Jumat, 16 September 2011

Dosa-Dosa Besar dan Taubat


I.     PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini yang dilahirkan secara fitrah, yaitu dalam keadaan yang suci dari dosa-dosa. Namun seiring dengan berjalannya waktu manusia yang dibekali Allah akal, fikiran dan nafsu ia mulai tamak dengan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Inilah kiranya yang membuat manusia memiliki potensi untuk berbuat dosa. Perbuatan dosa terjadi ketika manusia tersebut tidak dapat menyeimbangkan antara akal, fikiran dan nafsu sehingga manusia tersebut diperbudak oleh hawa nafsu yang menyelimutinya.
Perbuatan manusia yang berlebihan sehingga mendapatkan dosa dapat diperbaiki melalui cara taubat, yaitu menghentikan perbuatan berdosa tersebut dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan penuh rasa ikhlas dan mengharap ridha-Nya.

II.     POKOK PEMBAHASAN
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang:
A.  Definisi Dosa-Dosa Besar
B.   Definisi Taubat dan Tingkatannya
C.  Hadits-Hadits Tentang Dosa Besar dan Taubat
 
III.     PEMBAHASAN
A.  Defininsi Dosa-Dosa Besar
Sebagian ‘ulama’ telah membatasi dosa besar dengan tiap-tiap dosa yang disertakan dengan ancaman atau hukuman had atau kutukan. Maka tiap-tiap dosa yang diketahui bahwa kerusakan yang ditimbulkan olehnya, sebagai kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan yang diancam dengan siksaan atau hukuman had, atau kutukan, dipandanglah dosa besar. Kemudian Ibnu Abdis Salam berkata pula: “yang lebih patut menjadi pembatasan bagi dosa besar, ialah sesuatu dosa yang dirasakan bahwa orang yang mengerjakannya, menganggap enteng larangan agamanya, sebagai yang dirasakan oleh orang-orang yang mengerjakan sekecil-kecil dosa besar yang sudah dinashkan itu”. [1]
Abu Hasan Al-Wahidi berkata: definisi dosa besar tidaklah dapat kita ketahui. Syara’ hanya menyifatkan beberapa dosa dengan besar dan beberapa dosa yang lain dengan kecil, sedang beberapa dosa lagi tidak disifatkan dengan suatu sifat, sedang dia meliputi kecil dan besar. Hikmah tidak diterangkannya hal itu, supaya para hamba meninggalkan semua dosa.[2]

B.  Definisi Taubat dan Tingkatannya
v  Definisi Taubat
Pengertian taubat menurut bahasa berarti kembali, dan kata taubat ini adalah kata sifat yang biasa dipakai oleh Tuhan dan manusia. Orang yang melakukan kesalahan berarti lari dari rahmat Allah. Apabila ia meninggalkan sebuah perbuatan dosa, berarti ia kembali kepada-Nya. Secara terminologis, taubat mencakup tiga syarat: (1) meninggalkan perbuatan dosa, (2) menyesali perbuatannya, (3) bertekad tidak akan melakukannnya kembali. Salah satu unsur taubat adalah rasa penyesalan. Sebab rasa ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik, rasa menyesal ini akan menampakkan bahaya dosa di mata pelakunya, disamping siksaan yang bakal diterimanya dan akibat jelek yang akan menimpanya.
Taubat adalah penyesalan yang benar. Taubat mampu mendorong seseorang untuk merubah tingkah lakunya yang dipenuhi dengan dosa menjadi bersih dan baik kembali. Bertaubat harus disertai dengan rasa pengakuan dan penyesalan bahwa kita telah membangkang pada salah satu perintah Allah atau Rasulullah.[3]

v  Tingkatan Taubat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi taubat menjadi empat tingkatan:
a)    Orang yang taubat dari kesalahannya kemudian ia tetap meninggalkan kesalahannya, sampai akhir hayatnya tidak sedikitpun dalam hatinya untuk kembali melakukan dosa. Taubat ini dinamakan taubat yang benar, dan jiwa orang itu dinamakan jiwa yang tentram (nafsul muthmainnah).
b)   Orang yang bertaubat dan tetap mengerjakan kewajiban yang pokok dan meninggalkan segenap perbuatan yang keji dan dosa besar, tetapi terkadang terlanjur mengerjakan dosa dalam beberapa keadaan yang tidak menguasai dirinya. Ketika terlanjur melakukan dosa dia tetap menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Jiwa orang ini disebut jiwa yang suka tarik menarik ( nafsu lawwamah).
c)    Orang yang bertaubat dan berjalan baik, tetapi kemudian dikalahkan oleh nafsunya yang tidak dapat dilawannya. Namun, dia tetap taat menjalankan perintah Allah dan meninggalkan dosa selain dari satu atau dua yang tidak dapat dihentikannya, karena dorongan nafsu dipengaruhi kebiasaan atau keadaan disekitar. Walaupun demikian, dia tetap berjuang melawan nafsu dan mengharapkan terhindar dari dosa yang demikian. Jiwa ini pandai menipu (nafsu musawwilah)
d)   Orang yang bertaubat yang hanya berjalan dalam satu masa saja. Kemudian kembali lagi mengerjakan dosa dengan tidak merasa menyesal dan tidak teringat akan taubat. Jiwa ini dinamakan jiwa yang menyuruh kepada perbuatan salah (nafsu ammarah bis suu’). Untuk benar-benar bertaubat manusia harus berupaya merenung, bertafakkur dan beramal shalih, serta menyadari bahwa menjadi orang yang dicintai Allah itu merupakan sesuatu yang tidak terhingga harganya.[4]

C.  Hadits-Hadits Tentang Dosa dan Taubat 
v  Hadits Anas tentang menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, dan saksi palsu
عن أنس رضى الله عنه قال سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الكبائر قال الاشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس وشهادة الزور (أخرجه البخارى في كتاب الشهادات)
Artinya: dari Anas RA. berkata: ditanyakan kepada Rasulullah tentang dosa besar, maka Nabi menjawab: menyekutukan Allah, mendurhakai dua ibu bapak, membunuh orang, dan member kesaksian palsu (HR. Bukhari dalam kitab Syahaadaat)
Zuur menurut pendapat Ats-Tsa’labi dan Abu Ishaq adalah: ”membaguskan sesuatu hingga dikhayalkan oleh orang yang mendengarnya atau yang melihatnya, khayalan yang berlainan dengan hakikatnya. Maka zuur itu ialah menyandarkan kebatilan dengan cara yang menimbulkan persangkaan bahwasanya hal itu adalah suatu yang benar”.
Nabi menerangkan bahwasanya dosa-dosa besar ialah mempersekutukan sesuatu dengan Allah, mendurhakai ibu bapak, membunuh orang yang tidak patut dibunuh, dan memberikan kesaksian palsu. Ini semuanya adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung dosa-dosa besar. Sedikit sekali para ‘ulama’ yang menetapkan dengan tegas makna “mendurhakai orang tua”. Imam Abu Muhammad Ibnu Abdis Salam berkata: “saya belum mengerti arti mendurhakai dua ibu bapak, hak-hak khusus bagi ibu bapak dan hak-hak yang tegas yang dapat kita pegangi, karena sudah dimaklumi bahwa tidaklah wajib kita taati ibu bapak pada segala suruhan mereka dan pada segala teguran mereka, dengan mufakat segala ‘ulama’”. Abu Amr Ibnu Salam berkata: “’Uquq (mendurhakai ibu bapak) yang diharamkan ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terganggunya perasaan bapak ibu, padahal perbuatan-perbuatan itu bukan perbuatan wajib”. Kerapkali para ‘ulama’ berkata: “menaati dua ibu bapak diwajibkan pada yang bukan maksiat, menyalahi perintah pada yang bukan maksiat dipandang ‘uquq.[5]
v  Hadits Abu Hurairah tentang tentang tujuh macam dosa besar
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغا فلات (أخرجه البخارى في كتاب الوصايا)
Artinya : “dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad bersabda: jauhilah kamu sekalian 7 perkara yang merusak, sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah yang 7 itu? Rasul menjawab: menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang telah diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, makan harta bendanya anak yatim, berpaling pada hari pertempuran (lari), menyangka seorang perempuan mukmin berzina”(HR. Bukhari dalam kitab Washaya)
Nabi menerangkan, bahwa dosa yang besar yang membinasakan orang yang mengerjakannya ada 7 perkara, yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah, berbuat sihir, membunuh orang yang tidak dibenarkan kita membunuhnya, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari barisan yang tengah menghadang musuh, dan menukas perempuan-perempuan muhshanah dengan tuduhan berzina. Sihir dalam bahasa ialah memalingkan sesuatu dari hakikatnya, atau sesuatu yang bersembunyi dan yang halus sekali sebabnya. Demikianlah pendapat Ibnu Katsir. Dan dinamakan waktu sahur dengan sahar, adalah karena dia tersembunyi di akhir malam. Abu Muhammad Al-Maqdisy dalam kitab Al-Kafi berkata: “sihir ialah jimat-jimat, jampi-jampi dan pintalan-pintalan benang yang mempengaruhi jiwa dan tubuh, menyakiti, membunuh, atau menceraikan seseorang dari yang lain”.
Mengenai pembunuhan, maka yang dimaksudkan disini adalah membunuh jiwa yang tidak boleh dibunuh. Para ‘ulama’ berselisih paham tentang orang yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja. Apakah ada tobat baginya atau tidak? Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan beberapa sahabat yang lain berpendapat, bahwa tidak ada tobat bagi orang yang dengan sengaja membunuh orang. Mereka berdalil dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 92. Ibnu Abbas berkata: “ayat ini adalah penghabisan ayat yang diturunkan. Ayat ini tidak dimansukhkan oleh sesuatu pun”. Dan dikuatkan pendapat ini oleh riwayat An-Nasa’i dan Ahmad dari Mu’awiyah, bahwasanya Rasulullah menerangkan, bahwa setiap dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, terkecuali dosa orang yang mati dalam kekafiran atau dosa orang yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja. Jumhur ‘ulama’ berpendapat, bahwa si pembunuh dapat bertobat. Maka jika dia bertobat dan kembali kepada Allah serta mengerjakan amalan-amalan shalih, niscaya Allah mengganti kejahatan-kejahatannya dengan kebaikan.
Riba bermakna “penerimaan yang lebih dari yang kita berikan tanpa ada imbangannya”. Riba yang diharamkan ini meliputi segala macamnya. Yatim pada bahasa ialah “orang yang ayahnya meninggal sebelum dia sampai umur”. Dikehendaki dengan makan harta anak yatim, ialah mempergunakan harta anak yatim untuk kepentingan diri sendiri dan berlaku curang terhadap harta anak yatim itu. Lari dari membelakangi musuh (orang kafir) di waktu peperangan telah berkecamuk, dianggap suatu dosa besar, adalah apabila meninggalkan medan peperangan itu, bukan karena menggabungkan diri kepada barisan sendiri dan bukan karena mencari perlindungan untuk melanjutkan peperangan.
Muhshanat, adalah jamak dari muhshanah. Al-Kisa’I membacanya dengan kasrah shad, sedangkan ahli qira’at yang lain membacanya dengan fathah shad. Kalau dibaca muhshanat, berartilah ‘perempuan-perempuan yang telah dipelihara oleh Allah dengan diberikan suami dan dipelihara pula dari zina’. Kalau dibaca muhshinat, berartilah ‘perempuan-perempuanyang memelihara dirinya dari zina’. Dimaksud dengan menukas atau menuduh disini ialah menukas berzina atau berliwath. Adanya kata mu’minat sesudah muhshanat memberi pengertian, bahwa menuduh perempuan-perempuanbkafir berzina, bukanlah suatu dosa besar.[6]
v  Hadits Abi Bardah tentang beristighfar 100 kali sehari
عن أبي بردة عن رجل من المهاجرين يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول ياأيها الناس توبوا إلى الله واستغفروه فإ ني أتو ب إلى الله و أستغفره فى كل يوم مائة مرة أو أكثر من مائة مرة (رواه احمد في مسندالكوفين)
Artinya : “Dari Abi Burdah dari seorang laki-laki dari sebagian sahabat Muhajirin, beliau mengatakan: saya telah mendengar Nabi Muhammad bersabda “Wahai ingatlah manusia! bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah dan mohonlah pengampunan kamu sekalian kepada-Nya, sesungguhnya saya bertaubat kepada Allah dan sayai mohon pengampunan kepada-Nya pada tiap hari 100 kali atau lebih””
Manusia adalah insan yang tempatnya salah dan lupa, banyak kesalahan yang kita lakukan, baik secara sengaja maupun tidak, kita sadari atau tidak. Sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah segera minta maaf, oleh sebab itu menurut hadits di atas kita dianjurkan untuk beristighfar 100 kali atau lebih. Membiasakan hidup dengan senantiasa zikir kepada Allah, akan membawa ketenangan hari serta terjaga dari sikap dan tutur kata yang buruk, karena lisan kita telah terbiasa berkata yang baik, yaitu kalimat thayyibah dan hati kita senantiasa mengakui kesalahan dan kelemahan kita, sehingga kita menjadi orang yang rendah.[7]
v  Hadits Abu Hurairah tentang Allah gembira terhadap hamba-Nya yang bertaubat
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال قال الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حيث يذكرني والله لله أفرح بتوبة عبده من أحدكم يجد ضالتة بالفلاة و من تقرب إلي شبرا تقربت إليه ذراعا ومن تقرب إلي ذراعا تقربت إليه باعا وإذا أقبل إلي يمشي أقبلت إليه أهرول (أخرجه مسلم في كتاب التوبة)
Artinya : “Dari Abi Hurairah dari Rasulullah SAW bersabda : Allah yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Aku menurut dugaan hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya ketika ia ingat kepadaku, demi Allah, sungguh Allah lebih suka kepada taubat hamba-Nya daripada salah seorang diantaramu yang menemukan barangnya yang hilang di padang. Barang siapa yang mendekatkan diri kepadaku sejengkal, maka Aku mendekatkannya sehasta, dan barangsiapa mendekatkan diri padaku sehasta, maka Aku mendekatkan diri padanya satu depa, dan barang siapa yang mendekatkan diri kepadaku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari”(HR. Muslim dalam kitab taubat)
Adapun maksud dari hadits di atas adalah Allah selalu bersama hamba-Nya dengan rahmat, pertolongan, petunjuk, dan pemeliharaan kepedulian, dan barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan taat, Allah akan memberinya rahmat, taufiq dan pertolongan. Jika ia menambah dalam bertaat, maka Allah menambah taufiq dan rahmat-Nya. Jika hamba datang dengan berjalan dan segera bertaat maka Allah akan melimpahkan rahmat yang amat banyak.
Allah menyukai hamba-Nya yang bertaubat meskipun taubat tersebut terlambat.[8]
v  Hadits Abdullah Ibn Umar tentang taubat yang terlambat
عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله عز وجل ليقبل توبة العبد ما لم يغرغر (أخرجه ابن ماجه في كتاب الزهد)
 Artinya: dari Abdullah Ibn Umar dari Nabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan menerima taubat seorang hamba sepanjang nyawanya belum sampai ke tengorokan (HR. Ibnu Majah dalam kitab Zuhud)
Yugharghiru ialah bolak-baliknya ruh di tenggorokan. Dan artinya bahwa taubatnya orang yang berdosa itu bisa diterima selama ruh belum sampai di tenggorokan. Karena diwaktu sakaratul maut, sudah terang seseorang itu kambali ke rahmat atau kembali ke resiko atau siksa, dan tidak akan bermanfaat atau berguna ketika itu taubatnya atau imannya. Karena syarat bertaubat itu berkemauan meninggalkan dosa dan tidak akan membiasakan dosa. Sedang kemauan itu bisa terjadi nyata bilamana memungkinkan bagi orang yang bertaubat, padahal tidak mungkin terjadi karena dia sudah tidak mampu lagi.[9]
IV.     KESIMPULAN
Dari paparan makalah di atas, dapat kami simpulkan bahwa definisi dosa besar tidaklah dapat kita ketahui. Syara’ hanya menyifatkan beberapa dosa dengan besar dan beberapa dosa yang lain dengan kecil, sedang beberapa dosa lagi tidak disifatkan dengan suatu sifat, sedang dia meliputi kecil dan besar. Hikmah tidak diterangkannya hal itu, supaya para hamba meninggalkan semua dosa.
Taubat mencakup tiga syarat: (1) meninggalkan perbuatan dosa, (2) menyesali perbuatannya, (3) bertekad tidak akan melakukannnya kembali. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi taubat menjadi empat tingkatan. Kemudian dari paparan hadits-hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa dosa besar dapat dihapuskan dengan memohon ampun kepada Allah dan taubat, sedangkan dosa kecil dapat menjadi besar jika terus-menerus dikerjakannya.

V.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AMIIN.


















DAFTAR PUSTAKA


Hasyim, Sayyid, 1996. Akibat Dosa, Bandung: Pustaka Hidayah.
HS, Fahruddin, 1985. Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, Jakarta: Bina Aksara.
Muhammad Hasbi, Teungku, 2004. Mutiara Hadits 1, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Zuhri, 1982. Kelengkapan Hadits Qudsi, Semarang: Toha Putra.
Sonhaji, Abdullah, 1979. Terjemah Durratun Nashihin, Semarang: Al-Munawwar.
Thabbarah Afif, Abdullah Fatah, 1986. Dosa Dalam Pandangan Islam, Bandung: Risalah Bandung.


[1] Afif Abdullah Fatah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, (Bandung: Risalah Bandung, 1986), Hlm. 3.
[2] Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits 1, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2004), Hlm. 188.
[3] Muhammad Zuhri, Kelengkapan Hadits Qudsi, (Semarang: Toha Putra, 1982), Hlm. 25.
[4] Fahruddin HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), Hlm. 65-66.
       [5] Teungku Muhammad Hasbi, Op. Cit.,, Hlm.181.
       [6] Ibid., Hlm. 182-185.
[7] Muhammad Zuhri, Op. Cit., Hlm. 39.
[8] Sayyid Hasyim Ar-Rasuli Al-Mahallati, Akibat Dosa, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), Hlm. 5-6.
[9] Abdullah Sonhaji, Terjemah Durratun Nashihin, (Semarang: Al-Munawwar, 1979), Hlm. 146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar