ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSAL
I.
PENDAHULUAN
Dalam konteks Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam telah mengatur tata
hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi
teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap
pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa
non-Muslim memeluk Islam. Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah
ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis. Namun, dalam konteks sosial,
Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau
pilar-pilamya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan
komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas,
yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan
sejarah yang dimilikinya.
Islam semestinya tidak lagi dibatasi hanya sebatas teks. Akan tetapi,
ketika menerjemahkan Islam dalam realitas itulah yang dimaksud sebagai Islam
yang sesungguhnya. Islam di situ adalah prinsip nilai-nilai moral positif yang
kandungannya kemudian diterjemahkan dalam realitas kehidupan. Islam
harus menjadi agama yang realistis bagi kehidupan ini sehingga dapat memberi
kontribusi yang praksis bagi peradaban. Teks keagamaan tidaklah bersifat
normatif, tetapi semestinya ia menjadi spirit dan sumber penyemangat bagi
kehidupan. Karena, peradaban Islam sesungguhnya dimulai dari peradaban tekstual itu. Jika
Islam ingin menemukan kembali peradabannya, teks janganlah berhenti pada
sebatas teks keagamaan, apalagi teks dapat menjerumuskannya pada mitos-mitos
sosial. Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam
realitas kehidupan sehingga dari teks itu dapat tercipta peradaban kaum Muslim
yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini juga, Rais Aam PBNU tahun 80-an, KH Ahmad Sid-diq, selalu
mengembangkan nilai-nilai humanisme dan nasionalisme yang memiliki tiga
komponen substansi Islam. Pertama, ukhuwah ba-syariyah atau insaniyah
(persaudaraan antarmanusia). Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa
harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang
harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan
terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat
toleransi. Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja
sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian
dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar
belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural,
pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling
menguntungkan satu dan lainnya. Ketiga, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang
keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.
II.
POKOK
BAHASAN
A.
Islam
dan Globalisasi
B.
Modernisme
dan Puritanisme Islam
C.
Gerakan
Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
D.
Islam:
Eksklusif dan Inklusif
E.
Islamisasi
Sains
F.
Pluralisme
Agama-Agama
III.
PEMBAHASAN
A.
Islam
dan Globalisasi
Globalisasi
secara harfiyyah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau
sejagat. Istilah yang konon yang dipopulerkan oleh Theodore Lavitte pada tahun
1985 ini, menurut Mukti Ali, menunjukkan satu corak kesadaran baru yang
memperhatikan persoalan-persoalan baru, hal-hal yang khusus, universal, lokal,
regional dan internasional yang saling berhubungan dengan cara yang dulu belum
pernah terjadi.[1]
Hal senada juga dikemukakan oleh Abuddin Nata. Menurutnya, globalisasi merujuk
kepada suatu keadaan dimana antara satu negara dengan negara lainnya sudah
menyatu. Batas-batas teritorial, kultural dan sebagainya sudah bukan merupakan
hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Suatu entitas, betapa pun kecilnya,
disampaikan oleh siapa pun, dimana pun, dan kapan pun, dengan cepat menyebar
keseluruh pelosok dunia.[2]
Sementara
itu, Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa globalisasi pada
prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam
teknologi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia
yang jauh menjadi bisa ‘dijangkau’ dengan mudah. Ahmed dan Donnan memberi
contoh tentang kasus buku Satanic Verses karya Salman Rusydie di akhir
tahun 1980-an. Hanya beberapa jam saja, apa yang terjadi di Inggris dengan
begitu cepat sudah memunculkan respons di Pakistan dan India memprotes terhadap
buku itu terjadi di berbagai belahan dunia. Begitu cepatnya berita tentang buku
tersebut merupakan perwujudan era komunikasi, transformasi dan informasi.[3]
Situasi
demikian tentunya tidak lepas dari kecanggihan di bidang komunikasi seperti
radio, televisi, telepon, faximile, internet dan sebagainya. Melalui berbagai
peralatan tersebut, berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai
belahan dunia yang lain dapat diakses dengan mudah. Seolah-olah tidak ada
pembatas antara dunia yang satu dengan dunia yang lainnya. Berangkat dari
realitas tersebut, A. Qodri Azizi menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya
pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang
memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi yang merupakan hasil
modernisasi di bidang teknologi.
Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan “kompetisi liar” yang saling
mempengaruhi; saling bertabrakannya nilai-nilai yang berbeda; atau saling kerja
sama yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa baru.[4]
Dengan
kata lain, globalisasi terkait dengan interaksi-interaksi transnasional yang
melibatkan semua elemen masyarakat secara nyata. Elemen-elemen masyarakat itu
terdiri dari pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi sosial,
lembaga-lembaga didikan maupun
individu-individu. Watak globalisasi yang imanen dalam segala bidang
kehidupan merupakan fenomena sosiologis yang menyentuh wilayah kehidupan sosial
dan spiritual yang sudah barang tentu berimplikasi interdependensi antara
elemen-elemen masyarakat tersebut.[5]
Empat
paradigma umat Islam dalam merespons globalisasi, antara lain:
1.
Paradigma
Tradisionalis
Pemikiran
tradisionalis percaya bahwa kemunduran
umat Islam adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu
tentang arti dan hikmah dibalik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.
Makhluk, termasuk umat Islam, tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan,
dari perjalanan panjang umat manusia. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam
dinilai sebagai ujian atas keimanan, dan kita tidak tahu malapetaka apa yang
akan terjadi di balik kemajuan dan pertumbuhan umat manusia.[6]
2.
Paradigma
modernis
Kaum
modernis percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak disebabkan oleh
kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Mereka menyerang teologi
sunni yang dijuluki sebagai teologi fatalistik. Pandangan kaum modernis merujuk
pada pemikiran modernis Mu’tazilah, yang cenderung bersifat antroposentris
dengan doktrinnya yang sangat terkenal, yaitu ushul al-khamsah. Bagi
Mu’tazilah, manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri. Ia hidup tidak dalam
keterpaksaan (jabbar). Akar teologi Mu’tazilah dalam bidang af’al-al-‘ibad
(perbuatan manusia) adalah Qadariyyah sebagai anti tesis dari Jabbariyyah.[7]
Asumsi
dasar kaum modernis adalah bahwa keterbelakangan umat Islam karena mereka
melakukan sakralisasi terhadap semua bidang kehidupan. Asumsi tersebut pada
dasarnya sejalan dengan aliran developmentalisme yang beranggapan bahwa
kemunduran umat Islam terjadi karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara
aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka
cenderung melihat nilai-nilai sikap mental, kreativitas, budaya dan faham
teologi sebagai pokok permasalahan.[8]
3.
Paradigma
fundamentalis
Bagi
revivalis, umat Islam terbelakang karena mereka justru menggunakan ideologi
lain atau “isme” lain sebagai dasar pijakan daripada menggunakan Al-Qur’an
sebagai acuan dasar. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur’an pada
dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna sabagai
dasar bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu, mereka juga memandang isme
lainsebagai ancaman. Globalisasi dan kapitalisme bagi mereka merupakan salah
satu agenda Barat dan konsep non-Islami yang dipaksakan pada masyarakat Muslim.[9]
4.
Paradigma
transformatif
Mereka
(penggagas transformatif) percaya bahwa keterbelakangan umat Islam disebabkan
oleh ketidak adilan sistem dan struktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh
karena itu, agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur
melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam
bidang ekonomi, politik dan kultur. Ini adalah proses panjang penciptaan
ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa kekerasan, kultur tanpa dominasi
dan hegemoni, serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Keadilan
menjadi prinsip fundamental bagi penganut transformatif. Fokus kerja mereka
adalah mencari akar teologi, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya
transformasi sosial.[10]
Bahruddin
Darus mengajukan lima konfigurasi globalisasi, antara lain: globalisasi
informasi dan komunikasi, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas,
globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya dan kesadaran, globalisasi media
massa, globalisasi politik dan wawasan.[11]
Sementara itu, Muhtarom melengkapinya dengan tiga konfigurasi yang lain, yaitu:
globalisasi hukum, globalisasi ilmu pengetahuan dan globalisasi agama.[12]
Dialektika
antara dinamika zaman dan pendidikan adalah sesuatu yang akan terus terjadi.
Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan perubahan dan perkembangan
masyarakat ke arah yang memuaskan. Sebaliknya, perubahan zaman yang berjalan
sangat pesat menuntut adanya perubahan-perubahan mendasar dalam penyelenggaraan
pendidikan. Karena itu, di era globalisasi ini perlu ada rumusan orientasi
pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan Islam harus diorientasikan kepada tiga hal, yaitu[13]:
· Pendidikan Islam sebagai proses
penyadaran
· Pendidikan Islam sebagai proses
humanisasi
· Pendidikan Islam sebagai pembinaan
akhlaq al-karimah
B.
Modernisme
dan Puritanisme Islam
Praktis
semua Menteri Agama dalam pemerintahan Orde Baru berpandangan bahwa mereka
memiliki tiga peran yang saling terkait yang harus mereka mainkan. Pertama, mereka
yakin bahwa mereka diharapkan untuk tidak saja menjadi juru bicara pemerintah
kepada umat Islam yang merupakan mayoritas, melainkan juga pembela kepentingan
Islam di dalam pemerintahan. Kedua, mereka memandang diri mereka sebagai
orang yang paling bertanggung jawab terhadap berlangsungnya hubungan antar
agama yang harmonis. Dan akhirnya Ketiga, meskipun tidak pernah
dikemukakan secara terbuka, mereka memandang diri mereka sebagai pemimpin
masyarakat Islam dalam upaya bersama meningkatkan kualitas pendidikan dan
intelektualitas umat. Demikianlah, meskipun seorang menteri agama dapat
mendahulukan satu atau lain peran di atas, tergantung kepada pandangannya
mengenai situasi politik dan sosial yang tengah berkembang pada masanya, tetapi
ketiga peran di atas selalu ada dalam agenda tersembunyinya.[14]
Indonesia,
modernitas dan islam adalah tiga kata yang sangat kuat mencirikan dinamika
wacana Islam kontemporer di Indonesia. Tema-tema yang menonjol dalam wacana
Islam dapat dipandang sebagai sebuah permainan dengan tiga kata yang beraura
magis itu. Tetapi bagaimana seseorang berhubungan dengan tiga gagasan yang pada
dasarnya berbeda-beda itu? Ketiganya bukanlah hanya kata-kata yang maknanya
dapat secara memuaskan dicari dan ditemukan dalam kamus. Ketiganya adalah
konsep-konsep yang membawa serta di dalamnya paham mengenai kepastian tertentu.
Sedemikian, maka ketiga kata itu menyarikan paham tertentu mengenai realitas,
dan masing-masingnya dilengkapi dengan logika dan satuan loyalitas dan komitmen
tersendiri. Masing-masingnya juga bisa saling mengecilkan dan meremehkan. Lebih
dari itu, masing-masing konsep di dalam dirinya sendiri juga tidak terbebas
dari ketegangan ideologis internal. Baik Islam maupun Indonesia tidak pernah
memiliki makna tunggal. Dan siapa yang secara pasti dapat mengatakan bahwa
hanya ada satu konsep mengenai modernitas? Banyak sekali brosur, kertas kerja
seminar, pidato dan penelitian yang dapat membenarkan hal ini.[15]
Persoalan
pertama yang harus dihadapi oleh ketiga pilar ideologis paradigma Islam yang
baru tumbuh di atas, yakni “Indonesia”, “Islam” dan “Modernitas” adalah
pertanyaan yang diperbarui kembali mengenai bagaimana seseorang menerjemahkan
simbol dan pesan Islam yang abadi dan universal ke dalam konteks Indonesia
kontemporer. Setiap penerjemahan harus diawali dengan pemahaman yang mendalam
terhadap teks.[16]
Kontekstualitas
adalah isu teologi lama yang selalu muncul kembali. Masalahnya menyangkut
legitimasi interpretasi atau takwil dari teks-teks simbolik Al-Qur’an serta
keabsahan analogi dan konsensus dalam membahas persoalan hukum. Kedua persoalan
mendasar ini bukan hanya telah menciptakan jurang yang nyaris tak terjembatani
antara para filosof dan teolog, tetapi juga telah memicu perdebatan antara
berbagai generasi teolog dan ahli fiqih. Ada beberapa faktor yang membuat isu
ini relevan dan menambah momentum khusus.
Pertama,
agama adalah misteri. Setiap pertanyaan yang
dihadapkan kepada para penganutnya tidak mempunyai jawaban tunggal yang
konklusif. Pada tahap sejarah tertentu dari setiap agama apa pun, para
penganutnya akan menguji asumsi-asumsi teologis mereka dan yang mencoba
membebaskan diri dari ikatan teologis yang mapan untuk menemukan ketentraman
dalam jawaban yang baru dirumuskan dan yang memuaskan secara teologis. Tidak
penting apakah jawaban baru itu secara substansial mirip dengan jawaban lama atau
bahkan dengan jawaban yang telah terlupakan. Kekuatan jawaban baru dirumuskan
itu tergantung pada kemampuannya menawarkan aktualitas kepada para penganutnya.
Lebih jauh lagi, proses pengujian ulang serta pencarian jawaban teologis
tertinggi, dalam dirinya sendiri merupakan tindakan yang amat terpuji.[17]
Kedua,
kontroversi ini merebak di masa ketika budaya tulis
sudah merasuk dalam ke jantung umat beragama sehingga mengundang partisipasi
khalayak yang lebih luas. Menyebarnya kamampuan baca tulis dan penerjemahan
teks-teks yang dulunya hanya dimiliki oleh kelompok terbatas telah memupus
monopoli ulama’ dalam setiap wacana agama. Kemampuan baca tulis dan makin
suburnya budaya cetak telah meningkatkan jumlah orang yang dapat secara
langsung melakukan dialog dengan teks-teks itu. Namun demikian, teks tersebut
sebagaimana adanya, tetap merupakan medium yang dipakai sumber gaibnya
menyampaikan pesan. Dengan kata lain, persoalan kontekstualitas teks lebih
terkait dengan dialog antara teks yang tidak berubah dan beragam pendapat
tentang kontekstualitas.[18]
Setiap pembaca berpotensi untuk memiliki kesempatan mencapai pemahaman tertentu
tentang realitas struktural dan historisnya. Kemungkinan beragamnya jawaban
terhadap pertanyaan hakiki yang diajukan, tentu saja merupakan hipotesis yang
agak dibesar-besarkan, karena biasanya seseorang datang menawarkan jawaban yang
lebih persuasif dan lebih meyakinkan yang bisa dipengaruhi banyak orang. Namun
demikian, masalah itu menjadi lebih kompleks lagi oleh fakta, bahwa untuk
pertama kali dalam sejarahnya di Indonesia, dunia kosmopolitan Islam tidak
memiliki pusat intelektualnya.
Lewatlah
sudah masa-masa ketika kontroversi agama dan reformasi sekadar merupakan
reproduksi dari kejadian di pusat dunia Islam. Lewat pula sudah masa-masa
ketika para partisipan kontroversi itu adalah anggota jaringan ulama’ yang
pusat intelektualnya berada di Tanah Suci.
Ketiga,
kontroversi teologis yang ada bukan semata latihan
intelektual yang dilakukan para penganut yang saleh. Kontroversi itu lebih
terkait dengan masalah praksis. Pendirian teologis merupakan upaya untuk
mencetak pola perilaku dan struktur perasaan tertentu. Pendirian itu dapat
menjadi rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan sosial dan program-program
yang telah dilakukan atau yang tengah direncanakan. Teks-teks yang dihasilkan
dalam perjalanan kontroversi itu karenanya dapat diekspresikan dalam bentuk
tertulis atau dalam serangkaian tindakan.[19]
Seorang
ilmuwan suatu ketika diminta menjawab sebuah pertanyaan yang tidak terlalu
hipotesis, dalam masyarakat yang sudah sangat tersekularkan, apa yang akan
terjadi pada Islam? Jawabannya adalah, dalam situasi seperti itu, Islam mungkin
harus menyandarkan diri kepada tradisi mistiknya dan kepada pesan-pesan
teologis Al-Qur’an, barangkali ia benar. Makin populernya mistisisme di
kalangan kaum Muslim terdidik diperkotaan mungkin akan memperkuat ketepatan
pandangan di atas. Terlepas dari bentuknya yang beragam, dapat dikatakan bahwa
sufisme bukan hanya merupakan reaksi terhadap sesuatu yang tidak dikehendaki,
melainkan juga respons kreatif terhadap segala yang dipandang sebagai tuntutan
keagamaan. Dengan tujuan menyucikan jiwa dalam upaya mencapai kebenaran
tertinggi, mistisisme berusaha menggapai otentisitas kehidupan, termasuk segala
aspek duniawinya. Seperti yang selalu ditekankan oleh para praktisinya, sufisme
adalah tradisi humanistik Islam asli yang bukan saja tidak mendakwahkan
kepasifan, tetapi juga memberi nilai tinggi kepada kepuasan mental dan
spiritual.[20]
Sedangkan
Puritanisme pada awalnya adalah gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja
Inggris pada akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan
sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan ini muncul karena,
setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol
kerajaan Inggris dan kedua, kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum
puritan-- dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusan-keharusan
yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk
memurnikan (purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi rujukan
kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan Martin Luther (Jerman). Keduanya
adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia
berkembang di Amerika, di daerah New England oleh sebab nenek moyang gerakan
ini yang menyeberang ke Amerika karena melarikan diri dari pimpinan gereja dan
raja Inggris.
Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai
berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap
orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik
di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4.
peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan
di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk
merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk
mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan
terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat
penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.[21]
Dua catatan penting yang harus dicatat disini adalah,
pertama, semangat kaum puritan untuk mengembalikan ajaran dan peribadatan
kristen ke dan sebagaimana dipraktekkan oleh kaum kristen awal. Kedua, semangat
dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik dan mencerahkan anggota-nya agar
berpengatahuan luas dan berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika
dua hal yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Pertama,
mereka digambarkan sebagai tertutup dan fundamentalis. Tetapi, kedua, mereka
digambarkan sebagai sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar.
Mereka, oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi Amerika.
C.
Gerakan
Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Kawasan
Timur Tengah yang kaya minyak, dipandang sebagai basis pergerakan Islam yang
dimotori bangsa-bangsa Arab dan Persia. Di kawasan ini, Amerika Serikat
mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan jalur pemasokan (supply) minyak bagi
keperluan negerinya. Hubungan yang kurang akrab dengan negara-negara Arab ini
sering menimbulkan dislokasi pandangan yang potensial menjadi konflik.
Munculnya gerakan Islam fundamentalis yang terkenal sangat anti barat, sangat
memprihatinkan Amerika Serikat dan masyarakat Barat umumnya bahwa kepentingan
supply minyak dari kawasan ini akan bisa terganggu.[22]
Banyak
kejadian ekstremitas, gerakan teroris yang memerangi kepentingaan Barat di
berbagai pelosok penjuru dunia, dikaitkan dengan gerakan Islam fundamentalis
yang merasa diperlakukan makin tidak adil oleh Barat. Para politisi dan
praktisi barat, khususnya Amerika Serikat, suka merancukan istilah Islam dengan
menggeneralisasi sebagai kekuatan politik secara sempit. Islam dipandang
sebagai ideologi yang berbasis pada kekuatan agama. Wujud gerakan Islam
Fundamentalis yang kaku sering diartikan sebagai perwujudan masyarakat Islam
secara keseluruhan. Kesan negatif seperti ini telah mendorong lahirnya banyak
gagasan dari kalangan Barat yang berhaluan pragmatis untuk merekayasa
penghancuran Islam sebagai kekuatan politik dan ideologi.[23]
Namun
bagi kalangan Barat yang idealis dan memiliki wawasan ke-Islam-an yanag luas,
mereka lebih berpandangan optimistis dan positif terhadap gerakan Islam, tidak
gegabah memandang islam sebagai fenomena baru dalam percaturan politik
internasional semata. Perlu dibedakan Islam sebagai gerakan sosial keagamaan
yang humanis, sebagaimana gerakan agama-agama lain yang menjunjung nilai-nilai
kebaikan.[24]
Dalam
percaturan konstalasi politik internasional, terutama memahami perjuangan dua
kubu kepentingan politik antara Barat dan Islam Fundamentalis ( negara-negara
Arab di Timur Tengah), dalam perimbangan kekuatan apa pun dan posisi mana pun.
Iran adalah satu-satunya negara Islam Fundamentalis yang memiliki visi depan,
bersikap tegar dalam pendirian, memiliki program yang jelas penuh perhitungan,
mempunyai kekuatan sumber daya, berpengaruh luas di antara negara-negara
tetangga dan masyarakat Barat. Amerika Serikat yang pernah akrab dengan
penguasa Iran sebelumnya ‘Shahanshah Reza Pahlevi”, ketika ikut membangun
persenjataan militer Iran yang modern, sempat memasukkan Iran dalam daftar 10
besar negara berkekuatan militer di dunia.[25]
Beberapa
kaum fundamentalis berpendapat bahwa Islam “resmi” sekarang sudah tidak
bersentuhan dengan kebutuhan orang-orang yang beriman, dan dalam suatu ungkapan
yang tidak mudah untuk dilupakan dan bersemangat mereka menggambarkan da’i-da’i
tertentu sebagai ‘beo-beo minbar’. Oleh karena itu jenis kaum fundamentalis
Islam ini lebih menuntut penelitian dan interpretasi ulang terhadap
sumber-sumber ajaran agama dari pada menuntut penegasan kembali nilai-nilai dan
ajaran “tradisional”. Banyak pemimpin agama menolak usaha-usaha untuk
mempersoalkan dan mengubah dogma yang telah ditetapkan sebagai pembaharuan yang
keliru (bid’ah), dan perbedaan penting antara pemikiran kelompok radikal dan
konservatif sering dikaburkan oleh kenyataan bahwa keduanya mempunyai label “fundamentalis”
yang diterapkan pada mereka. Pendek kata, kaum fundamentalisme adalah suatu
fenomena yang kompleks dan berbeda, dan orang-orang yang meneliti manifestasi
fundamentalisme tidak boleh mengharapkan jawaban-jawaban yang sederhana
terhadap persoalan-persoalan mereka.[26]
Islam dan Liberal
adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tapi tidak
mungkin bisa bertemu, namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang
rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu
penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya serta pikiran-pikiran dan
agendanya. Islam adalah pengakuan
bahwa apa yang mereka suarakan adalah haqq, tetapi pada
hekikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak
sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasulullah
Muhammad. SAW, tetapi bid’ah yang ditawarkan oleh orang-orang yang
ingkar kepada Rasulullah Muhammad SAW.[27]
Ditinjau dari sudut kebahasaan, penggandengan antara kata “Islam”
dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan
menyerahkan diri kepada Allah SWT, sedangkan Liberal artinya bebas dalam
pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (Al-Qur’an dan Hadist). Oleh
karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis”
dari pada “Pemikiran Islam” karena makhluk pertama yang tidak taat
kepada Allah adalah Iblis.[28]
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam
dengan landasan sebagai berikut:
a) Membuka pintu ijtihad pada
semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas
teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa
bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara
terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab
dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa
ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi
sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). Pendapat ini jelas telah
menyalahi dan bertentangan dengan jumhur ulama yaitu tentang semua perkara
ibadah adalah haram kecuali yang diperintahkan dan semua perkara non ibadah
adalah halal kecuali yng diharamkan. Serta adanya perintah untuk menjauhi
syubhat (hal-hal yang tidak jelas halal/haramnya).[29]
b) Mengutamakan semangat
religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya
menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi,
bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.
Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang
berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara
kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
Ini adalah pernyataan bahwa islam liberal menganggap penafsiran
mereka lebih baik dari pada salaf (ulama terdahulu) padahal Allah SWT
jelas-jelas telah meridhai mereka (para radhiyallahu’anha) dan tercantum jelas
dalam al-Qur’an yang artinya : “Mereka yang pertama-tama masuk Islam, Allah
meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah SWT”.
Mereka juga lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan islam
berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW. “Sebaik-baik umatku adalah yang hidup pada
masaku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya lagi. (sahabat, tabi’in, dan
tabi’ut tabi’in).[30]
c) Mempercayai kebenaran yang
relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran
(dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu;
terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain
kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain
cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang
yang terus berubah-ubah.
Pendapat ini jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang
mana dalam al-Qur’an sudah dijelaskan oleh Allah SWT, yang artinya : “
Kebenaran itu daru Tuhan mu, karena itu janganlah sekali-kali engkau ragu”.[31]
d) Memihak pada yang minoritas
dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada
kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik
yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan
dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas,
mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
Sebenarnya dalam hal ini tidak terlalu berpengaruh karena pendapat
diatas tergantung pada arti “Minoritas” dan “Tertindas” selama tidak ada dalil
yang melarang (tidak dilarang oleh Syari’at) maka itu syah-syah saja. Karena
pada dasarnya Islam mengajarkan kita harus saling tolong menolong diantara
sesama apalagi bila orang tersebut sedang dalam kesusahan.[32]
e) Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak
beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam
Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat
atau kepercayaan.
Menanggapi pendapat ini syah-syah saja selama itu tidak mengganggu
umat islam itu sendiri. Tetapi jika dalam kenyataannya ternyata malah
meresahkan umat Islam maka wajib diperangi.[33]
f) Memisahkan otoritas duniawi
dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Kelompok Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik
harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam
Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik
adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber
inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak
suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang
privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[34]
D.
Islam:
Eksklusif dan Inklusif
Eksklusivisme
adalah sebuah paham atau sikap yang menganggap bahwa hanya pandangan kelompok
dan agamanya saja yang paling benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap
salah, sesat, dan tidak dapat menjadi jalan keselamatan.[35]
Sikap ini didasarkan pada sebuah klaim kebenaran yang ada pada setiap agama,
dan merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman.[36]
Secara umum ada beberapa ungkapan yang mewakili sikap eksklusif, seperti :
“hanya agama saya yang benar”, dan “hanya agama saya yang didasarkan pada
kebenaran wahyu”.[37]
Dalam
agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah
satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan
hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku.”[38]
Kemudian
dalam ayat lain disebutkan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga
selain di dalam Dia, sebab di kolong langit ini, tidak ada nama lain yang
diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ayat-ayat ini
dalam perspektif orang yang eksklusif sering dibaca secara literal. Menurut
Adnan Aslan, meskipun ada cara lain dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, secara
historis ayat itu selalu dipandang sebagai prinsip-prinsip sakral yang
mendukung Yesus dan Krisen sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.[39]
Dalam
umat Islam, contoh pandangan eksklusif tersebut dapat dilihat dari banyak
penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam dalam pandangan-pandangan
eksklusif. Beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas
Islam itu antara lain dalam, surah al-Maidah ayat: 3 yakni “wa radîtu lakum
al-Islâma dînan” (“dan Aku ridhoi Islam menjadi agamamu”). Kemudian dalam
surah âli-‘Imrân ayat: 85 yakni “wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan
falan yuqbala minhu” (“barang siapa menerima agama selain Islam, maka
tidaklah akan diterima” ). Kemudian apabila dicermati, sikap eksklusif ini
tidak terlalu salah dalam beragama, sebab jika ekskusivisme berarti sikap tidak
toleran, dan mau menang sendiri, tidak ada etika agama manapun yang
membenarkannya. Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan eksklusif berkenaan
dengan kualitas, mutu atau unggulan mengenai ajaran agamanya yang didukung
dengan bukti dan argumen yang kuat dan relevan, setiap orang mencari agama yang
eksklusif dalam arti excellent, sesuai dengan selera dan keyakinannya.[40]
Paradigma
inklusifisme menyatakan tentang pentingnya memberikan toleransi terhadap orang
lain. Dalam hal ini, Inklusivisme merupakan sikap yang berpandangan bahwa di
luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran dan jalan keselamatan,
meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya.[41]
Sikap
inklusif ini mencerminkan kemajuan dalam memandang agama lain, di mana
kebenaran dan keselamatan bukan dominasi keyakinan atau agama tertentu, tetapi
agama lain pun memilikinya, walaupun agama lain itu masih dianggap sekunder.
Atau menurut istilah Cak Nur, “agama-agama lain adalah bentuk implisit agama
kita” (Islam). Dengan kata lain sikap inklusif itu suatu kesadaran pandangan
penganut agama terhadap kemungkinan benar pada penganut atau agama lain. Pandangan
inklusivisme ini, senantiasa mencoba untuk mencari common platform
atau di antara pelbagai keragaman, baik dalam konteks intra agama maupun antar
agama. Dengan kata lain, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan, akan tetapi
selalu ada titik temu yang bisa dipertemukan di antara perbedaan tersebut.[42]
Di
antara pandangan inklusif ini dapat ditemukan pada dokumen konsili vatikan II,
yang mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Konsili tersebut telah
mengeluarkan tiga keputusan penting: pertama, orang yang tidak
dibaptis, yang tanpa kesalahan, tidak percaya kepada Allah, dapat diselamatkan
asal mereka hidup menurut suara hati mereka. Kedua, setiap orang
berhak untuk mengikuti agama yang diyakininya. Ketiga, umat Katolik
dianjurkan untuk menghormati apa yang baik dalam agama-agama lain. Sikap
seperti ini, dalam Islam juga bisa ditemukakan misalnya, pandangan Ibn
Taimiyah, yang membedakan orang-orang dan agama Islam umum (yang non muslim par
excellent), dengan orang-orang dan agama Islam khusus (muslim par excellent).
Kata “Islam” sendiri di sini diartikan sebagai sikap pasrah kepada Tuhan.
Menurutnya, semua Nabi dan para pengikutnya disebut oleh Allah dengan
orang-orang muslim.[43]
Selain
Ibn Taimiyah, dapat juga ditemukan pandangan inklusif ini dari seorang teolog
muslim al-Ghazali. Al-Ghazali, seperti yang dikutip dalam tafsir al-Mâraghi,
telah mengemukakan pandangan yang menghubungkan keselamatan Ahli Kitab dengan
sampai dan tidaknya informasi tentang Islam yang benar kepada mereka. Dalam hal
ini dia membagi Ahli Kitab menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok
yang nama Nabi Muhammad sama sekali tidak sampai kepada mereka. Mereka ini
diampuni.
Kedua,
kelompok yang nama, sifat dan mukjizat
nabi sampai kepada mereka. Mereka ini adalah orang-orang yang tinggal dan
bergaul dengan orang-orang muslimin, namun mereka tidak beriman kepadanya,
karenanya mereka itu adalah orang kafir yang ingkar.
Ketiga,
kelompok yang berada di antara dua
kelompok sebelumnya. Nama nabi sampai kepada mereka, namun sifatnya yang benar
tidak sampai, bahkan sejak kecil mereka sudah mendengar bahwa seorang pembohong
bernama Muhammad menjadi nabi. Mereka ini dipandang seperti kelompok pertama,
karena meskipun mereka mendengar nama nabi, namun mereka tidak mengetahui
kebenarannya, bahkan hanya mengetahui kebalikan dari sifat-sifat yang
sebenarnya.[44]
Berdasarkan
pemahaman di atas, maka kalangan inklusif menganut pandangan bahwa agama semua
nabi adalah satu. Di sini, sikap inklusif sesungguhnya membuka ruang iman, yang
pada umumnya eksklusif menjadi ruang yang inklusif. Tuhan tidak hanya
menyediakan satu nabi kepada umat manusia di seluruh dunia, dan Tuhan juga
menyediakan ruang kepada nabi-nabi lain untuk menyebarkan ajaran tentang
kebajikan, kemaslahatan, keadilan dan kedamaian. Hemat penulis, sikap inklusif
ini juga ditemukan dalam diri Cak Nur, di mana dia mengungkapkan bahwa agama
yang lurus adalah yang membawa pesan kemanusiaan universal, yang merupakan
esensi inklusivisme.
Kemudian
dalam hal ini, menurutnya agama Islam yang di ajarkan Nabi Muhammad merupakan
agama yang membawa pesan kemanusiaan universal tersebut, sekaligus mempunyai
potensi kuat untuk membangun kalimâtun sawa’ dengan agama-agama yang
lain, karena ajaran yang dibawanya merupakan ajaran tentang keterbukaan dan
kerahmatan terhadap umat agama-agama yang lain. Hanya saja, menurut dia yang
harus dikembangkan adalah sikap berbaik sangka terhadap kelompok lain, bukan berburuk
sangka.[45]
E.
Islamisasi
Sains
Kata
“Sains Islam” dan lebih-lebih lagi “Islamisasi Sains” telah menjadi kata yang
membingungkan dan sampai taraf tertentu tidak populer. Membingungkan karena
para pendukungnya memiliki versi dan pemahaman serta cara yang berbeda-beda
tentangnya. Tidak populer karena ia berimplikasi pada relativitas sains yang
selama ini dipandang universal, walaupun asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar.[46]
Unsur islam dalam kata islamisasi di atas tidak mesti dipahami secara ketat
sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-Qur’an
dan hadits, tetapi sebaiknya dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh
bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental Islam. Islamisasi sains tidak
semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang
dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level
epistemologis. Islamisasi sains didasarkan pada asumsi bahwa sains atau ilmu,
tidak pernah sama sekali terbebas dari nilai.[47]
Naturalisasi
ilmu dan sekularisasinya menunjukkan ketidaknetralan ilmu. Sejak dahulu, ketika
ilmu berkembang disebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan
nilai-nilai budaya, ideologis dan agama yang dianut oleh para pemikir dan
ilmuwan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang disebut sebagai
helenisasi ilmu, kristenisasi ilmu, islamisasi ilmu pada masa klasik islam,
kemudian westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat barat
terhadap ilmu. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang alamiah, bahwa ketika dari
Barat ilmu ditransfer ke negara-negara Islam, ilmu tersebut mengalami
naturalisasi, yaitu proses adaptasi dan akulturasi ilmu terhadap nilai-nilai
religius dan budaya yang berkembang disana. Proses naturalisasi ilmu oleh
orang-orang Islam di wilayahnya masing-masing inilah yang dimaksud dengan
“Islamisasi Sains”.[48]
Islamisasi
sebagai salah satu bentuk naturalisasi ilmu perlu dilakukan untuk meminimalkan
dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan itu
melindunginya.[49]
Sebenarnya sebagai agama, Islam sangat mendukung terhadap pencarian dan
pengembangan ilmu. Hampir seluruh bidang boleh dijamah dan di eksplorasi,
kecuali Dzat Tuhan sendiri yang memang tidak mungkin dijangkau oleh kemampuan
manusia belaka karena dalam pandangan Islam semua ciptaan Tuhan patut untuk
diteliti dan dikaji secara seksama karena semua ciptaan adalah tanda-tanda
(ayat) Tuhan sendiri.[50]
Menurut
Profesor Nasr, tak ada seorang ilmuwan Muslim yang menuntut ilmu hanya karena
rasa ingin tahu, tetapi mereka menuntut ilmu dalam rangka mencari jejak Ilahi.
Selain itu, Islam pun membiarkan perbedaan pendapat dalam soal ilmu yang
mengarahkan pada munculnya pelbagai teori ilmiah di kalangan umat Islam. Bahkan
teori yang di Barat telah menimbulkan begitu banyak reaksi dari dari kalangan
umat Kristen, seperti teori evolusi, sebenarnya juga telah dikembangkan dengan
baik oleh para pemikir Islam terkenal seperti Al-Jahizh, Miskawaih dan
khususnya Jalal Al-Din Rumi, berdampingan dengan teori-teori kreasionis. Sejauh
teori-teori itu tidak secara langsung bertabrakan dengan prinsip-prinsip
fundamental keyakinan agama, mereka pada dasarnya akan diterima oleh masyarakat
Muslim. Namun, sekali teori-teori itu secara terus terang melanggar dan
menentang prinsip-prinsip pokok agama, Islam sebagai agama tidak bisa
menoleransinya karena hal itu telah dipandang sebagai penyimpangan prinsip dan
etos keilmuan Islam yang sejati.[51]
Corak
islamisasi sains yang bekerja pada level epistemologis yaitu:
Pertama,
pada sistem klasifikasi ilmu. Dalam bidang ilmu-ilmu alam, semua bidang kajian
sains modern menjadi bidang yang sah bagi ilmu Islam untuk dikaji. Islam tidak
mengenal tabu untuk meneliti setiap objek fisik, karena hanya Dzat Tuhan yang
tidak bisa diteliti. Hasil penelitian sains modern dapat diterima dengan baik
sebagai sarana yang baik untuk lebih mengenal kebesaran Tuhan. Namun, asumsi
sains bahwa dunia fisik merupakan realitas akhir yang independen tidak pernah
akan diterima karena dalam perspektif Islam, semua yang ada adalah ciptaan yang
bergantung pada, serta terkait erat dengan kekuasaan Ilahi dan ayat-ayat yang
menunjukkan keberadaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa. Hukum gravitasi
Newton, misalnya, bisa saja diterima asal tidak diasumsikan bahwa hukum
tersebut bisa berjalan secara independen tanpa campur tangan Tuhan. Demikian
juga teori evolusi, baik evolusi geologis maupun biologis, sebenarnya dapat
diterima asal saja tidak diasumsikan bahwa kekuatan yang menggerakkan evolusi
tersebut bersifat independen atau otonom, seperti “seleksi alamiah” yang
dipandang sebagai hukum yang independen oleh Darwin dan bertanggung jawab pada evolusi organik,
termasuk penciptaan spesies-spesies. Kalau tidak, seperti dalam kasus Darwin,
orang-orang akan sangat mudah menyingkirkan Tuhan sebagai pencipta
spesies-spesies (tumbuhan dan hewan) karena menganggap peran tersebut telah
digantikan oleh hukum seleksi alamiah.[52]
Entitas-entitas
supernatural tidak pernah dilepaskan dari ilmu, bahkan dipandang sebagai bagian
integral darinya. Entitas-entitas supernatural ini dalam pandangan Islam
berpuncak pada sebab pertama, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, kajian-kajian di
luar bidang-bidang fisika, seperti kosmologi dan bidang-bidang metafisika
lainnya, menjadi sangat penting karena tanpa mereka teori-teori ilmu alam tidak
bisa dipahami secara lebih baik, dan akan dirasakan tidak lengkap karena
teori-teori itu tidak akan menemukan padanannya. Misalnya, teori psikologi yang
dalam bagan Ibnu Sina termasuk pada bidang fisika, tidak akan lengkap dan
dipahami dengan baik tanpa metafisika emanasi, yang tentu saja masuk ke dalam
bidang metafisika. Menurut hematnya, akal manusia tidak pernah akan mencapai
status aktual sampai ia mengadakan kontak dengan akal aktif, yang dalam
kosmologi Ibnu Sina dipandang sebagai akal imateriil kesepuluh (terakhir) dari
rangkaian akal-akal imateriil yang memancar dari Tuhan.[53]
Kedua,
pada metodologi ilmiahnya. Ketika bidang kajian ilmu Islam tidak dibatasi pada
bidang fisik, tetapi meluas pada bidang-bidang non-fisik, mau tidak mau para
pemikir dan ilmuwan Muslim harus berusaha menciptakan metode-metode yang bisa
dipakai tidak hanya untuk meneliti benda-benda fisik, yaitu metode observasi
atau eksperimen (tajribi), tetapi juga metode yang bisa digunakan untuk
meneliti objek-objek non fisik, baik yang bersifat rasional, seperti metode
demonstratif (burhani) atau yang
bersifat intuitif (‘irfani). Oleh karena itu, metode ilmiah yang digunakan
dalam ilmu-ilmu Islam, harus juga mengakui metode burhani atau logika dan
metode ‘irfani atau intuitif.[54]
Dalam
kaitannya dengan metafisika, metode burhani sangat dibutuhkan, tidak hanya
untuk membuktikan keberadaan entitas-entitas spiritual, tetapi juga untuk
menunjukkan secara rasional kejadian-kejadian yang musykil seperti Isra’
Mi’raj, pengalaman mistik, dan lebih-lebih pengalaman kenabian atau wahyu. Oleh
karena itu, metode ini sangat diperlukan untuk memperkuat argumen kita pada
pilar-pilar keimanan yang biasanya diterima secara dogmatis saja. Adapun metode
‘irfani (intuitif) sangat dibutuhkan dalam bidang-bidang metafisika dan
keagamaan, karena dengan metode ini kita tidak hanya diperkenalkan pada
entitas-entitas imateriil, sebagaimana dilakukan oleh metode burhani, tetapi
lebih dari itu, kita diajak “menyaksikan” sendiri dengan mata hati, apa yang
selama ini hanya dikenal lewat pengetahuan diskursif (bahtsi). Melalui metode
‘irfani, kita diajak mengalami dan melihat sendiri alam-alam metafisika yang
selama ini tersembunyi, sehingga melalui metode ini tersibaklah rahasia-rahasia
(atas kehendak Tuhan) yang tersembunyi, baik di alam muluk (dunia fisik), alam
malakut (dunia imajinal), maupun alam jabarut (dunia spiritual).[55]
F.
Pluralisme Agama-Agama
Pluralisme adalah sebuah pandangan
bahwa keyakinan agama besar dunia merupakan wujud berbeda dari perbedaan
persepsi dan konsepsi karena perbedaan respon terhadap Yang Real dan Yang
Ultimat dan bahwa masing-masing agama itu bebas mentransformasikan keberadaan
kemanusiaannya dari pemusatan pada diri kepada pemusatan pada Tuhan mengambil
tempat. Berbeda dengan inklusivisme, pluralisme
menawarkan sesuatu yang baru. Pluralisme dianggap oleh banyak kalangan sebagai
tahapan lanjutan dari inklusivisme.[56]
Pluralisme berpendirian
bahwa semua agama mempunyai jalannya sendiri-sendiri. Jalan-jalan menuju Tuhan
beragam, banyak dan tidak tunggal. Semuanya bergerak menuju tujuan yang satu,
Tuhan. Dengan demikian, pluralisme memperjelas
adanya perbedaan-perbedaan dalam agama-agama, hanya saja perbedaan tersebut
merupakan manifestasi-manifestasi dari Realitas Yang Satu, Yang Maha Agung. Selain itu, paradigma pluralis tidak menilai
agama lain, semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang,
termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Penganut
agama lain tidak perlu dipaksa pindah agama sebagaimana dikehendaki paradigma
eksklusif, atau diakui sebagai orang yang terselamatkan sekalipun berada di
luar agama dirinya, sebagaimana paradigma inklusif. Ada beberapa ekspresi yang
memberikan sinyalemen kepada sikap pluralisme ini, misalnya: “agama-agama lain
adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama” atau
“setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.” [57]
Sikap atau pandangan
pluralisme ini, berkembang di antaranya di kalangan para sufi, yang lantaran
kesufiannya, mereka memiliki toleransi yang tinggi terhadap para pemeluk agama
selain Islam. Mereka memandang semua pemeluk agama, baik Ahli Kitab maupun
bukan, sebagai kaum yang menyembah Tuhan, tidak peduli di mana dan ke arah mana
mereka menyembah-Nya. Bagi mereka, orang yang beragama, apapun agamanya,
merupakan orang yang mencintai Tuhan. Tuhan yang mereka tuju itu hanya satu,
namun disebut berbeda-beda antara satu agama dari yang lain.[58]
Mereka juga berpendapat bahwa
Tuhan Yang Maha Adil tidak akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya karena
semata-mata tidak beriman dan tidak memiliki keterkaitan dengan-Nya. Karena itu
orang yang mengenal Tuhannya dan mengimaninya menurut agama yang dianutnya,
apapun agamanya itu, dan melakukan perbuatan baik, seperti mendirikan yayasan
kesejahteraan dan menemukan penemuan yang memberi banyak manfaat bagi kehidupan
manusia, akan menerima pahala atau balasan dari Tuhan.[59]
Secara eksplisit pluralisme
tidak bisa dipahami sebagai “kebaikan negatif”, bila dilihat dari kegunaannya
untuk “menyeimbangkan” eksklusivisme, akan tetapi pluralisme sebenarnya suatu
paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun
toleransi, kerukunan dan kebersamaan.[60]
IV.
SIMPULAN
Dari
makalah yang saya paparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Empat paradigma
umat Islam dalam merespons globalisasi, antara lain: Paradigma Tradisionalis,
Modernis, Fundamentalis dan transformatif. Indonesia, modernitas dan islam
adalah tiga kata yang sangat kuat mencirikan dinamika wacana Islam kontemporer
di Indonesia. Tema-tema yang menonjol dalam wacana Islam dapat dipandang
sebagai sebuah permainan dengan tiga kata yang beraura magis itu. Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai
berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap
orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik
di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4.
peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan
di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk
merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk
mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan
terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat
penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.
Dalam percaturan konstalasi politik internasional, terutama memahami perjuangan
dua kubu kepentingan politik antara Barat dan Islam Fundamentalis ( negara-negara
Arab di Timur Tengah), dalam perimbangan kekuatan apa pun dan posisi mana pun.
Iran adalah satu-satunya negara Islam Fundamentalis yang memiliki visi depan,
bersikap tegar dalam pendirian, memiliki program yang jelas penuh perhitungan,
mempunyai kekuatan sumber daya, berpengaruh luas di antara negara-negara
tetangga dan masyarakat Barat. Ditinjau dari sudut
kebahasaan, penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu
tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah
SWT, sedangkan Liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada
ajaran Agama (Al-Qur’an dan Hadist). Oleh karena itu, pemikiran liberal
sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran
Islam” karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis. Eksklusivisme
adalah sebuah paham atau sikap yang menganggap bahwa hanya pandangan kelompok
dan agamanya saja yang paling benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap
salah, sesat, dan tidak dapat menjadi jalan keselamatan. Sedankan Paradigma
inklusifisme menyatakan tentang pentingnya memberikan toleransi terhadap orang
lain. Dalam hal ini, Inklusivisme merupakan sikap yang berpandangan bahwa di
luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran dan jalan keselamatan,
meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Proses naturalisasi
ilmu oleh orang-orang Islam di wilayahnya masing-masing disebut dengan
“Islamisasi Sains”. Secara eksplisit pluralisme tidak bisa dipahami sebagai
“kebaikan negatif”, bila dilihat dari kegunaannya untuk “menyeimbangkan”
eksklusivisme, akan tetapi pluralisme sebenarnya suatu paham yang mendorong
agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi, kerukunan
dan kebersamaan.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan,kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekeliruan,untuk itu kami membutuhkan
kritik dan saran bagi para pembaca yang
bersifat membangun.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AAMIIN.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Taufiq, 1998. Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan.
Ali,
Mukti, 1995. Agama, Globalisasi dan Pembangunan dalam Menanggapi
Tantangan Masa Depan, Jakarta: Sinar Harapan
Amin,
Ahmad, 1996. Zuhr al-Islâm, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriah.
Aslan,
Adnan, 2004. Menyingkap Kebenaran : Pluralisme Agama dalam
Filsafat Islam dan Kristen Sayyed Hossein Nasr dan John Hick, Bandung :
Alifya.
Azhari, 1995. Jaringan Islam Liberal dan Kesesatannya, Bandung:
Mizan.
Azizi,
Qodri, A., 2003. Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam
Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Barbour,
Ian, 2002. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan.
Bashori, Hasan, A.,
Abu Hamzah, 2008. Bahaya JIL Bagi Akidah Umat, Pembentengan dan
Solusinya, Jakarta: Paramadina.
Burrell,
RM., 1995. Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darus,
Baharuddin, 1998. Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di abad 21,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Dydo,
Todiruan, 1993. Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat,
Jakarta: Golden Terayon Press.
Fakih,
Mansor, 2002. Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hakim,
Abdul, A., dan Mubarok, Jaih, 2004. Metodologi Studi Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Hamid,
Abu, Al-Ghazali, 1996. Majmû’ah Rasâ’il al-Imâm al-Ghazali, Beirut:
Dâr Al-Fikr.
Kartanegara,
Mulyadhi, 1991. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung:
Mizan.
Kartanegara,
Mulyadhi, 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam,
Bandung: Mizan.
Kuhn,
Thomas, 1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Bandung: Rosdakarya.
Lubis,
Arbiyyah, 1989. Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad ‘Abduh, Jakarta:
IAIN Syarif Hidayatullah.
Mastuhu,
2003. Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta:
Safiria Insani Press
Misrawi,
Zuhairi, 2007. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme, Jakarta: Fitrah.
Muhtarom,
2005. Reproduksi Ulama’ di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muthahari,
Murtadha, 1997. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung:
Mizan.
Nata,
Abuddin, 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan PendidikanIslam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Nur,
Cak, 2004. Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Jaya
Murni.
Perwiranegara,
Alamsyah, 1987. Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia, Jakarta:
C.V. Haji Masagung.
Rachman,
Munawar, B., 2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: Paramadina.
Sachedina,
Azis, A., 2002. Kesetaraan Kaum Beriman Akar Pluralisme Demokrasi dalam
Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Suryohadiprojo,
Saydiman, 1987. Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman,
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Tantowi,
Ahmad, 2009. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
Thoha,
Malik, A., 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Depok:
Perspektif.
Yakub, Mustafa, Ali, 2005. Mengungkap Jaringan Islam
Liberal, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis
dilahirkan pada tanggal 26 November 1991 di desa Brambang Karangawen, tepatnya
di kota Demak bagian barat daya. Penulis anak dari Bapak ‘Abdul Lathif (alm) dan
Ibu Mar’ah. Penulis menempuh pendidikan pertamanya di TK MANGGAR, kemudian di
SD SOKA-1, setelah lulus SD kemudian penulis melanjutkan di MTs SHOLIHIYYAH dan
MA nya di MA FUTUHIYYAH-1 sambil nyantri di pesantrennya paman sendiri selama 6
tahun (dari MTs sampai MA). Sejak duduk di bangku MA, penulis sebenarnya sudah
punya keinginan ingin meneruskan di Perguruan Tinggi, tapi ketika menginjak
kelas 2 MA, Bapak tercinta menghadap sang Khaliq. Ketika itu, Penulis sudah
pasrah sama ALLAH. Tapi ternyata Tuhan mengabulkan keinginan Penulis, Penulis
di jadikan anak angkat oleh Boznya alm.Bapak dan Beliau mau menguliahkan
Penulis. Akhirnya penulis melanjutkan di IAIN Walisongo Fakultas Tarbiyyah
angkatan 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar