I. PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini
yang dilahirkan secara fitrah, yaitu dalam keadaan yang suci dari dosa-dosa.
Namun seiring dengan berjalannya waktu manusia yang dibekali Allah akal,
fikiran dan nafsu ia mulai tamak dengan segala sesuatu yang ada di muka bumi
ini. Inilah kiranya yang membuat manusia memiliki potensi untuk berbuat dosa.
Perbuatan dosa terjadi ketika manusia tersebut tidak dapat menyeimbangkan
antara akal, fikiran dan nafsu sehingga manusia tersebut diperbudak oleh hawa
nafsu yang menyelimutinya.
Perbuatan
manusia yang berlebihan sehingga mendapatkan dosa dapat diperbaiki melalui cara
taubat, yaitu menghentikan perbuatan berdosa tersebut dan semakin mendekatkan
diri kepada Allah SWT dengan penuh rasa ikhlas dan mengharap ridha-Nya.
II. POKOK PEMBAHASAN
Dalam
makalah ini kami akan membahas
tentang:
A. Definisi Dosa-Dosa
Besar
B. Definisi Taubat dan Tingkatannya
C. Hadits-Hadits Tentang
Dosa Besar dan Taubat
III. PEMBAHASAN
A. Defininsi Dosa-Dosa
Besar
Sebagian ‘ulama’
telah membatasi dosa besar dengan tiap-tiap dosa yang disertakan dengan ancaman
atau hukuman had atau kutukan. Maka tiap-tiap dosa yang diketahui bahwa
kerusakan yang ditimbulkan olehnya, sebagai kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang diancam dengan siksaan atau hukuman had, atau kutukan, dipandanglah dosa
besar. Kemudian Ibnu Abdis Salam berkata pula: “yang lebih patut menjadi
pembatasan bagi dosa besar, ialah sesuatu dosa yang dirasakan bahwa orang yang
mengerjakannya, menganggap enteng larangan agamanya, sebagai yang dirasakan
oleh orang-orang yang mengerjakan sekecil-kecil dosa besar yang sudah dinashkan
itu”. [1]
Abu Hasan
Al-Wahidi berkata: definisi dosa besar tidaklah dapat kita ketahui. Syara’
hanya menyifatkan beberapa dosa dengan besar dan beberapa dosa yang lain dengan
kecil, sedang beberapa dosa lagi tidak disifatkan dengan suatu sifat, sedang
dia meliputi kecil dan besar. Hikmah tidak diterangkannya hal itu, supaya para
hamba meninggalkan semua dosa.[2]
B. Definisi Taubat dan
Tingkatannya
v Definisi Taubat
Pengertian taubat
menurut bahasa berarti kembali, dan kata taubat ini adalah kata
sifat yang biasa dipakai oleh Tuhan dan manusia. Orang yang melakukan kesalahan
berarti lari dari rahmat Allah. Apabila ia
meninggalkan sebuah perbuatan dosa, berarti ia kembali kepada-Nya. Secara
terminologis, taubat mencakup tiga syarat: (1) meninggalkan perbuatan dosa, (2)
menyesali perbuatannya, (3) bertekad tidak akan melakukannnya kembali. Salah
satu unsur taubat adalah rasa penyesalan. Sebab rasa ini mempunyai pengaruh
yang sangat besar di dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi
baik, rasa menyesal ini akan menampakkan bahaya dosa di mata pelakunya,
disamping siksaan yang bakal diterimanya dan akibat jelek yang akan menimpanya.
Taubat adalah
penyesalan yang benar. Taubat mampu mendorong seseorang untuk merubah tingkah
lakunya yang dipenuhi dengan dosa menjadi bersih dan baik kembali. Bertaubat harus disertai dengan rasa pengakuan dan
penyesalan bahwa kita telah membangkang pada salah satu perintah Allah atau
Rasulullah.[3]
v Tingkatan Taubat
Imam Ghazali
dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi taubat menjadi empat tingkatan:
a) Orang yang taubat
dari kesalahannya kemudian ia tetap meninggalkan kesalahannya, sampai akhir
hayatnya tidak sedikitpun dalam hatinya untuk kembali melakukan dosa. Taubat ini
dinamakan taubat yang benar, dan jiwa orang itu dinamakan jiwa yang
tentram (nafsul muthmainnah).
b) Orang yang bertaubat
dan tetap mengerjakan kewajiban yang pokok dan meninggalkan segenap perbuatan yang
keji dan dosa besar, tetapi terkadang terlanjur mengerjakan dosa dalam beberapa
keadaan yang tidak menguasai dirinya. Ketika terlanjur melakukan dosa dia tetap
menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Jiwa orang ini disebut
jiwa yang suka tarik menarik ( nafsu lawwamah).
c) Orang yang bertaubat
dan berjalan baik, tetapi kemudian dikalahkan oleh
nafsunya yang tidak dapat dilawannya. Namun, dia tetap taat menjalankan
perintah Allah dan meninggalkan dosa selain dari satu atau dua yang tidak dapat
dihentikannya, karena dorongan nafsu dipengaruhi kebiasaan atau keadaan
disekitar. Walaupun demikian, dia tetap berjuang melawan nafsu dan mengharapkan
terhindar dari dosa yang demikian. Jiwa ini pandai
menipu (nafsu musawwilah)
d) Orang yang bertaubat
yang hanya berjalan dalam satu masa saja. Kemudian
kembali lagi mengerjakan dosa dengan tidak merasa menyesal dan tidak teringat
akan taubat. Jiwa ini dinamakan jiwa yang menyuruh kepada perbuatan salah (nafsu ammarah bis suu’). Untuk benar-benar bertaubat manusia harus
berupaya merenung, bertafakkur dan beramal shalih, serta menyadari bahwa
menjadi orang yang dicintai Allah itu merupakan sesuatu yang tidak terhingga
harganya.[4]
C. Hadits-Hadits
Tentang Dosa dan Taubat
v Hadits
Anas tentang menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa
alasan yang dibenarkan, dan saksi palsu
عن أنس رضى الله عنه قال سئل النبي صلى
الله عليه وسلم عن الكبائر قال الاشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس وشهادة الزور (أخرجه البخارى في كتاب الشهادات)
Artinya:
dari Anas RA. berkata: ditanyakan kepada Rasulullah tentang dosa besar, maka
Nabi menjawab: menyekutukan Allah, mendurhakai dua ibu bapak, membunuh orang,
dan member kesaksian palsu (HR. Bukhari dalam kitab Syahaadaat)
Zuur
menurut
pendapat Ats-Tsa’labi dan Abu Ishaq adalah: ”membaguskan sesuatu hingga
dikhayalkan oleh orang yang mendengarnya atau yang melihatnya, khayalan yang
berlainan dengan hakikatnya. Maka zuur itu ialah menyandarkan kebatilan dengan
cara yang menimbulkan persangkaan bahwasanya hal itu adalah suatu yang benar”.
Nabi menerangkan
bahwasanya dosa-dosa besar ialah mempersekutukan sesuatu dengan Allah,
mendurhakai ibu bapak, membunuh orang yang tidak patut dibunuh, dan memberikan
kesaksian palsu. Ini semuanya adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung
dosa-dosa besar. Sedikit sekali para ‘ulama’ yang menetapkan dengan tegas makna
“mendurhakai orang tua”. Imam Abu Muhammad Ibnu Abdis Salam berkata: “saya
belum mengerti arti mendurhakai dua ibu bapak, hak-hak khusus bagi ibu bapak
dan hak-hak yang tegas yang dapat kita pegangi, karena sudah dimaklumi bahwa
tidaklah wajib kita taati ibu bapak pada segala suruhan mereka dan pada segala
teguran mereka, dengan mufakat segala ‘ulama’”. Abu Amr Ibnu Salam berkata: “’Uquq
(mendurhakai ibu bapak) yang diharamkan ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang menyebabkan terganggunya perasaan bapak ibu, padahal perbuatan-perbuatan
itu bukan perbuatan wajib”. Kerapkali para ‘ulama’ berkata: “menaati dua ibu
bapak diwajibkan pada yang bukan maksiat, menyalahi perintah pada yang bukan
maksiat dipandang ‘uquq.[5]
v Hadits
Abu Hurairah tentang tentang tujuh macam dosa besar
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك
بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم
والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغا فلات (أخرجه
البخارى في كتاب الوصايا)
Artinya : “dari Abi Hurairah, Nabi
Muhammad bersabda: jauhilah kamu sekalian 7 perkara yang merusak, sahabat
bertanya: wahai Rasulullah, apakah yang 7 itu? Rasul menjawab: menyekutukan
Allah, sihir, membunuh orang yang telah diharamkan oleh Allah kecuali dengan
hak, memakan riba, makan harta bendanya anak yatim, berpaling pada hari
pertempuran (lari), menyangka seorang perempuan mukmin berzina”(HR. Bukhari
dalam kitab Washaya)
Nabi
menerangkan, bahwa dosa yang besar yang membinasakan orang yang mengerjakannya
ada 7 perkara, yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah, berbuat sihir,
membunuh orang yang tidak dibenarkan kita membunuhnya, makan riba, makan harta
anak yatim, lari dari barisan yang tengah menghadang musuh, dan menukas perempuan-perempuan
muhshanah dengan tuduhan berzina. Sihir dalam bahasa ialah memalingkan sesuatu
dari hakikatnya, atau sesuatu yang bersembunyi dan yang halus sekali sebabnya.
Demikianlah pendapat Ibnu Katsir. Dan dinamakan waktu sahur dengan sahar,
adalah karena dia tersembunyi di akhir malam. Abu Muhammad Al-Maqdisy dalam
kitab Al-Kafi berkata: “sihir ialah jimat-jimat, jampi-jampi dan
pintalan-pintalan benang yang mempengaruhi jiwa dan tubuh, menyakiti, membunuh,
atau menceraikan seseorang dari yang lain”.
Mengenai
pembunuhan, maka yang dimaksudkan disini adalah membunuh jiwa yang tidak boleh
dibunuh. Para ‘ulama’ berselisih paham tentang orang yang membunuh seseorang
mukmin dengan sengaja. Apakah ada tobat baginya atau tidak? Ibnu Abbas, Abu
Hurairah dan beberapa sahabat yang lain berpendapat, bahwa tidak ada tobat bagi
orang yang dengan sengaja membunuh orang. Mereka berdalil dengan firman Allah
dalam surat An-Nisa’ ayat 92. Ibnu Abbas berkata: “ayat ini adalah penghabisan
ayat yang diturunkan. Ayat ini tidak dimansukhkan oleh sesuatu pun”. Dan
dikuatkan pendapat ini oleh riwayat An-Nasa’i dan Ahmad dari Mu’awiyah,
bahwasanya Rasulullah menerangkan, bahwa setiap dosa mudah-mudahan Allah
mengampuninya, terkecuali dosa orang yang mati dalam kekafiran atau dosa orang
yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja. Jumhur ‘ulama’ berpendapat,
bahwa si pembunuh dapat bertobat. Maka jika dia bertobat dan kembali kepada
Allah serta mengerjakan amalan-amalan shalih, niscaya Allah mengganti
kejahatan-kejahatannya dengan kebaikan.
Riba bermakna
“penerimaan yang lebih dari yang kita berikan tanpa ada imbangannya”. Riba yang
diharamkan ini meliputi segala macamnya. Yatim pada bahasa ialah “orang yang
ayahnya meninggal sebelum dia sampai umur”. Dikehendaki dengan makan harta anak
yatim, ialah mempergunakan harta anak yatim untuk kepentingan diri sendiri dan
berlaku curang terhadap harta anak yatim itu. Lari dari membelakangi musuh
(orang kafir) di waktu peperangan telah berkecamuk, dianggap suatu dosa besar,
adalah apabila meninggalkan medan peperangan itu, bukan karena menggabungkan
diri kepada barisan sendiri dan bukan karena mencari perlindungan untuk
melanjutkan peperangan.
Muhshanat,
adalah jamak dari muhshanah. Al-Kisa’I membacanya dengan kasrah shad,
sedangkan ahli qira’at yang lain membacanya dengan fathah shad. Kalau dibaca muhshanat,
berartilah ‘perempuan-perempuan yang telah dipelihara oleh Allah dengan
diberikan suami dan dipelihara pula dari zina’. Kalau dibaca muhshinat,
berartilah ‘perempuan-perempuanyang memelihara dirinya dari zina’.
Dimaksud dengan menukas atau menuduh disini ialah menukas berzina atau
berliwath. Adanya kata mu’minat sesudah muhshanat memberi pengertian, bahwa
menuduh perempuan-perempuanbkafir berzina, bukanlah suatu dosa besar.[6]
v Hadits Abi Bardah tentang beristighfar
100 kali sehari
عن أبي بردة عن رجل من المهاجرين يقول سمعت النبي صلى
الله عليه وسلم يقول ياأيها الناس توبوا إلى الله واستغفروه فإ ني أتو ب إلى الله
و أستغفره فى كل يوم مائة مرة أو أكثر من مائة مرة (رواه احمد في مسندالكوفين)
Artinya : “Dari Abi Burdah dari seorang
laki-laki dari sebagian sahabat Muhajirin, beliau mengatakan: saya telah
mendengar Nabi Muhammad bersabda “Wahai ingatlah manusia! bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah dan mohonlah pengampunan kamu sekalian kepada-Nya,
sesungguhnya saya bertaubat kepada Allah dan sayai mohon pengampunan kepada-Nya
pada tiap hari 100 kali atau lebih””
Manusia adalah insan yang tempatnya salah dan lupa,
banyak kesalahan yang kita lakukan, baik secara sengaja maupun tidak, kita
sadari atau tidak. Sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah segera minta maaf,
oleh sebab itu menurut hadits di atas kita dianjurkan untuk beristighfar 100
kali atau lebih. Membiasakan hidup dengan senantiasa zikir kepada Allah, akan
membawa ketenangan hari serta terjaga dari sikap dan tutur kata yang buruk, karena
lisan kita telah terbiasa berkata yang baik, yaitu kalimat thayyibah dan hati
kita senantiasa mengakui kesalahan dan kelemahan kita, sehingga kita menjadi
orang yang rendah.[7]
v Hadits Abu Hurairah tentang Allah
gembira terhadap hamba-Nya yang bertaubat
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله
صلى الله عليه وسلم أنه قال قال الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حيث
يذكرني والله
لله أفرح بتوبة عبده من أحدكم يجد ضالتة بالفلاة و من تقرب إلي شبرا تقربت إليه
ذراعا ومن تقرب إلي ذراعا تقربت إليه باعا وإذا أقبل إلي يمشي أقبلت إليه أهرول (أخرجه مسلم في كتاب التوبة)
Artinya
: “Dari Abi Hurairah dari Rasulullah SAW bersabda : Allah yang Maha Mulia dan
Maha Besar berfirman : “Aku menurut dugaan hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya
ketika ia ingat kepadaku, demi Allah, sungguh Allah lebih suka kepada taubat
hamba-Nya daripada salah seorang diantaramu yang menemukan barangnya yang
hilang di padang. Barang siapa yang mendekatkan diri kepadaku sejengkal, maka
Aku mendekatkannya sehasta, dan barangsiapa mendekatkan diri padaku sehasta,
maka Aku mendekatkan diri padanya satu depa, dan barang siapa yang mendekatkan
diri kepadaku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari”(HR.
Muslim dalam kitab taubat)
Adapun maksud
dari hadits di atas adalah Allah selalu bersama hamba-Nya dengan rahmat,
pertolongan, petunjuk, dan pemeliharaan kepedulian, dan barang siapa yang
mendekatkan diri kepada Allah dengan taat, Allah akan memberinya rahmat, taufiq
dan pertolongan. Jika ia menambah dalam bertaat, maka Allah menambah taufiq dan
rahmat-Nya. Jika hamba datang dengan berjalan dan segera bertaat maka Allah
akan melimpahkan rahmat yang amat banyak.
Allah menyukai hamba-Nya yang bertaubat meskipun taubat tersebut terlambat.[8]
Allah menyukai hamba-Nya yang bertaubat meskipun taubat tersebut terlambat.[8]
v Hadits Abdullah Ibn Umar tentang taubat
yang terlambat
عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن
الله عز وجل ليقبل توبة العبد ما لم يغرغر (أخرجه ابن ماجه في كتاب الزهد)
Artinya:
dari Abdullah Ibn Umar dari Nabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
akan menerima taubat seorang hamba sepanjang nyawanya belum sampai ke
tengorokan (HR. Ibnu Majah dalam kitab Zuhud)
Yugharghiru
ialah bolak-baliknya ruh di tenggorokan. Dan artinya bahwa taubatnya orang yang
berdosa itu bisa diterima selama ruh belum sampai di tenggorokan. Karena
diwaktu sakaratul maut, sudah terang seseorang itu kambali ke rahmat atau
kembali ke resiko atau siksa, dan tidak akan bermanfaat atau berguna ketika itu
taubatnya atau imannya. Karena syarat bertaubat itu berkemauan meninggalkan
dosa dan tidak akan membiasakan dosa. Sedang kemauan itu bisa terjadi nyata
bilamana memungkinkan bagi orang yang bertaubat, padahal tidak mungkin terjadi
karena dia sudah tidak mampu lagi.[9]
IV. KESIMPULAN
Dari paparan
makalah di atas, dapat kami simpulkan bahwa definisi dosa besar tidaklah dapat kita ketahui. Syara’ hanya menyifatkan
beberapa dosa dengan besar dan beberapa dosa yang lain dengan kecil, sedang
beberapa dosa lagi tidak disifatkan dengan suatu sifat, sedang dia meliputi
kecil dan besar. Hikmah tidak diterangkannya hal itu, supaya para hamba
meninggalkan semua dosa.
Taubat mencakup tiga syarat: (1) meninggalkan
perbuatan dosa, (2) menyesali perbuatannya, (3) bertekad tidak akan
melakukannnya kembali. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin,
membagi taubat menjadi empat tingkatan. Kemudian dari paparan hadits-hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa
dosa besar dapat dihapuskan dengan memohon ampun kepada Allah dan taubat,
sedangkan dosa kecil dapat menjadi besar jika terus-menerus dikerjakannya.
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang
bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AMIIN.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Sayyid, 1996. Akibat
Dosa, Bandung: Pustaka Hidayah.
HS, Fahruddin, 1985. Membentuk
Moral Bimbingan Al-Qur’an, Jakarta: Bina Aksara.
Muhammad Hasbi, Teungku, 2004. Mutiara Hadits 1, Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Zuhri, 1982. Kelengkapan Hadits Qudsi, Semarang: Toha
Putra.
Sonhaji, Abdullah, 1979. Terjemah Durratun Nashihin,
Semarang: Al-Munawwar.
Thabbarah Afif, Abdullah Fatah,
1986. Dosa Dalam Pandangan Islam, Bandung: Risalah
Bandung.
[1] Afif Abdullah
Fatah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, (Bandung: Risalah Bandung,
1986), Hlm. 3.
[2] Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits 1, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2004), Hlm. 188.
[3] Muhammad Zuhri, Kelengkapan Hadits Qudsi, (Semarang: Toha
Putra, 1982), Hlm. 25.
[7] Muhammad Zuhri, Op. Cit., Hlm. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar