Jumat, 16 September 2011

Islam dan Gagasan Universal


ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSAL

      I.       PENDAHULUAN
Dalam konteks Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam. Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis. Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilamya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Islam semestinya tidak lagi dibatasi hanya sebatas teks. Akan tetapi, ketika menerjemahkan Islam dalam realitas itulah yang dimaksud sebagai Islam yang sesungguhnya. Islam di situ adalah prinsip nilai-nilai moral positif yang kandungannya kemudian diterjemahkan dalam realitas kehidupan. Islam harus menjadi agama yang realistis bagi kehidupan ini sehingga dapat memberi kontribusi yang praksis bagi peradaban. Teks keagamaan tidaklah bersifat normatif, tetapi semestinya ia menjadi spirit dan sumber penyemangat bagi kehidupan. Karena, peradaban Islam sesungguhnya dimulai dari peradaban tekstual itu. Jika Islam ingin menemukan kembali peradabannya, teks janganlah berhenti pada sebatas teks keagamaan, apalagi teks dapat menjerumuskannya pada mitos-mitos sosial. Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam realitas kehidupan sehingga dari teks itu dapat tercipta peradaban kaum Muslim yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini juga, Rais Aam PBNU tahun 80-an, KH Ahmad Sid-diq, selalu mengembangkan nilai-nilai humanisme dan nasionalisme yang memiliki tiga komponen substansi Islam. Pertama, ukhuwah ba-syariyah atau insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi. Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya. Ketiga, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.
   II.       POKOK BAHASAN
A.      Islam dan Globalisasi
B.       Modernisme dan Puritanisme Islam
C.       Gerakan Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
D.      Islam: Eksklusif dan Inklusif
E.       Islamisasi Sains
F.        Pluralisme Agama-Agama

III.       PEMBAHASAN
A.      Islam dan Globalisasi
Globalisasi secara harfiyyah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Istilah yang konon yang dipopulerkan oleh Theodore Lavitte pada tahun 1985 ini, menurut Mukti Ali, menunjukkan satu corak kesadaran baru yang memperhatikan persoalan-persoalan baru, hal-hal yang khusus, universal, lokal, regional dan internasional yang saling berhubungan dengan cara yang dulu belum pernah terjadi.[1] Hal senada juga dikemukakan oleh Abuddin Nata. Menurutnya, globalisasi merujuk kepada suatu keadaan dimana antara satu negara dengan negara lainnya sudah menyatu. Batas-batas teritorial, kultural dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, dimana pun, dan kapan pun, dengan cepat menyebar keseluruh pelosok dunia.[2]
Sementara itu, Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi bisa ‘dijangkau’ dengan mudah. Ahmed dan Donnan memberi contoh tentang kasus buku Satanic Verses karya Salman Rusydie di akhir tahun 1980-an. Hanya beberapa jam saja, apa yang terjadi di Inggris dengan begitu cepat sudah memunculkan respons di Pakistan dan India memprotes terhadap buku itu terjadi di berbagai belahan dunia. Begitu cepatnya berita tentang buku tersebut merupakan perwujudan era komunikasi, transformasi dan informasi.[3]
Situasi demikian tentunya tidak lepas dari kecanggihan di bidang komunikasi seperti radio, televisi, telepon, faximile, internet dan sebagainya. Melalui berbagai peralatan tersebut, berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia yang lain dapat diakses dengan mudah. Seolah-olah tidak ada pembatas antara dunia yang satu dengan dunia yang lainnya. Berangkat dari realitas tersebut, A. Qodri Azizi menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi yang merupakan hasil modernisasi  di bidang teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan “kompetisi liar” yang saling mempengaruhi; saling bertabrakannya nilai-nilai yang berbeda; atau saling kerja sama yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa baru.[4]
Dengan kata lain, globalisasi terkait dengan interaksi-interaksi transnasional yang melibatkan semua elemen masyarakat secara nyata. Elemen-elemen masyarakat itu terdiri dari pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga didikan maupun  individu-individu. Watak globalisasi yang imanen dalam segala bidang kehidupan merupakan fenomena sosiologis yang menyentuh wilayah kehidupan sosial dan spiritual yang sudah barang tentu berimplikasi interdependensi antara elemen-elemen masyarakat tersebut.[5]
Empat paradigma umat Islam dalam merespons globalisasi, antara lain:
1.    Paradigma Tradisionalis
Pemikiran tradisionalis  percaya bahwa kemunduran umat Islam adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu tentang arti dan hikmah dibalik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Makhluk, termasuk umat Islam, tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dinilai sebagai ujian atas keimanan, dan kita tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di balik kemajuan dan pertumbuhan umat manusia.[6]
2.    Paradigma modernis
Kaum modernis percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Mereka menyerang teologi sunni yang dijuluki sebagai teologi fatalistik. Pandangan kaum modernis merujuk pada pemikiran modernis Mu’tazilah, yang cenderung bersifat antroposentris dengan doktrinnya yang sangat terkenal, yaitu ushul al-khamsah. Bagi Mu’tazilah, manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri. Ia hidup tidak dalam keterpaksaan (jabbar). Akar teologi Mu’tazilah dalam bidang af’al-al-‘ibad (perbuatan manusia) adalah Qadariyyah sebagai anti tesis dari Jabbariyyah.[7]
Asumsi dasar kaum modernis adalah bahwa keterbelakangan umat Islam karena mereka melakukan sakralisasi terhadap semua bidang kehidupan. Asumsi tersebut pada dasarnya sejalan dengan aliran developmentalisme yang beranggapan bahwa kemunduran umat Islam terjadi karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung melihat nilai-nilai sikap mental, kreativitas, budaya dan faham teologi sebagai pokok permasalahan.[8]
3.    Paradigma fundamentalis
Bagi revivalis, umat Islam terbelakang karena mereka justru menggunakan ideologi lain atau “isme” lain sebagai dasar pijakan daripada menggunakan Al-Qur’an sebagai acuan dasar. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur’an pada dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna sabagai dasar bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu, mereka juga memandang isme lainsebagai ancaman. Globalisasi dan kapitalisme bagi mereka merupakan salah satu agenda Barat dan konsep non-Islami yang dipaksakan pada masyarakat Muslim.[9]
4.    Paradigma transformatif
Mereka (penggagas transformatif) percaya bahwa keterbelakangan umat Islam disebabkan oleh ketidak adilan sistem dan struktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan kultur. Ini adalah proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa kekerasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Keadilan menjadi prinsip fundamental bagi penganut transformatif. Fokus kerja mereka adalah mencari akar teologi, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial.[10]
Bahruddin Darus mengajukan lima konfigurasi globalisasi, antara lain: globalisasi informasi dan komunikasi, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya dan kesadaran, globalisasi media massa, globalisasi politik dan wawasan.[11] Sementara itu, Muhtarom melengkapinya dengan tiga konfigurasi yang lain, yaitu: globalisasi hukum, globalisasi ilmu pengetahuan dan globalisasi agama.[12]
Dialektika antara dinamika zaman dan pendidikan adalah sesuatu yang akan terus terjadi. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan perubahan dan perkembangan masyarakat ke arah yang memuaskan. Sebaliknya, perubahan zaman yang berjalan sangat pesat menuntut adanya perubahan-perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena itu, di era globalisasi ini perlu ada rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan Islam harus diorientasikan kepada tiga hal, yaitu[13]:
·      Pendidikan Islam sebagai proses penyadaran
·      Pendidikan Islam sebagai proses humanisasi
·      Pendidikan Islam sebagai pembinaan akhlaq al-karimah
B.       Modernisme dan Puritanisme Islam
Praktis semua Menteri Agama dalam pemerintahan Orde Baru berpandangan bahwa mereka memiliki tiga peran yang saling terkait yang harus mereka mainkan. Pertama, mereka yakin bahwa mereka diharapkan untuk tidak saja menjadi juru bicara pemerintah kepada umat Islam yang merupakan mayoritas, melainkan juga pembela kepentingan Islam di dalam pemerintahan. Kedua, mereka memandang diri mereka sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap berlangsungnya hubungan antar agama yang harmonis. Dan akhirnya Ketiga, meskipun tidak pernah dikemukakan secara terbuka, mereka memandang diri mereka sebagai pemimpin masyarakat Islam dalam upaya bersama meningkatkan kualitas pendidikan dan intelektualitas umat. Demikianlah, meskipun seorang menteri agama dapat mendahulukan satu atau lain peran di atas, tergantung kepada pandangannya mengenai situasi politik dan sosial yang tengah berkembang pada masanya, tetapi ketiga peran di atas selalu ada dalam agenda tersembunyinya.[14]
Indonesia, modernitas dan islam adalah tiga kata yang sangat kuat mencirikan dinamika wacana Islam kontemporer di Indonesia. Tema-tema yang menonjol dalam wacana Islam dapat dipandang sebagai sebuah permainan dengan tiga kata yang beraura magis itu. Tetapi bagaimana seseorang berhubungan dengan tiga gagasan yang pada dasarnya berbeda-beda itu? Ketiganya bukanlah hanya kata-kata yang maknanya dapat secara memuaskan dicari dan ditemukan dalam kamus. Ketiganya adalah konsep-konsep yang membawa serta di dalamnya paham mengenai kepastian tertentu. Sedemikian, maka ketiga kata itu menyarikan paham tertentu mengenai realitas, dan masing-masingnya dilengkapi dengan logika dan satuan loyalitas dan komitmen tersendiri. Masing-masingnya juga bisa saling mengecilkan dan meremehkan. Lebih dari itu, masing-masing konsep di dalam dirinya sendiri juga tidak terbebas dari ketegangan ideologis internal. Baik Islam maupun Indonesia tidak pernah memiliki makna tunggal. Dan siapa yang secara pasti dapat mengatakan bahwa hanya ada satu konsep mengenai modernitas? Banyak sekali brosur, kertas kerja seminar, pidato dan penelitian yang dapat membenarkan hal ini.[15]
Persoalan pertama yang harus dihadapi oleh ketiga pilar ideologis paradigma Islam yang baru tumbuh di atas, yakni “Indonesia”, “Islam” dan “Modernitas” adalah pertanyaan yang diperbarui kembali mengenai bagaimana seseorang menerjemahkan simbol dan pesan Islam yang abadi dan universal ke dalam konteks Indonesia kontemporer. Setiap penerjemahan harus diawali dengan pemahaman yang mendalam terhadap teks.[16]
Kontekstualitas adalah isu teologi lama yang selalu muncul kembali. Masalahnya menyangkut legitimasi interpretasi atau takwil dari teks-teks simbolik Al-Qur’an serta keabsahan analogi dan konsensus dalam membahas persoalan hukum. Kedua persoalan mendasar ini bukan hanya telah menciptakan jurang yang nyaris tak terjembatani antara para filosof dan teolog, tetapi juga telah memicu perdebatan antara berbagai generasi teolog dan ahli fiqih. Ada beberapa faktor yang membuat isu ini relevan dan menambah momentum khusus.
Pertama, agama adalah misteri. Setiap pertanyaan yang dihadapkan kepada para penganutnya tidak mempunyai jawaban tunggal yang konklusif. Pada tahap sejarah tertentu dari setiap agama apa pun, para penganutnya akan menguji asumsi-asumsi teologis mereka dan yang mencoba membebaskan diri dari ikatan teologis yang mapan untuk menemukan ketentraman dalam jawaban yang baru dirumuskan dan yang memuaskan secara teologis. Tidak penting apakah jawaban baru itu secara substansial mirip dengan jawaban lama atau bahkan dengan jawaban yang telah terlupakan. Kekuatan jawaban baru dirumuskan itu tergantung pada kemampuannya menawarkan aktualitas kepada para penganutnya. Lebih jauh lagi, proses pengujian ulang serta pencarian jawaban teologis tertinggi, dalam dirinya sendiri merupakan tindakan yang amat terpuji.[17]
Kedua, kontroversi ini merebak di masa ketika budaya tulis sudah merasuk dalam ke jantung umat beragama sehingga mengundang partisipasi khalayak yang lebih luas. Menyebarnya kamampuan baca tulis dan penerjemahan teks-teks yang dulunya hanya dimiliki oleh kelompok terbatas telah memupus monopoli ulama’ dalam setiap wacana agama. Kemampuan baca tulis dan makin suburnya budaya cetak telah meningkatkan jumlah orang yang dapat secara langsung melakukan dialog dengan teks-teks itu. Namun demikian, teks tersebut sebagaimana adanya, tetap merupakan medium yang dipakai sumber gaibnya menyampaikan pesan. Dengan kata lain, persoalan kontekstualitas teks lebih terkait dengan dialog antara teks yang tidak berubah dan beragam pendapat tentang kontekstualitas.[18] Setiap pembaca berpotensi untuk memiliki kesempatan mencapai pemahaman tertentu tentang realitas struktural dan historisnya. Kemungkinan beragamnya jawaban terhadap pertanyaan hakiki yang diajukan, tentu saja merupakan hipotesis yang agak dibesar-besarkan, karena biasanya seseorang datang menawarkan jawaban yang lebih persuasif dan lebih meyakinkan yang bisa dipengaruhi banyak orang. Namun demikian, masalah itu menjadi lebih kompleks lagi oleh fakta, bahwa untuk pertama kali dalam sejarahnya di Indonesia, dunia kosmopolitan Islam tidak memiliki pusat intelektualnya.
Lewatlah sudah masa-masa ketika kontroversi agama dan reformasi sekadar merupakan reproduksi dari kejadian di pusat dunia Islam. Lewat pula sudah masa-masa ketika para partisipan kontroversi itu adalah anggota jaringan ulama’ yang pusat intelektualnya berada di Tanah Suci.
Ketiga, kontroversi teologis yang ada bukan semata latihan intelektual yang dilakukan para penganut yang saleh. Kontroversi itu lebih terkait dengan masalah praksis. Pendirian teologis merupakan upaya untuk mencetak pola perilaku dan struktur perasaan tertentu. Pendirian itu dapat menjadi rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan sosial dan program-program yang telah dilakukan atau yang tengah direncanakan. Teks-teks yang dihasilkan dalam perjalanan kontroversi itu karenanya dapat diekspresikan dalam bentuk tertulis atau dalam serangkaian tindakan.[19]
Seorang ilmuwan suatu ketika diminta menjawab sebuah pertanyaan yang tidak terlalu hipotesis, dalam masyarakat yang sudah sangat tersekularkan, apa yang akan terjadi pada Islam? Jawabannya adalah, dalam situasi seperti itu, Islam mungkin harus menyandarkan diri kepada tradisi mistiknya dan kepada pesan-pesan teologis Al-Qur’an, barangkali ia benar. Makin populernya mistisisme di kalangan kaum Muslim terdidik diperkotaan mungkin akan memperkuat ketepatan pandangan di atas. Terlepas dari bentuknya yang beragam, dapat dikatakan bahwa sufisme bukan hanya merupakan reaksi terhadap sesuatu yang tidak dikehendaki, melainkan juga respons kreatif terhadap segala yang dipandang sebagai tuntutan keagamaan. Dengan tujuan menyucikan jiwa dalam upaya mencapai kebenaran tertinggi, mistisisme berusaha menggapai otentisitas kehidupan, termasuk segala aspek duniawinya. Seperti yang selalu ditekankan oleh para praktisinya, sufisme adalah tradisi humanistik Islam asli yang bukan saja tidak mendakwahkan kepasifan, tetapi juga memberi nilai tinggi kepada kepuasan mental dan spiritual.[20]
Sedangkan Puritanisme pada awalnya adalah gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja Inggris pada akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan ini muncul karena, setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol kerajaan Inggris dan kedua, kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum puritan-- dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusan-keharusan yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk memurnikan (purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi rujukan kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan Martin Luther (Jerman). Keduanya adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia berkembang di Amerika, di daerah New England oleh sebab nenek moyang gerakan ini yang menyeberang ke Amerika karena melarikan diri dari pimpinan gereja dan raja Inggris.
Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4. peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.[21]
Dua catatan penting yang harus dicatat disini adalah, pertama, semangat kaum puritan untuk mengembalikan ajaran dan peribadatan kristen ke dan sebagaimana dipraktekkan oleh kaum kristen awal. Kedua, semangat dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik dan mencerahkan anggota-nya agar berpengatahuan luas dan berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika dua hal yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Pertama, mereka digambarkan sebagai tertutup dan fundamentalis. Tetapi, kedua, mereka digambarkan sebagai sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar. Mereka, oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi Amerika.

C.      Gerakan Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Kawasan Timur Tengah yang kaya minyak, dipandang sebagai basis pergerakan Islam yang dimotori bangsa-bangsa Arab dan Persia. Di kawasan ini, Amerika Serikat mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan jalur pemasokan (supply) minyak bagi keperluan negerinya. Hubungan yang kurang akrab dengan negara-negara Arab ini sering menimbulkan dislokasi pandangan yang potensial menjadi konflik. Munculnya gerakan Islam fundamentalis yang terkenal sangat anti barat, sangat memprihatinkan Amerika Serikat dan masyarakat Barat umumnya bahwa kepentingan supply minyak dari kawasan ini akan bisa terganggu.[22]
Banyak kejadian ekstremitas, gerakan teroris yang memerangi kepentingaan Barat di berbagai pelosok penjuru dunia, dikaitkan dengan gerakan Islam fundamentalis yang merasa diperlakukan makin tidak adil oleh Barat. Para politisi dan praktisi barat, khususnya Amerika Serikat, suka merancukan istilah Islam dengan menggeneralisasi sebagai kekuatan politik secara sempit. Islam dipandang sebagai ideologi yang berbasis pada kekuatan agama. Wujud gerakan Islam Fundamentalis yang kaku sering diartikan sebagai perwujudan masyarakat Islam secara keseluruhan. Kesan negatif seperti ini telah mendorong lahirnya banyak gagasan dari kalangan Barat yang berhaluan pragmatis untuk merekayasa penghancuran Islam sebagai kekuatan politik dan ideologi.[23]
Namun bagi kalangan Barat yang idealis dan memiliki wawasan ke-Islam-an yanag luas, mereka lebih berpandangan optimistis dan positif terhadap gerakan Islam, tidak gegabah memandang islam sebagai fenomena baru dalam percaturan politik internasional semata. Perlu dibedakan Islam sebagai gerakan sosial keagamaan yang humanis, sebagaimana gerakan agama-agama lain yang menjunjung nilai-nilai kebaikan.[24]
Dalam percaturan konstalasi politik internasional, terutama memahami perjuangan dua kubu kepentingan politik antara Barat dan Islam Fundamentalis ( negara-negara Arab di Timur Tengah), dalam perimbangan kekuatan apa pun dan posisi mana pun. Iran adalah satu-satunya negara Islam Fundamentalis yang memiliki visi depan, bersikap tegar dalam pendirian, memiliki program yang jelas penuh perhitungan, mempunyai kekuatan sumber daya, berpengaruh luas di antara negara-negara tetangga dan masyarakat Barat. Amerika Serikat yang pernah akrab dengan penguasa Iran sebelumnya ‘Shahanshah Reza Pahlevi”, ketika ikut membangun persenjataan militer Iran yang modern, sempat memasukkan Iran dalam daftar 10 besar negara berkekuatan militer di dunia.[25]
Beberapa kaum fundamentalis berpendapat bahwa Islam “resmi” sekarang sudah tidak bersentuhan dengan kebutuhan orang-orang yang beriman, dan dalam suatu ungkapan yang tidak mudah untuk dilupakan dan bersemangat mereka menggambarkan da’i-da’i tertentu sebagai ‘beo-beo minbar’. Oleh karena itu jenis kaum fundamentalis Islam ini lebih menuntut penelitian dan interpretasi ulang terhadap sumber-sumber ajaran agama dari pada menuntut penegasan kembali nilai-nilai dan ajaran “tradisional”. Banyak pemimpin agama menolak usaha-usaha untuk mempersoalkan dan mengubah dogma yang telah ditetapkan sebagai pembaharuan yang keliru (bid’ah), dan perbedaan penting antara pemikiran kelompok radikal dan konservatif sering dikaburkan oleh kenyataan bahwa keduanya mempunyai label “fundamentalis” yang diterapkan pada mereka. Pendek kata, kaum fundamentalisme adalah suatu fenomena yang kompleks dan berbeda, dan orang-orang yang meneliti manifestasi fundamentalisme tidak boleh mengharapkan jawaban-jawaban yang sederhana terhadap persoalan-persoalan mereka.[26]
Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tapi tidak mungkin bisa bertemu, namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya serta pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haqq, tetapi pada hekikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad. SAW, tetapi bid’ah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Rasulullah Muhammad SAW.[27]
Ditinjau dari sudut kebahasaan, penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, sedangkan Liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (Al-Qur’an dan Hadist). Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam” karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.[28]
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a)    Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). Pendapat ini jelas telah menyalahi dan bertentangan dengan jumhur ulama yaitu tentang semua perkara ibadah adalah haram kecuali yang diperintahkan dan semua perkara non ibadah adalah halal kecuali yng diharamkan. Serta adanya perintah untuk menjauhi syubhat (hal-hal yang tidak jelas halal/haramnya).[29]
b)   Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
Ini adalah pernyataan bahwa islam liberal menganggap penafsiran mereka lebih baik dari pada salaf (ulama terdahulu) padahal Allah SWT jelas-jelas telah meridhai mereka (para radhiyallahu’anha) dan tercantum jelas dalam al-Qur’an yang artinya : “Mereka yang pertama-tama masuk Islam, Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah SWT”.
Mereka juga lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan islam berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW. “Sebaik-baik umatku adalah yang hidup pada masaku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya lagi. (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in).[30]
c)    Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
Pendapat ini jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mana dalam al-Qur’an sudah dijelaskan oleh Allah SWT, yang artinya : “ Kebenaran itu daru Tuhan mu, karena itu janganlah sekali-kali engkau ragu”.[31]
d)   Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
Sebenarnya dalam hal ini tidak terlalu berpengaruh karena pendapat diatas tergantung pada arti “Minoritas” dan “Tertindas” selama tidak ada dalil yang melarang (tidak dilarang oleh Syari’at) maka itu syah-syah saja. Karena pada dasarnya Islam mengajarkan kita harus saling tolong menolong diantara sesama apalagi bila orang tersebut sedang dalam kesusahan.[32]
e)    Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
Menanggapi pendapat ini syah-syah saja selama itu tidak mengganggu umat islam itu sendiri. Tetapi jika dalam kenyataannya ternyata malah meresahkan umat Islam maka wajib diperangi.[33]
f)    Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Kelompok Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[34]
D.      Islam: Eksklusif dan Inklusif
Eksklusivisme adalah sebuah paham atau sikap yang menganggap bahwa hanya pandangan kelompok dan agamanya saja yang paling benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap salah, sesat, dan tidak dapat menjadi jalan keselamatan.[35] Sikap ini didasarkan pada sebuah klaim kebenaran yang ada pada setiap agama, dan merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman.[36] Secara umum ada beberapa ungkapan yang mewakili sikap eksklusif, seperti : “hanya agama saya yang benar”, dan “hanya agama saya yang didasarkan pada kebenaran wahyu”.[37]
Dalam agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku.”[38]
Kemudian dalam ayat lain disebutkan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di kolong langit ini, tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ayat-ayat ini dalam perspektif orang yang eksklusif sering dibaca secara literal. Menurut Adnan Aslan, meskipun ada cara lain dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, secara historis ayat itu selalu dipandang sebagai prinsip-prinsip sakral yang mendukung Yesus dan Krisen sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.[39]
Dalam umat Islam, contoh pandangan eksklusif tersebut dapat dilihat dari banyak penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam dalam pandangan-pandangan eksklusif. Beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain dalam, surah al-Maidah ayat: 3 yakni “wa radîtu lakum al-Islâma dînan” (“dan Aku ridhoi Islam menjadi agamamu”). Kemudian dalam surah âli-‘Imrân ayat: 85 yakni “wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu” (“barang siapa menerima agama selain Islam, maka tidaklah akan diterima” ). Kemudian apabila dicermati, sikap eksklusif ini tidak terlalu salah dalam beragama, sebab jika ekskusivisme berarti sikap tidak toleran, dan mau menang sendiri, tidak ada etika agama manapun yang membenarkannya. Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan eksklusif berkenaan dengan kualitas, mutu atau unggulan mengenai ajaran agamanya yang didukung dengan bukti dan argumen yang kuat dan relevan, setiap orang mencari agama yang eksklusif dalam arti excellent, sesuai dengan selera dan keyakinannya.[40]
Paradigma inklusifisme menyatakan tentang pentingnya memberikan toleransi terhadap orang lain. Dalam hal ini, Inklusivisme merupakan sikap yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran dan jalan keselamatan, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya.[41]
Sikap inklusif ini mencerminkan kemajuan dalam memandang agama lain, di mana kebenaran dan keselamatan bukan dominasi keyakinan atau agama tertentu, tetapi agama lain pun memilikinya, walaupun agama lain itu masih dianggap sekunder. Atau menurut istilah Cak Nur, “agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita” (Islam). Dengan kata lain sikap inklusif itu suatu kesadaran pandangan penganut agama terhadap kemungkinan benar pada penganut atau agama lain. Pandangan inklusivisme ini, senantiasa mencoba untuk mencari common platform atau di antara pelbagai keragaman, baik dalam konteks intra agama maupun antar agama. Dengan kata lain, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan, akan tetapi selalu ada titik temu yang bisa dipertemukan di antara perbedaan tersebut.[42]
Di antara pandangan inklusif ini dapat ditemukan pada dokumen konsili vatikan II, yang mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Konsili tersebut telah mengeluarkan tiga keputusan penting: pertama, orang yang tidak dibaptis, yang tanpa kesalahan, tidak percaya kepada Allah, dapat diselamatkan asal mereka hidup menurut suara hati mereka. Kedua, setiap orang berhak untuk mengikuti agama yang diyakininya. Ketiga, umat Katolik dianjurkan untuk menghormati apa yang baik dalam agama-agama lain. Sikap seperti ini, dalam  Islam juga bisa ditemukakan misalnya, pandangan Ibn Taimiyah, yang membedakan orang-orang dan agama Islam umum (yang non muslim par excellent), dengan orang-orang dan agama Islam khusus (muslim par excellent). Kata “Islam” sendiri di sini diartikan sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Menurutnya, semua Nabi dan para pengikutnya disebut oleh Allah dengan orang-orang muslim.[43]
Selain Ibn Taimiyah, dapat juga ditemukan pandangan inklusif ini dari seorang teolog muslim al-Ghazali. Al-Ghazali, seperti yang dikutip dalam tafsir al-Mâraghi, telah mengemukakan pandangan yang menghubungkan keselamatan Ahli Kitab dengan sampai dan tidaknya informasi tentang Islam yang benar kepada mereka. Dalam hal ini dia membagi Ahli Kitab menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang nama Nabi Muhammad sama sekali tidak sampai kepada mereka. Mereka ini diampuni.  
Kedua, kelompok yang nama, sifat dan mukjizat nabi sampai kepada mereka. Mereka ini adalah orang-orang yang tinggal dan bergaul dengan orang-orang muslimin, namun mereka tidak beriman kepadanya, karenanya mereka itu adalah orang kafir yang ingkar.
 Ketiga, kelompok yang berada di antara dua kelompok sebelumnya. Nama nabi sampai kepada mereka, namun sifatnya yang benar tidak sampai, bahkan sejak kecil mereka sudah mendengar bahwa seorang pembohong bernama Muhammad menjadi nabi. Mereka ini dipandang seperti kelompok pertama, karena meskipun mereka mendengar nama nabi, namun mereka tidak mengetahui kebenarannya, bahkan hanya mengetahui kebalikan dari sifat-sifat yang sebenarnya.[44]
Berdasarkan pemahaman di atas, maka kalangan inklusif menganut pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Di sini, sikap inklusif sesungguhnya membuka ruang iman, yang pada umumnya eksklusif menjadi ruang yang inklusif. Tuhan tidak hanya menyediakan satu nabi kepada umat manusia di seluruh dunia, dan Tuhan juga menyediakan ruang kepada nabi-nabi lain untuk menyebarkan ajaran tentang kebajikan, kemaslahatan, keadilan dan kedamaian. Hemat penulis, sikap inklusif ini juga ditemukan dalam diri Cak Nur, di mana dia mengungkapkan bahwa agama yang lurus adalah yang membawa pesan kemanusiaan universal, yang merupakan esensi inklusivisme.
Kemudian dalam hal ini, menurutnya agama Islam yang di ajarkan Nabi Muhammad merupakan agama yang membawa pesan kemanusiaan universal tersebut, sekaligus mempunyai potensi kuat untuk membangun kalimâtun sawa’ dengan agama-agama yang lain, karena ajaran yang dibawanya merupakan ajaran tentang keterbukaan dan kerahmatan terhadap umat agama-agama yang lain. Hanya saja, menurut dia yang harus dikembangkan adalah sikap berbaik sangka terhadap kelompok lain, bukan berburuk sangka.[45]
E.       Islamisasi Sains
Kata “Sains Islam” dan lebih-lebih lagi “Islamisasi Sains” telah menjadi kata yang membingungkan dan sampai taraf tertentu tidak populer. Membingungkan karena para pendukungnya memiliki versi dan pemahaman serta cara yang berbeda-beda tentangnya. Tidak populer karena ia berimplikasi pada relativitas sains yang selama ini dipandang universal, walaupun asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar.[46] Unsur islam dalam kata islamisasi di atas tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-Qur’an dan hadits, tetapi sebaiknya dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental Islam. Islamisasi sains tidak semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis. Islamisasi sains didasarkan pada asumsi bahwa sains atau ilmu, tidak pernah sama sekali terbebas dari nilai.[47]
Naturalisasi ilmu dan sekularisasinya menunjukkan ketidaknetralan ilmu. Sejak dahulu, ketika ilmu berkembang disebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologis dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuwan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang disebut sebagai helenisasi ilmu, kristenisasi ilmu, islamisasi ilmu pada masa klasik islam, kemudian westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat barat terhadap ilmu. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang alamiah, bahwa ketika dari Barat ilmu ditransfer ke negara-negara Islam, ilmu tersebut mengalami naturalisasi, yaitu proses adaptasi dan akulturasi ilmu terhadap nilai-nilai religius dan budaya yang berkembang disana. Proses naturalisasi ilmu oleh orang-orang Islam di wilayahnya masing-masing inilah yang dimaksud dengan “Islamisasi Sains”.[48]
Islamisasi sebagai salah satu bentuk naturalisasi ilmu perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan itu melindunginya.[49] Sebenarnya sebagai agama, Islam sangat mendukung terhadap pencarian dan pengembangan ilmu. Hampir seluruh bidang boleh dijamah dan di eksplorasi, kecuali Dzat Tuhan sendiri yang memang tidak mungkin dijangkau oleh kemampuan manusia belaka karena dalam pandangan Islam semua ciptaan Tuhan patut untuk diteliti dan dikaji secara seksama karena semua ciptaan adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan sendiri.[50]
Menurut Profesor Nasr, tak ada seorang ilmuwan Muslim yang menuntut ilmu hanya karena rasa ingin tahu, tetapi mereka menuntut ilmu dalam rangka mencari jejak Ilahi. Selain itu, Islam pun membiarkan perbedaan pendapat dalam soal ilmu yang mengarahkan pada munculnya pelbagai teori ilmiah di kalangan umat Islam. Bahkan teori yang di Barat telah menimbulkan begitu banyak reaksi dari dari kalangan umat Kristen, seperti teori evolusi, sebenarnya juga telah dikembangkan dengan baik oleh para pemikir Islam terkenal seperti Al-Jahizh, Miskawaih dan khususnya Jalal Al-Din Rumi, berdampingan dengan teori-teori kreasionis. Sejauh teori-teori itu tidak secara langsung bertabrakan dengan prinsip-prinsip fundamental keyakinan agama, mereka pada dasarnya akan diterima oleh masyarakat Muslim. Namun, sekali teori-teori itu secara terus terang melanggar dan menentang prinsip-prinsip pokok agama, Islam sebagai agama tidak bisa menoleransinya karena hal itu telah dipandang sebagai penyimpangan prinsip dan etos keilmuan Islam yang sejati.[51]
Corak islamisasi sains yang bekerja pada level epistemologis yaitu:
Pertama, pada sistem klasifikasi ilmu. Dalam bidang ilmu-ilmu alam, semua bidang kajian sains modern menjadi bidang yang sah bagi ilmu Islam untuk dikaji. Islam tidak mengenal tabu untuk meneliti setiap objek fisik, karena hanya Dzat Tuhan yang tidak bisa diteliti. Hasil penelitian sains modern dapat diterima dengan baik sebagai sarana yang baik untuk lebih mengenal kebesaran Tuhan. Namun, asumsi sains bahwa dunia fisik merupakan realitas akhir yang independen tidak pernah akan diterima karena dalam perspektif Islam, semua yang ada adalah ciptaan yang bergantung pada, serta terkait erat dengan kekuasaan Ilahi dan ayat-ayat yang menunjukkan keberadaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa. Hukum gravitasi Newton, misalnya, bisa saja diterima asal tidak diasumsikan bahwa hukum tersebut bisa berjalan secara independen tanpa campur tangan Tuhan. Demikian juga teori evolusi, baik evolusi geologis maupun biologis, sebenarnya dapat diterima asal saja tidak diasumsikan bahwa kekuatan yang menggerakkan evolusi tersebut bersifat independen atau otonom, seperti “seleksi alamiah” yang dipandang sebagai hukum yang independen oleh Darwin  dan bertanggung jawab pada evolusi organik, termasuk penciptaan spesies-spesies. Kalau tidak, seperti dalam kasus Darwin, orang-orang akan sangat mudah menyingkirkan Tuhan sebagai pencipta spesies-spesies (tumbuhan dan hewan) karena menganggap peran tersebut telah digantikan oleh hukum seleksi alamiah.[52]
Entitas-entitas supernatural tidak pernah dilepaskan dari ilmu, bahkan dipandang sebagai bagian integral darinya. Entitas-entitas supernatural ini dalam pandangan Islam berpuncak pada sebab pertama, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, kajian-kajian di luar bidang-bidang fisika, seperti kosmologi dan bidang-bidang metafisika lainnya, menjadi sangat penting karena tanpa mereka teori-teori ilmu alam tidak bisa dipahami secara lebih baik, dan akan dirasakan tidak lengkap karena teori-teori itu tidak akan menemukan padanannya. Misalnya, teori psikologi yang dalam bagan Ibnu Sina termasuk pada bidang fisika, tidak akan lengkap dan dipahami dengan baik tanpa metafisika emanasi, yang tentu saja masuk ke dalam bidang metafisika. Menurut hematnya, akal manusia tidak pernah akan mencapai status aktual sampai ia mengadakan kontak dengan akal aktif, yang dalam kosmologi Ibnu Sina dipandang sebagai akal imateriil kesepuluh (terakhir) dari rangkaian akal-akal imateriil yang memancar dari Tuhan.[53]
Kedua, pada metodologi ilmiahnya. Ketika bidang kajian ilmu Islam tidak dibatasi pada bidang fisik, tetapi meluas pada bidang-bidang non-fisik, mau tidak mau para pemikir dan ilmuwan Muslim harus berusaha menciptakan metode-metode yang bisa dipakai tidak hanya untuk meneliti benda-benda fisik, yaitu metode observasi atau eksperimen (tajribi), tetapi juga metode yang bisa digunakan untuk meneliti objek-objek non fisik, baik yang bersifat rasional, seperti metode demonstratif  (burhani) atau yang bersifat intuitif (‘irfani). Oleh karena itu, metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu-ilmu Islam, harus juga mengakui metode burhani atau logika dan metode ‘irfani atau intuitif.[54]
Dalam kaitannya dengan metafisika, metode burhani sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk membuktikan keberadaan entitas-entitas spiritual, tetapi juga untuk menunjukkan secara rasional kejadian-kejadian yang musykil seperti Isra’ Mi’raj, pengalaman mistik, dan lebih-lebih pengalaman kenabian atau wahyu. Oleh karena itu, metode ini sangat diperlukan untuk memperkuat argumen kita pada pilar-pilar keimanan yang biasanya diterima secara dogmatis saja. Adapun metode ‘irfani (intuitif) sangat dibutuhkan dalam bidang-bidang metafisika dan keagamaan, karena dengan metode ini kita tidak hanya diperkenalkan pada entitas-entitas imateriil, sebagaimana dilakukan oleh metode burhani, tetapi lebih dari itu, kita diajak “menyaksikan” sendiri dengan mata hati, apa yang selama ini hanya dikenal lewat pengetahuan diskursif (bahtsi). Melalui metode ‘irfani, kita diajak mengalami dan melihat sendiri alam-alam metafisika yang selama ini tersembunyi, sehingga melalui metode ini tersibaklah rahasia-rahasia (atas kehendak Tuhan) yang tersembunyi, baik di alam muluk (dunia fisik), alam malakut (dunia imajinal), maupun alam jabarut (dunia spiritual).[55]
F.        Pluralisme Agama-Agama
Pluralisme adalah sebuah pandangan bahwa keyakinan agama besar dunia merupakan wujud berbeda dari perbedaan persepsi dan konsepsi karena perbedaan respon terhadap Yang Real dan Yang Ultimat dan bahwa masing-masing agama itu bebas mentransformasikan keberadaan kemanusiaannya dari pemusatan pada diri kepada pemusatan pada Tuhan mengambil tempat. Berbeda dengan inklusivisme, pluralisme menawarkan sesuatu yang baru. Pluralisme dianggap oleh banyak kalangan sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme.[56]
Pluralisme berpendirian bahwa semua agama mempunyai jalannya sendiri-sendiri. Jalan-jalan menuju Tuhan beragam, banyak dan tidak tunggal. Semuanya bergerak menuju tujuan yang satu, Tuhan. Dengan demikian, pluralisme memperjelas adanya perbedaan-perbedaan dalam agama-agama, hanya saja perbedaan tersebut merupakan manifestasi-manifestasi dari Realitas Yang Satu, Yang Maha Agung.  Selain itu, paradigma pluralis tidak menilai agama lain, semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Penganut agama lain tidak perlu dipaksa pindah agama sebagaimana dikehendaki paradigma eksklusif, atau diakui sebagai orang yang terselamatkan sekalipun berada di luar agama dirinya, sebagaimana paradigma inklusif. Ada beberapa ekspresi yang memberikan sinyalemen kepada sikap pluralisme ini, misalnya: “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama” atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.” [57]
Sikap atau pandangan pluralisme ini, berkembang di antaranya di kalangan para sufi, yang lantaran kesufiannya, mereka memiliki toleransi yang tinggi terhadap para pemeluk agama selain Islam. Mereka memandang semua pemeluk agama, baik Ahli Kitab maupun bukan, sebagai kaum yang menyembah Tuhan, tidak peduli di mana dan ke arah mana mereka menyembah-Nya. Bagi mereka, orang yang beragama, apapun agamanya, merupakan orang yang mencintai Tuhan. Tuhan yang mereka tuju itu hanya satu, namun disebut berbeda-beda antara satu agama dari yang lain.[58] 
Mereka juga berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Adil tidak akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya karena semata-mata tidak beriman dan tidak memiliki keterkaitan dengan-Nya. Karena itu orang yang mengenal Tuhannya dan mengimaninya menurut agama yang dianutnya, apapun agamanya itu, dan melakukan perbuatan baik, seperti mendirikan yayasan kesejahteraan dan menemukan penemuan yang memberi banyak manfaat bagi kehidupan manusia, akan menerima pahala atau balasan dari Tuhan.[59]
Secara eksplisit pluralisme tidak bisa dipahami sebagai “kebaikan negatif”, bila dilihat dari kegunaannya untuk “menyeimbangkan” eksklusivisme, akan tetapi pluralisme sebenarnya suatu paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi, kerukunan dan kebersamaan.[60]

IV.       SIMPULAN
Dari makalah yang saya paparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Empat paradigma umat Islam dalam merespons globalisasi, antara lain: Paradigma Tradisionalis, Modernis, Fundamentalis dan transformatif. Indonesia, modernitas dan islam adalah tiga kata yang sangat kuat mencirikan dinamika wacana Islam kontemporer di Indonesia. Tema-tema yang menonjol dalam wacana Islam dapat dipandang sebagai sebuah permainan dengan tiga kata yang beraura magis itu. Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4. peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor. Dalam percaturan konstalasi politik internasional, terutama memahami perjuangan dua kubu kepentingan politik antara Barat dan Islam Fundamentalis ( negara-negara Arab di Timur Tengah), dalam perimbangan kekuatan apa pun dan posisi mana pun. Iran adalah satu-satunya negara Islam Fundamentalis yang memiliki visi depan, bersikap tegar dalam pendirian, memiliki program yang jelas penuh perhitungan, mempunyai kekuatan sumber daya, berpengaruh luas di antara negara-negara tetangga dan masyarakat Barat. Ditinjau dari sudut kebahasaan, penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, sedangkan Liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (Al-Qur’an dan Hadist). Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam” karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis. Eksklusivisme adalah sebuah paham atau sikap yang menganggap bahwa hanya pandangan kelompok dan agamanya saja yang paling benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap salah, sesat, dan tidak dapat menjadi jalan keselamatan. Sedankan Paradigma inklusifisme menyatakan tentang pentingnya memberikan toleransi terhadap orang lain. Dalam hal ini, Inklusivisme merupakan sikap yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran dan jalan keselamatan, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Proses naturalisasi ilmu oleh orang-orang Islam di wilayahnya masing-masing disebut dengan “Islamisasi Sains”. Secara eksplisit pluralisme tidak bisa dipahami sebagai “kebaikan negatif”, bila dilihat dari kegunaannya untuk “menyeimbangkan” eksklusivisme, akan tetapi pluralisme sebenarnya suatu paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi, kerukunan dan kebersamaan.

   V.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan,kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekeliruan,untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AAMIIN.  


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq, 1998. Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan.
Ali, Mukti, 1995. Agama, Globalisasi dan Pembangunan dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan, Jakarta: Sinar Harapan
Amin, Ahmad, 1996. Zuhr al-Islâm, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriah.
Aslan, Adnan, 2004. Menyingkap Kebenaran : Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Sayyed Hossein Nasr dan John Hick, Bandung : Alifya.
Azhari, 1995. Jaringan Islam Liberal dan Kesesatannya, Bandung: Mizan.
Azizi, Qodri, A., 2003. Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barbour, Ian, 2002. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan.
Bashori, Hasan, A., Abu Hamzah, 2008. Bahaya JIL Bagi Akidah Umat, Pembentengan dan Solusinya, Jakarta: Paramadina.
Burrell, RM., 1995. Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darus, Baharuddin, 1998. Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di abad 21, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Dydo, Todiruan, 1993. Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat, Jakarta: Golden Terayon Press.
Fakih, Mansor, 2002. Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hakim, Abdul, A., dan Mubarok, Jaih, 2004. Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hamid, Abu, Al-Ghazali, 1996. Majmû’ah Rasâ’il al-Imâm al-Ghazali, Beirut: Dâr Al-Fikr.
Kartanegara, Mulyadhi, 1991. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Kartanegara, Mulyadhi, 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
Kuhn, Thomas, 1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Bandung: Rosdakarya.
Lubis, Arbiyyah, 1989. Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad ‘Abduh, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Mastuhu, 2003. Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insani Press
Misrawi, Zuhairi, 2007. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, Jakarta: Fitrah.
Muhtarom, 2005. Reproduksi Ulama’ di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muthahari, Murtadha, 1997. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Mizan.
Nata, Abuddin, 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan PendidikanIslam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Nur, Cak, 2004. Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Jaya Murni.
Perwiranegara, Alamsyah, 1987. Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia, Jakarta: C.V. Haji Masagung.
Rachman, Munawar, B., 2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina.
Sachedina, Azis, A., 2002. Kesetaraan Kaum Beriman Akar Pluralisme Demokrasi dalam Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Suryohadiprojo, Saydiman, 1987. Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Tantowi, Ahmad, 2009. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Thoha, Malik, A., 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Depok: Perspektif.
Yakub, Mustafa, Ali, 2005. Mengungkap Jaringan Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.








RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 November 1991 di desa Brambang Karangawen, tepatnya di kota Demak bagian barat daya. Penulis anak dari Bapak ‘Abdul Lathif (alm) dan Ibu Mar’ah. Penulis menempuh pendidikan pertamanya di TK MANGGAR, kemudian di SD SOKA-1, setelah lulus SD kemudian penulis melanjutkan di MTs SHOLIHIYYAH dan MA nya di MA FUTUHIYYAH-1 sambil nyantri di pesantrennya paman sendiri selama 6 tahun (dari MTs sampai MA). Sejak duduk di bangku MA, penulis sebenarnya sudah punya keinginan ingin meneruskan di Perguruan Tinggi, tapi ketika menginjak kelas 2 MA, Bapak tercinta menghadap sang Khaliq. Ketika itu, Penulis sudah pasrah sama ALLAH. Tapi ternyata Tuhan mengabulkan keinginan Penulis, Penulis di jadikan anak angkat oleh Boznya alm.Bapak dan Beliau mau menguliahkan Penulis. Akhirnya penulis melanjutkan di IAIN Walisongo Fakultas Tarbiyyah angkatan 2009.


          [1] Mukti Ali, Agama, Globalisasi dan Pembangunan dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), Hlm. 314.
          [2] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm. 200.
         [3] Mastuhu, Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), Hlm. 10.
          [4] A. Qodri Azizi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Hlm. 20.
         [5] Ibid., Hlm. 22.
          [6] Mansor Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20020, Hlm. 248.
          [7] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. 2, Hlm. 83.
          [8] Mansor Fakih, Op. Cit., Hlm. 250.
          [9] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. 7, Hlm. 197.
         [10] Ahmad Tantowi, Op. Cit., Hlm. 82
          [11] Baharuddin Darus, Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di abad 21, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), Hlm. 165.
          [12] Muhtarom, Reproduksi Ulama’ di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Hlm. 54.
         [13] Ibid., Hlm. 84.
           [14]  Taufiq Abdullah, Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1998), Hlm. 82.
            [15] Alamsyah Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia, (Jakarta: C.V. Haji Masagung, 1987), Hlm. 284-285.
   [16] Taufiq Abdullah, Op. Cit., Hlm. 84.
           [17] Ibid.
           [18] Ibid., Hlm. 86.
          [19] Ibid., Hlm. 86.
           [20] Arbiyyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad ‘Abduh, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1989), Hlm. 87
          [21] Dedy W. Sanusi, http://dedywsanusi.blogspot.com/2005/08/sekularisasi-dan-puritanisasi.html

           [22] Todiruan Dydo, Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1993), Cet. 2, Hlm. 7.
           [23] Saydiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1987), Hlm. 34.
          [24] Ibid., Hlm. 37.
          [25] Todiruan Dydo, Op. Cit., Hlm. 30.
          [26] RM. Burrell, Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Hlm.4-5.
          [27] Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, Bahaya JIL Bagi Akidah Umat, Pembentengan dan Solusinya, (Jakarta: Paramadina, 2008), Hlm. 97.
          [28]  Azhari, Jaringan Islam Liberal dan Kesesatannya, (Bandung: Mizan, 1995), Hlm. 68
          [29]  Ali Mustafa Yakub, Mengungkap Jaringan Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Hlm. 52
          [30] Ibid.
          [31] Ibid., Hlm. 54.
          [32] Ibid.
          [33] Ibid., Hlm. 55.
          [34] Ibid.
          [35] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Depok: Perspektif, 2007), Hlm. 15.
          [36] Zuhairi Misrawi, al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, (Jakarta: Fitrah, 2007), Hlm. 198. 
          [37] Abdul Azis Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman Akar Pluralisme Demokrasi dalam Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), Hlm. 72-73.
          [38]  Ahmad Amin, Zuhr Al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriah, 1996), Hlm. 65.
          [39]  Zuhairi Misrawi, Op. Cit., Hlm. 200.
          [40] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis:Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta : Paramadina, 2001), Hlm 45.
          [41] Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran : Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Sayyed Hossein Nasr dan John Hick (Bandung : Alifya, 2004), Hlm. 251.
          [42] Budhy Munawar Rachman, Loc. Cit.
         [43]  Zuhairi Misrawi, Op. Cit., Hlm. 302
          [44] Abu Hamid Al-Ghazali, Majmu’ah Rasa’il Al-Imam Al-Ghazali, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996), Hlm. 252-253.
          [45] Cak Nur, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Jaya Murni, 2004), Hlm. 113.
          [46] Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: Rosdakarya, 1993), Hlm. 51.
          [47] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), Cet. 1, Hlm. 130.
          [48] Ibid, Hlm. 131.
          [49] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1991), Hlm. 156.
          [50] Ibid., Hlm. 123.
          [51] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, Op. Cit., Hlm. 132.
          [52] Ian Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, (Bandung: Mizan, 2002), Hlm. 200-201.
          [53] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, Op. Cit., Hlm. 136.
          [54] Ian Barbour, Op. Cit., Hlm. 203.
          [55] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, Op. Cit., Hlm. 138.
          [56] Anis Malik Thoha, Op. Cit., Hlm. 25.
          [57] Ahmad Amin, Op. Cit., Hlm. 65
          [58] Ibid., Hlm. 68.
          [59] Murtadha Muthahari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, (Bandung: Mizan, 1997), Hlm. 233.
          [60] Budhy Munawar Rachman, Op. Cit., Hlm. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar