I’adatul Jum’at &
Mendirikan Lebih dari Satu Shalat Jum’at
Oleh: Khoirul Anam
I.
PENDAHULUAN
Hari
Jum’at adalah hari penting bagi kaum muslim, dibandingkan dengan hari-hari yang
lainnya. Mari simak hadits Rasulullah SAW berikut.“Sebaik-baik hari adalah
hari Jum’at, pada hari itulah diciptakan Nabi Adam, dan
pada hari itu dia diturunkan ke bumi, pada hari itu pula diterima taubatnya,
pada hari itu pula beliau diwafatkan, dan pada hari itu pula terjadi Kiamat.
Pada hari itu ada saat yang kalau seorang muslim menemuinya kemudian shalat dan
memohon segala keperluannya kepada Allah, niscaya akan dikabulkan.” (HR. Abu
Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai)
Pada
hari Jum’at pula dilakukan Jum’atan, ibadah khusus seminggu sekali yang wajib
diikuti oleh kaum lelaki muslim. Tentu saja ada
dalilnya mengapa ibadah Jum’atan ini wajib dilakukan, sebagaimana firman Allah
SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Al-Jumu’ah:9).
Yang
jadi permasalahan adalah, bagaimana hukumnya jika di daerah kita ada sekelompok
orang yang mengulang shalat jum’atnya atau melaksanakan shalat dzuhur lagi
karena shalat jum’atnya dianggap tidak sah. Permasalahan yang lain adalah
bagaimana hukumnya jika di suatu daerah ada lebih dari satu tempat yang
melaksanakan jum’atan? Di sini, penyusun akan mencoba memaparkan tentang dua
masalah tadi.
II.
POKOK BAHASAN
Di
makalah ini, penyusun akan mencoba memaparkan tentang:
A.
I’adatul Jum’at
B.
Mendirikan Lebih dari Satu Shalat Jum’at
III.
PEMBAHASAN
A.
I’adatul Jum’at
Sebelum membahas lebih dalam
mengenai masalah tersebut, alangkah baiknya penulis kemukakan dulu tentang
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Dalam
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
Setelah melakukan istiqra’
(penelelitian), ditemukan riset yang membuahkan fakta bahwa masalah íadatul
jumát yang terjadi di desa-desa sekitar kita ialah karena berbenturan dengan
syarat sah shalat jumát. Diantaranya yang sering terjadi dari sejumlah syarat
lainnya ialah yang dipegang oleh madzhab jumhur ulama: Tidak boleh adanya
Ta’ddudul jumát dalam satu desa/kota. Dan jumlah jamaah jumat yang minimalnya
sebanyak 40 orang menurut madzhab Syafiíyah (karena mayoritas umat islam
Indonesia menganut madzhab Imam Syafií)
Bisa di hipotesakan kalau
dalam satu desa/kota terdapat Ta’ddudul jumát (jum’at yang
lebih dari satu) dengan tanpa udzur syarí (dlarurat dan hajat) atau jumlah
jama’ah yang mengerjakan shalat jum’at kurang dari 40 orang (menurut madzhab
syafií) maka pelaksanan Iádatul jumát (pengulangan jum’at) baik dengan
shalat dhuhur atau shalat jumlat lagi, wajib dilaksanakan.
Adapun iádatul jumát juga
bisa menjadi mustahabbah (sunnah) ketika adanya kebutuhan atau ragu apakah
butuh atau tidaknya orang tersebut untuk iádah. Dan iádatul
jumát hukumnya haram ketika diyakini bahwa syarat sah shalat jumat tersebut
sudah terpenuhi. Dalam arti (sesuai dengan kasus diatas) hukum haram ini ketika
meyakini kalau jumat yang dilakukannya adalah satu-satunya yang dilaksanakan
dalam satu desa serta terpenuhinya jumlah minimal jamaah (40 orang).
Jika melakukan sholat dhuhur setelah diselenggarakan sholat Jum'at itu
karena ta'addud
(jumlah sholat Jum'at yang diselenggarakan di satu kampung lebih dari satu),
maka hukumnya ditafsil:
Ø Apabila bilangan jama'ah sholat Jum'at kurang
dari 40 orang yang memenuhi syarat, maka wajib sholat dhuhur.
Ø Apabila memenuhi syarat-syarat ta'addud, maka hukumnya
sunnat melakukan sholat dhuhur, untuk menghindarkan diri dari perbedaan
pendapat.
Apabila
tidak memenuhi syarat-syarat ta'addud,
maka di tafsil:
Ø Jika takbirotul ihromnya bersamaan atau diragukan, apakah
bersamaan atau ada yang mendahului, maka wajib mengulangi jum'atan lagi secara
bersama-sama selama waktu sholat masih mencukupi. Jika tidak, maka jama'ah kedua masjid tersebut
harus melakukan sholat dhuhur.
Ø Jika takbirotul ihromnya
berurutan, maka jum'atan yang takbirotul ihromnya paling dahulu, hukumnya sah,
dan sunnah i'adah ( mengulangi ) sholat dzuhur. Sedang
yang lain batal, dan wajib melakukan sholat dzuhur.
Ø Jika takbirotul ihromnya
ada yang mendahului tapi tidak jelas mana yang lebih dahulu, atau sudah jelas
tetapi lupa, maka semuanya wajib melakukan sholat dzuhur.[3]
B.
Mendirikan Lebih dari Satu Shalat
Jum’at
Menurut jumhur/ mayoritas ‘ulama tidak boleh
mendirikan lebih dari satu sholat
jum’at di satu negeri (daerah) kecuali karna keadaan darurat, seperti sempitnya
masjid, dll. Sedangkan menurut ‘ulama Hanafiyyah boleh secara mutlak. Baca
keterangan aslinya berikut ini:
لاَ يَجُوزُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ إِقَامَةُ جُمُعَتَيْنِ فِي بَلَدٍ وَاحِدٍ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ، كَضِيقِ الْمَسْجِدِ، لأَِنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ لَمْ يُقِيمُوا سِوَى جُمُعَةٍ وَاحِدَةٍ[4]
Dalam satu desa bagi umat Islam wajib
mendirikan jama’ah shalat jum’at. Namun kadang-kadang dalam satu desa terdapat dua atau tiga masjid
untuk pelaksanaan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at di
dua masjid dalam satu desa? Ulama’
berbeda pendapat tentang shalat jum’at yang dilaksanakan di dua masjid dalam
satu desa:
v
Tidak boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari
satu tempat dalam satu desa.
الثَّالِثُ مِنَ
الشُّرُوْطِ اَنْ لاَيُسَابِقَهَا وَلاَيُقَارِنَهَا جُمْعَةٌ فِيْ بَلْدَتِهَا
وَاِنْ كَانَتْ عَظِيْمَةً وَكَثُرَتْ مَسْجِدُهَا ِلاَنَّهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يُقِيْمُوْا سِوَى جُمْعَةٍ
وَاحِدَةٍ اِلَى اَنْ قَالَ اِلاَّ اِذَا كَبُرَ اَيُّ الْبَلَدِ وَعَسُرَ
اجْتِمَاعُهُمْ يَقِيْنًا عَادَةً فِيْ مَكَانِ مَسْجِدٍ اَوْغَيْرِهِ
Syarat
yang ketiga adalah tidak boleh mendahului dan bersamaan pelaksanaan shalat
jum’at satu sama lain dalam satu desa. Karena Nabi dan orang-orang setelahnya
tidak pernah mendirikan jum’at yang lain dalam satu desa, kecuali daerahnya
memang luas yang pasti menyebabkan kesulitan berkumpul dalam satu masjid.[5]
v Boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu masjid
dalam suatu desa apabila satu masjid sudah tidak bisa menampung para jama’ah,
masyarakatnya tidak dapat di persatukan lagi dan wilayah desanya luas.
وَالْحَاصِلُ مِنْ
كَلاَمِ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلاَثَةٌ : ضَيِّقُ مَحَلِ
الصَّلاَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ لَهَا غَالِباً ، وَالْقِتَالُ
بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ ، وَبَعُدَ أَطْرَافُ اْلبَلَدِ بِأَنْ كَانَ
بِمَحَلٍ لاَ يَسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ ، أَوْ بِمَحَلٍ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ
بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يَدْرِكُهَا ، إِذْ لاَ يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا
إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ اهـ
v
Boleh secara mutlaq, namun menurut imam Ismail
al-Zain jumlah jama’ah tidak kurang dari 40 orang.
قَالَ الشَّيْخُ اِسْمَاعِيْلُ الزَّيْنُ
اَمَّامَسْأَلَةُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ فَالظَّاهِرُ جَوَازُ ذٰلِكَ مُطْلَقًا
بِشَرْطِ اَنْ لاَ يُنْقَصُ عَدَدُ كُلٍّ عَنْ اَرْبَعِيْنَ رَجُلاً
Menurut
syaikh Ismail al-Zain, masalah bilangan pelaksanaan shalat jum’at diperbolehkan
secara mutlak (terlepas dari faktor-faktor penyebabnya) dengan syarat
(jama’ahnya) tidak kurang dari empat puluh orang laki-laki.[6]
Madzhab Syafi’i: Dalam satu desa tidak boleh didirikan lebih
dari satu Jum’at, sebab sejak zaman Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin sampai
Tabi’in tidak pernah didirikan Jum’at lebih dari satu tempat dalam satu desa.
Dalilnya :
Ø
Shahih Bukhari, hadits no. 902 Juz 4 hal. 10 dalam Al-Maktabah Al-Syamilah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَتْ كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَالْعَوَالِى ، فَيَأْتُونَ فِى الْغُبَارِ ، يُصِيبُهُمُ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ ، فَيَخْرُجُ مِنْهُمُ الْعَرَقُ ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهْوَ عِنْدِى ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا » . تحفة 16383[7]
يَنْتَابُونَ berduyun-duyun pergi ke masjid. الْعَوَالِى tempat yang ada di timur kota Madinah (4 mil).
Ø Al-Umm juz I hal. 221 dalam Al-Maktabah Al-Syamilah :
(قال الشافعي) رحمه الله تعالى ولا يجمع في مصر وإن عظم أهله وكثر عامله ومساجده إلا في موضع المسجد الاعظم وإن كانت له مساجد عظام لم يجمع فيها إلا في واحد وأيها جمع فيه أولا بعد الزوال فهى الجمعة وإن جمع في آخر سواه يعده لم يعتد الذين جمعوا بعده بالجمعة وكان عليهم أن يعيدوا ظهرا أربعا[8]
Artinya:
Tidak boleh mendirikan
shalat Jum’at dalam satu tempat (desa atau kota) meskipun penduduk dan
pegawainya banyak serta masjidnya besar-besar, kecuali dalam satu masjid yang
paling besar (masjid jami’). Kalau mereka memiliki beberapa masjid yang besar,
maka pada masjid-masjid tersebut tidak boleh didirikan shalat Jum’at kecuali
hanya pada satu masjid saja. Dan (jika ada lebih dari satu masjid yang
mendirikan shalat Jum’at, maka) shalat Jum’at yang lebih dahulu dilakukan
setelah tergelincirnya matahari itulah shalat Jum’at (yang sah). Kalau ada
masjid yang di dalamnya didirikan shalat Jum’at juga setelah ini, maka tidak
dianggap shalat Jum’at, dan mereka wajib mengerjakan shalat zhuhur empat
rakaat.
Ø
Kenapa mesti dilakukan dalam satu masjid ?
Tujuannya tak lain untuk menampakkan syiar Islam dalam satu persatuan dan
kesatuan umat Islam. Dengan dilakukan dalam satu masjid, maka tujuan tersebut
lebih tercapai. Namun itu bukan sesuatu yang mutlak. Larangan tersebut akan
hilang manakala ada kemaslahatan (hajat) yang menuntutnya, yaitu :
·
Sulit untuk berkumpul
·
Masjidnya terlalu kecil, sehingga tidak memuat
banyak jama’ah
·
Berjauhan
·
Ada perselisihan yang sulit disatukan, Imam
Ramli mengatakan:
( الثَّالِثُ ) مِنْ الشُّرُوطِ ( أَنْ لَا يَسْبِقَهَا وَلَا يُقَارِنَهَا جُمُعَةٌ فِي بَلْدَتِهَا ) وَإِنْ كَانَتْ عَظِيمَةً وَكَثُرَتْ مَسَاجِدُهَا ، لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يُقِيمُوا سِوَى جُمُعَةٍ وَاحِدَةٍ ، وَلِأَنَّ الِاقْتِصَارَ عَلَى وَاحِدَةٍ أَفْضَى إلَى الْمَقْصُودِ مِنْ إظْهَارِ شِعَارِ الِاجْتِمَاعِ وَاتِّفَاقِ الْكَلِمَةِ ( إلَّا إذَا كَبُرَتْ ) أَيْ الْبَلَدُ ( وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ ) يَقِينًا عَادَةً ( فِي مَكَانِ ) مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرِهِ فَيَجُوزُ حِينَئِذٍ تَعَدُّدُهَا بِحَسَبِ الْحَاجَةِ ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ دَخَلَ بَغْدَادَ وَأَهْلُهَا يُقِيمُونَ بِهَا جُمُعَتَيْنِ وَقِيلَ ثَلَاثًا وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ ، فَحَمَلَهُ الْأَكْثَرُ عَلَى عُسْرِ الِاجْتِمَاعِ[9]
Artinya:
Syarat yang ketiga adalah tidak didahului atau
bersamaan dengan jum’at yang lain dalam satu desa atau kota, meskipun desa atau
kota itu luas dan punya banyak masjid. Karena Nabi SAW dan shahabatnya tidak
pernah melakukannya kecuali satu jum’at (dalam satu tempat). Dan karena
mencukupkan pada satu shalat jum’at lebih mengantarkan pada tujuan didirikannya
shalat jum’at, yaitu menampakkan syi’ar berkumpul dan bersatunya umat Islam.
Kecuali kalau desa atau kota itu sangat luas, dan biasanya penduduknya sulit
untuk berkumpul dalam satu masjid. Maka ketika itulah boleh ta’adudul jumu’ah
(mendirikan shalat jum’at lebih dari satu) sesuai kebutuhan. Karena Imam
Syafi’i pernah datang ke kota Baghdad sementara penduduknya mendirikan dua
jum’atan. Dan beliau (diam saja) tidak melarangnya. (Berdasarkan inilah) maka
mayoritas ‘ulama menafsirkan hal itu kepada sulitnya berkumpul di satu tempat.
Dapat disimpulkan bahwa selama masih memungkinkan,
maka shalat jum’at harus didirikan dalam satu masjid. Tidak boleh lebih.
Kecuali ada hal-hal lain yang menghendakinya.
Menurut jumhurul ulama
termasuk Syafi’iyah kecuali ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jum’atan lebih
dari satu dalam satu daerah atau kampung yang punya nama sendiri-sendiri, tidak
boleh, kecuali ada hajat yang mendesak. Alasannya:
Pertama: Secara etimologi (lughatan)
lafadz jum’at berarti
berkumpul. Shalat jum’at dinamai jum’at yang berarti berkumpul, memberi
pengertian bahwa shalat jum’at itu harus dilaksanakan dalam satu tempat, agar
makna berkumpul itu benar-benar bisa diwujudkan. Bagaimana bisa mewujudkan makna berkumpul kalau
shalat jum’at dilaksanakan dalam banyak tempat. Tidak mungkin. Kalau tidak ada
makna berkumpul berarti bukan shalat jum’at namanya, tapi shalat mutafarriqah.
Kedua: Secara riil shalat jum’at lebih dari satu belum
pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Ini
membuktikan—menurut penilaian jumhur—shalat jum’at tidak boleh lebih dari satu.
Sebab tidak ada teladan langsung dari Rasul untuk mendirikan jum’at lebih dari
satu….Jika ada hajat untuk mendirikan jum’atan lebih dari satu, maka tidak
masalah, akan tetapi tidak boleh melebihi kadar yang dibutuhkan. Kalau
dibutuhkan dua jum’atan maka tidak boleh mendirikan tiga jum’atan, dan
seterusnya.
Sedangakan menurut ulama Hanafiyah dan sebagian ulama
Hanabilah, jum’atan lebih dari satu (ta’adudul jum’ah) tidak ada
masalah, boleh-boleh saja.
Menanggapi dalil pertama dari jumhur ulama, ulama
Hanafiyah mengatakan : bukan berarti shalat jum’at yang dilakukan dalam
beberapa tempat tidak memiliki arti berkumpul. Boleh jadi jum’atan yang
dilakukan dalam satu, dua, tiga tempat, tapi makna berkumpul, makna kebersamaan
dapat terwujud.
Menjawab dalil yang kedua, ulama Hanafiyah mengatakan : tidak
dilaksanakannya shalat jum’at lebih dari satu, bukan berarti larangan untuk
mendirikan jum’atan lebih dari satu, sebab pada masa Rasul, kenapa dilaksanakan
hanya satu jum’at, karena satu-satunya orang yang layak tampil menyampaikan
Islam dan orang yang diberi otoritas tasyri’ oleh Allah hanyalah
Rasulullah SAW.
IV.
SIMPULAN
Kalau dalam satu desa/kota terdapat Ta’ddudul
jumát (jum’at yang lebih dari satu) dengan tanpa udzur syarí (dlarurat dan
hajat) atau jumlah jama’ah yang mengerjakan shalat jum’at kurang dari 40 orang
(menurut madzhab syafií) maka pelaksanan Iádatul jumát (pengulangan
jum’at) baik dengan shalat dhuhur atau shalat jumlat lagi, wajib
dilaksanakan.
Adapun iádatul jumát juga
bisa menjadi mustahabbah (sunnah) ketika adanya kebutuhan atau ragu apakah
butuh atau tidaknya orang tersebut untuk iádah. Dan iádatul
jumát hukumnya haram ketika diyakini bahwa syarat sah shalat jumat tersebut
sudah terpenuhi. Dalam arti (sesuai dengan kasus diatas) hukum haram ini ketika
meyakini kalau jumat yang dilakukannya adalah satu-satunya yang dilaksanakan
dalam satu desa serta terpenuhinya jumlah minimal jamaah (40 orang).
V.
PENUTUP
Demikianlah pemaparan makalah dari Al-Faqir, semoga
risalah tipis ini bisa membawa manfaat bagi kita semua. Al-Faqir mengakui bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu, Al-Faqir butuh kritik dan
saran dari para saudara tercinta demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
I’anatut Thalibin, Juz II.
Bughyah
Nihayah Al-Muhtaj, Juz II.
Qurrah Al-‘Aini.
Shahih
Bukhari, Juz 4, Al-Maktabah
Al-Syamilah.
Al-Umm, Juz I, Al-Maktabah Al-Syamilah.
Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, Juz VII,
Al-Maktabah Al-Syamilah.
Asnal Mathalib, Juz I.
Syarah Az-Zarqani, Juz III.
Al-Mughni, Juz II.
Terima kasih, namun saya memiliki pendapat lain...
BalasHapusSilahkan cek dan analisa blog saya
tidak ada sholat dhuhur setelah sholat jum'at.?
Silahkan cek dan analisa dalam Blog saya
https://dhuhur-setelah-jumat.blogspot.co.id/