah dapat kita ketahui. Syara’ hanya menyifatkan beberapa dosa dengan besar dan beberapa dosa yang lain dengan kecil, sedang beberapa dosa lagi tidak disifatkan dengan suatu sifat, sedang dia meliputi kecil dan besar. Hikmah tidak diterangkannya hal itu, supaya para hamba meninggalkan semua dosa.
Taubat mencakup tiga syarat: (1) meninggalkan perbuatan dosa, (2) menyesali perbuatannya, (3) bertekad tidak akan melakukannnya kembali. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi taubat menjadi empat tingkatan. Kemudian dari paparan hadits-hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa dosa besar dapat dihapuskan dengan memohon ampun kepada Allah dan taubat, sedangkan dosa kecil dapat menjadi besar jika terus-menerus dikerjakannya.

V.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AMIIN.


















DAFTAR PUSTAKA


Hasyim, Sayyid, 1996. Akibat Dosa, Bandung: Pustaka Hidayah.
HS, Fahruddin, 1985. Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, Jakarta: Bina Aksara.
Muhammad Hasbi, Teungku, 2004. Mutiara Hadits 1, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Zuhri, 1982. Kelengkapan Hadits Qudsi, Semarang: Toha Putra.
Sonhaji, Abdullah, 1979. Terjemah Durratun Nashihin, Semarang: Al-Munawwar.
Thabbarah Afif, Abdullah Fatah, 1986. Dosa Dalam Pandangan Islam, Bandung: Risalah Bandung.


[1] Afif Abdullah Fatah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, (Bandung: Risalah Bandung, 1986), Hlm. 3.
[2] Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits 1, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2004), Hlm. 188.
[3] Muhammad Zuhri, Kelengkapan Hadits Qudsi, (Semarang: Toha Putra, 1982), Hlm. 25.
[4] Fahruddin HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), Hlm. 65-66.
       [5] Teungku Muhammad Hasbi, Op. Cit.,, Hlm.181.
       [6] Ibid., Hlm. 182-185.
[7] Muhammad Zuhri, Op. Cit., Hlm. 39.
[8] Sayyid Hasyim Ar-Rasuli Al-Mahallati, Akibat Dosa, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), Hlm. 5-6.
[9] Abdullah Sonhaji, Terjemah Durratun Nashihin, (Semarang: Al-Munawwar, 1979), Hlm. 146.

Murji'ah

MURJI’AH

             I.     PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya dengan kaum khawarij, kaum murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Utsman bin ‘Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum khawarij pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras, setelah ia sendiri mati terbunuh pula. Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini kehari perhitungan di depan Tuhan.

          II.     POKOK BAHASAN
A.       Asal-Usul Munculnya Aliran Murji’ah
B.       Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Murji’ah
C.       Pembagian Kaum Murji’ah
      III.     PEMBAHASAN
A.       Asal-Usul Munculnya Aliran Murji’ah
Golongan ini muncul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar, apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman ataukah tidak? Menurut khawarij orang itu menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mu’min, melainkan hanya muslim. Hasan al-Bashri dan sebagian tabi’in mengatakan bahw aorang itu munafik. Alasan mereka, perbuatan merupakan cermin dari hati, sedangkan ucapan tidak dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah beriman. Adapun mayoritas umat Islam memandang pelaku dosa besar sebagai orang mu’min yang durhaka, yang persoalannya diserahkan kepada Allah: jika menghendaki, Ia akan menyiksanya sesuai dengan dosanya; dan jika menghendaki pula, Ia dapat saja mengampuni kesalahannya. Ditengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir. Diantara para pendukung paham ini ada yang berpendapat bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada Allah pada hari kiamat. Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan bergabung dengan sekelompok besar Ulama’ Sunny. Bahkan dalam suatu penelitian diketahui bahwa pendapat golongan ini mewakili pendapat jumhur ulama’.[1]
Penyemaian benih pertama yang kemudian menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yatu pada masa akhir pemerintahan Utsman. Pergunjingan tentang keadaan pemerintahan Utsman dan para pejabatnya berkembang sampai kepelosok-pelosok wilayah Islam. Pergunjingan itu kemudian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya Utsman. Disaat-saat seperti itu sekelompok sahabat memilih bersikap diam dan menahan diri agar tidak mencampuri fitnah yang menimbulkan kekacauan luar biasa dikalangan umat Islam.
Ketika akibat-akibat yang timbul dari fitnah itu berlanjut sampai ke masa pemerintahan Ali, kelompok ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menangguhkan hukum tentang peperangan yang terjadi antara khalifah Ali dan Muawiyyah sampai hari kiamat. Diantara mereka terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Abdullah ibn Umar dan Imran ibn Al-Husain.[2]
Dengan sikap itu mereka tidak mau menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar diantara dua kelompok yang bertikai. Mereka menyerahkan persoalannya kepada Allah. Mengenai masalah ini Imam Nawawi berkata: persoalan-persoalan yang timbul diantara para sahabat banyak yang sulit dimengerti. Diantara mereka ada kelompok yang merasa bingung untuk menentukan sikap, sehingga mereka menghindarkan diri dari dua kelompok yang bertikai dan tidak mau turut berperang, karena tidak yakin mana yang benar.
Sikap ragu-ragu mulai menyelimuti banyak tentara. Karena itu, Ibn ‘Asakir dalam buku sejarahnya menamai mereka dengan Al-Syakkak (orang-orang yang ragu), yaitu orang-orang yang ragu tentang mana yang benar dalam pertentangan itu. Ia mengatakan bahwa Al-Syakkak pada waktu itu sedang berada dimedan perang melawan pasukan kafir. Ketika mereka -yang merupakan harapan rakyat karena mereka selalu sependapat- tiba di Madinah setelah Utsman terbunuh, mereka berkata: kami dahulu meninggalkan kamu dalam keadaan bersatu, tanpa ada pertentangan, dan sekarang kami mendatangi kamu tetapi kamu sudah saling bertentangan. Di antara kamu ada yang berkata bahwa Utsman terbunuh dengan cara kejam, padahal Ia dan pengikutnya paling adil. Ada pula yang berkata bahwa Ali dan pengikutnya lebih dapat dibenarkan. Mereka semua benar dan kami memiliki buktinya. Kami tidak berlepas diri dari keduanya (Utsman dan Ali), tidak mengutuk keduanya, tidak pula menjadi saksi diantara keduanya. Kami menangguhkan dan menyerahkan persoalan keduanya kepada Allah. Biarlah Allah yang menghakimi keduanya.[3]
Paham Murji’ah muncul dikufah dan pengikutnya kebanyakan dari penduduk kota itu. Akan tetapi didalamnya tidak termasuk para pendukung Abdullah dan Ibrahim An-Nikha’i.[4]
Ketika pertentangan pendapat semakin memuncak dikalangan umat Islam, dan masalah yang dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukuman atas kasus di atas, tetapi termasuk pula masalah pelaku dosa, muncullah satu kelompok yang menempuh pola sikap menangguhkan persoalan terhadap pelaku dosa; suatu sikap yang ditempuh sebagian kelompok sahabat. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan kasusnya, dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Mereka menahan diri dari memperbincangkan pertentangan politik karena dasar pertentangannya adalah hukum kafir yang dijatuhkan golongan Khawarij terhadap semua orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Tentang mereka yang saling bertikai itu kelompok Murji’ah berkata: mereka menyatakan dua kalimat syahadah, maka jika demikian mereka bukan orang kafir dan bukan pula musyrik, tetapi Muslim. Kita serahkan persoalan mereka kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan yang akan mengadili mereka.[5]
B.       Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Murji’ah
Kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi di ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya itu kepada Tuhan. Dari lapangan politik mereka segera pula berpindah kelapangan teologi. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mu’min bagi orang yang serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda penyelesaiannya ke hari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulnya. Dengan kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadah yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mu’min dan bukan kafir.[6]
Pendapat serupa ini dapat membawa kepada pendapat bahwa yang penting serta yang diutamakan adalah sebenarnya iman, sedang perbuatan hanya merupakan soal kedua. Ini merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya. Perbuatan disini mendapat kedudukan yang kedua dari iman.[7]
Murji’ah yang mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur didalamnya, diantara mereka terdapat fuqaha’ kufah. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak bisa menjadi seorang mu’min jika tidak menyatakan keimanannya dengan lisan, sementara ia mampu melakukan hal itu. Mereka berpendapat bahwa Iblis dan Fir’aun dan lainnya adalah orang-orang kafir sekalipun hati mereka membenarkan. Para ahli kalam dan fuqaha’ murji’ah mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan bisa dinamakan iman secara majazi, karena amal merupakan buah dan realisasi iman sekaligus menunjukkan keberadaannya.[8]
Pola sikap “tidak mengkaji perbedaan pendapat” dan menyerahkan persoalan pembuat dosa besar kepada Allah dihari kiamat merupakan cara terbaik, dan itu tidak diragukan lagi, karena mungkin saja dosa orang itu ada yang diampuni. Dalam perkembangan berikutnya, setelah masa kelompok tadi, muncul penganut paham yang tidak sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, tetapi lebih dari itu mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman adalah pengakuan, pembenaran, keyakinan dan pengetahuan; perbuatan ma’siat tidak akan merusakkan hakikat iman. Iman terpisah dari perbuatan. Di antara kelompok ini malah ada yang bersikap ekstrim dengan beranggapan bahwa keimanan adalah keyakinan hati. Dengan demikian, jika seseorang menyatakan kekafiran dengan lidahnya, menyembah berhala, bergabung dengan orang-orang yahudi dan nasrani di wilayah Islam, menyembah salib, menyatakan trinitas di wilayah Islam, lalu mati dalam keadaan seperti itu, ia tetap seorang mu’min yang imannya sempurna di sisi Allah serta termasuk ahli surga.[9]
Di antara mereka malah ada yang berkeyakinan bahwa walaupun seseorang berkata “saya tahu bahwa Allah mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini atau yang lain” ia masih tetap mu’min. Demikian pula jika ada yang berkata “saya tahu bahwa Allah telah mewajibkan mengerjakan haji ke ka’bah, tetapi aku tidak tahu dimana ka’bah itu, mungkin saja di India”, ia masih beriman. Artinya keyakinan-keyakinan seperti itu berada di luar persoalan keimanan, tidak ada hubungannya dengan iman. Jadi, orang tersebut sesungguhnya tidak meragukan hal-hal tadi, karena setiap orang yang berakal pasti tidak meragukan dimana ka’bah dan pasti tahu perbedaan antara kambing dan babi.[10]
Dari uraian di atas diketahui bahwa mereka telah melampaui batas dalam melecehkan amal perbuatan, bahkan meniadakan dosa, ditinjau dari hubungannya dengan dasar keimanan dan dari segi efek yang timbul, yaitu balasan surga bagi yang berbuat baik dan balasan neraka bagi yang berbuat jahat. Mereka juga melecehkan dasar iman dan mengubah hakikatnya, serta menjadikan iman sebatas pengakuan hati saja, walaupun bertentangan dengan tindakan. Semua kenyataan itu menunjukkan bahwa keimanan dan pengakuan belum memasuki hati mereka. Sebaliknya mereka telah melampauinya dengan mengatakan bahwa pengakuan hati adalah satu-satunya rukun iman serta meragukan hakikat keimanan yang dapat diketahui secara a priori dengan menolak mengakuinya sebagai unsur-unsur keimanan. Mereka menyiarkan faham bahwa tidak mengetahui ka’bah tidak merusak iman, dan tidak mengetahui babi juga demikian.
Di tengah-tengah pendapat dan pandangan yang sesat itu di antara para penganut madzhab Murji’ah ini terdapat orang-orang yang melecehkan hakikat keimanan, amal-amal ketaatan, serta perbuatan-perbuatan mulia lainnya. Mereka yang berbuat kerusakan dan tidak memperdulikan halal dan haram menjadikannya sebagai suatu madzhab, sehingga mereka disebut dengan Al-Mufsidun (para pencipta kerusakan). Mereka menjadikan paham itu sebagai jalan untuk melakukan dosa, melancarkan niat jahat dan menuruti hawa nafsu dari kebanyakan orang-orang yang menciptakan malapetaka dan kerusakan.
Dari uraian tentang Murji’ah di atas dapat disimpulkan bahwa Murjiah merupakan madzhab dari dua golongan. Yang pertama adalah yang bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas pertentangan yang terjadi di antara para sahabat dan yang terjadi di masa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang bahwa ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu. Allah mengampuni segala dosa selain kekafiran, sehingga perbuatan ma’siyat tidak dapat merusak keimanan, sebagaimana perbuatan taat tidak membantu kekafiran. Mengenai kelompok ini Zaid ibn Ali ibn Al-Hasan berkata “saya berlepas diri dari golongan murji’ah yang mengharapkan Allah mengampuni orang-orang fasiq”. Kelompok kedua ini telah membuat madzhab murji’ah menjadi cacat yang dicela dan dikutuk para ulama’ dan golongan –golongan lain                                                                            
C.       Pembagian Kaum Murji’ah
Sebagaimana faham lainnya, murji’ah pecah menjadi dua golongan besar, yaitu:
1.    Golongan Moderat
 Berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memaafkan dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[11] Dalam golongan murji’ah moderat ini termasuk Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Jadi bagi golongan ini orang islam yang berdosa besar masih tetap mu’min. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentag Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[12]
2.    Golongan Extrim
 Yaitu golongan Jahmiah, pengikut Jahm ibn Sofwan. Menurut faham ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian mengatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.[13] Sungguhpun mereka menyembah berhala menjalankan ajaran-ajaran agama yahudi dan kristen kemudian mati, orang yang demikian bagi Allah tetap seorang mu’min yang sempurna imannya. Al Shalihiah, pengikut Abu Hasan Al Shalihi berpendapat: sembahyang tidaklah merupakan ibadah karena yang disebut ibadah ialah iman kepada-Nya. Lebih lanjut Al Baghdadi berpendapat: sembahyang, zakat, dan haji menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang dinamakan ibadah hanyalah iman. Faham Al-Yanusiah menjelaskan bahwa melakukan ma’siyat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.[14]
Golongan Al-Ubaidillah berpendapat demikian pula, tegasnya jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatannya yang jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Karena itu pulalah maka Muqatil ibn Sulaiman mengatakan bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusakkan iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik. Pendapat-pendapat extrim seperti diuraikan tadi, timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mu’min atau tidak mu’minnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada didalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang didalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.[15]
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersikap permissive, masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Inilah kelihatannya yang menjadi sebab maka nama murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi. Tetapi bagaimanapun ajaran yang terdapat dalam golongan murji’ah moderat tersebut diatas menjadi ajaran yang diterima dalam golongan ahli sunnah dan jama’ah dalam Islam.[16]
Pendapat murji’ah moderat sama dengan faham Al-Asy’ari sebagaimana dikuatkan oleh Ibn Harun bahwa Al-Asy’ari dapat dimasukkan kedalam golongan Murjiah. Al-Asy’ari menegaskan iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan, tentang kebenaran rasul-rasul. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Kemudian Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya atau kemungkinan tidak mengampuni dosa-dosa yang diperbuatnya, kemudian baru masuk surga, ia tidak mungkin kekal dalam neraka.
Faham yang sama diberikan oleh Al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
a.    Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka: yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul-rasul, qadar baik dan buruk, sifat-sifat Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.    Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasik dari seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c.    Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnah dan menjauhi segala dosa.[17]
Ringkasnya menurut uraian diatas, orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mu’min dan akhirnya akan masuk surga. Kalau yang diatas merupakan pendapat dari ahli sunnah golongan Asy’ariyyah maka dari ahli sunnah golongan Maturidiyyah, Al Badzawi memberikan uraian sebagai berikut: iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan pada perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan atau iman. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir.[18]
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa aliran Murji’ah moderat dan extrim telah lenyap, tetapi ajaran-ajaran Murji’ah moderat tentang iman kufur dan dosa-dosa besar masuk kedalam aliran Ahli Sunnah Wal Jama’ah[19]
      IV.     SIMPULAN
Sebagaimana halnya dengan kaum khawarij, kaum murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik. Kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi di ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya itu kepada Tuhan. Murji’ah mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur didalamnya.     Murji’ah pecah menjadi dua golongan besar, yaitu:
·   Golongan Moderat, Berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memaafkan dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
·   Golongan Extrim, Menurut faham ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian mengatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.
          V.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, oleh karena itu kami butuh kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bisa membawa berkah dan manfaat bagi kita semua. AAMIIN 



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, Muhammad, 1992. Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, Abu, 1930. Maqolat Al-Islamiyyin Wakhtilaf Al-Musallim, Konstantinopel: Mathba’ah Al-Daulah.
Ibnu Hazm, 1964. Al-Fisal Fi Al Ahwa’ Wal Nihal, Kairo: Ali Subeih.
Muhammad, Abu Al-Yusr, 1963. Kitab Ushuluddin, Kairo: Hans Peter Linss. 
Muhammad, Imam, Abu Zahrah, 1996. Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Mesir: Darul Fikr.
Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam, Jakarta: Penerbit UI Press.
Qahir, Abdul, 1928. Kitab Ushuludin, Istanbul: Madrasah Al-Ilahiyyah.
Romas, Ghofir, 1986. Ilmu Tauhid, Semarang: Badan Penerbit Fak.  Dakwah IAIN Walisongo.


       [1] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Mesir: Darul Fikr, 1996), Cet. 1, Hlm. 143.
       [2] Ibid., Hlm. 144.
       [3] Ibid.
       [4] Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Hlm. 180.
       [5] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., Hlm. 145.
       [6] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986), Cet. 5, Hlm. 23.
       [7] Ibid.
       [8]  Muhammad Abdul Hadi, Op. Cit., Hlm. 182.
        [9] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., Hlm. 146. 
       [10] Ibid.
       [11] Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, (Semarang: Badan Penerbit Fak.  Dakwah IAIN Walisongo, 1986), Hlm. 79
       [12] Harun Nasution, Op. Cit., Hlm. 25.
       [13] Abu Hasan ibn Ismail, Maqolat Al-Islamiyyin Wakhtilaf Al-Musallim, (Konstantinopel: Mathba’ah Al-Daulah, 1930), Hlm. 198.
       [14] Ibnu Hazm, Al-Fisal Fi Al Ahwa’ Wal Nihal, (Kairo: Ali Subeih, 1964), Hlm. 46.
       [15] Harun Nasution, Op. Cit., Hlm. 28
       [16] Ibid.
       [17] Abdul Qahir ibn Thahir, Kitab Ushuludin, (Istanbul: Madrasah Al-Ilahiyyah, 1928), Cet. 249.
       [18] Abu Muhammad Al-Yusr, Kitab Ushuluddin, (Kairo: Hans Peter Linss, 1963), Hlm. 146.  
       [19] Ghofir Romas, Op. Cit., Hlm. 82.