MURJI’AH
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya dengan kaum khawarij,
kaum murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya
persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Utsman
bin ‘Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum khawarij pada mulanya
adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya
perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras
dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam
Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali
bertambah keras, setelah ia sendiri mati terbunuh pula. Dalam suasana
pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara
golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan
itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan
yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa
yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan
ini kehari perhitungan di depan Tuhan.
II. POKOK BAHASAN
A.
Asal-Usul
Munculnya Aliran Murji’ah
B.
Ajaran-Ajaran
Pokok Aliran Murji’ah
C.
Pembagian
Kaum Murji’ah
III. PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul
Munculnya Aliran Murji’ah
Golongan ini muncul di
tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar, apakah pelaku
dosa besar masih tetap beriman ataukah tidak? Menurut khawarij orang itu
menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mu’min, melainkan
hanya muslim. Hasan al-Bashri dan sebagian tabi’in mengatakan bahw aorang itu
munafik. Alasan mereka, perbuatan merupakan cermin dari hati, sedangkan ucapan
tidak dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah beriman. Adapun mayoritas
umat Islam memandang pelaku dosa besar sebagai orang mu’min yang durhaka, yang
persoalannya diserahkan kepada Allah: jika menghendaki, Ia akan menyiksanya
sesuai dengan dosanya; dan jika menghendaki pula, Ia dapat saja mengampuni
kesalahannya. Ditengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah
muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana
ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir. Diantara para pendukung
paham ini ada yang berpendapat bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada
Allah pada hari kiamat. Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan
bergabung dengan sekelompok besar Ulama’ Sunny. Bahkan dalam suatu penelitian
diketahui bahwa pendapat golongan ini mewakili pendapat jumhur ulama’.[1]
Penyemaian benih
pertama yang kemudian menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yatu
pada masa akhir pemerintahan Utsman. Pergunjingan tentang keadaan pemerintahan
Utsman dan para pejabatnya berkembang sampai kepelosok-pelosok wilayah Islam.
Pergunjingan itu kemudian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya
Utsman. Disaat-saat seperti itu sekelompok sahabat memilih bersikap diam dan
menahan diri agar tidak mencampuri fitnah yang menimbulkan kekacauan luar biasa
dikalangan umat Islam.
Ketika akibat-akibat
yang timbul dari fitnah itu berlanjut sampai ke masa pemerintahan Ali, kelompok
ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menangguhkan hukum tentang
peperangan yang terjadi antara khalifah Ali dan Muawiyyah sampai hari kiamat.
Diantara mereka terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Abdullah ibn Umar
dan Imran ibn Al-Husain.[2]
Dengan sikap itu mereka
tidak mau menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar diantara dua
kelompok yang bertikai. Mereka menyerahkan persoalannya kepada Allah. Mengenai
masalah ini Imam Nawawi berkata: persoalan-persoalan yang timbul diantara para
sahabat banyak yang sulit dimengerti. Diantara mereka ada kelompok yang merasa
bingung untuk menentukan sikap, sehingga mereka menghindarkan diri dari dua
kelompok yang bertikai dan tidak mau turut berperang, karena tidak yakin mana
yang benar.
Sikap ragu-ragu mulai
menyelimuti banyak tentara. Karena itu, Ibn ‘Asakir dalam buku sejarahnya
menamai mereka dengan Al-Syakkak (orang-orang yang ragu), yaitu
orang-orang yang ragu tentang mana yang benar dalam pertentangan itu. Ia
mengatakan bahwa Al-Syakkak pada waktu itu sedang berada dimedan perang melawan
pasukan kafir. Ketika mereka -yang merupakan harapan rakyat karena mereka
selalu sependapat- tiba di Madinah setelah Utsman terbunuh, mereka berkata:
kami dahulu meninggalkan kamu dalam keadaan bersatu, tanpa ada pertentangan,
dan sekarang kami mendatangi kamu tetapi kamu sudah saling bertentangan. Di
antara kamu ada yang berkata bahwa Utsman terbunuh dengan cara kejam, padahal
Ia dan pengikutnya paling adil. Ada pula yang berkata bahwa Ali dan pengikutnya
lebih dapat dibenarkan. Mereka semua benar dan kami memiliki buktinya. Kami
tidak berlepas diri dari keduanya (Utsman dan Ali), tidak mengutuk keduanya,
tidak pula menjadi saksi diantara keduanya. Kami menangguhkan dan menyerahkan
persoalan keduanya kepada Allah. Biarlah Allah yang menghakimi keduanya.[3]
Paham Murji’ah muncul
dikufah dan pengikutnya kebanyakan dari penduduk kota itu. Akan tetapi
didalamnya tidak termasuk para pendukung Abdullah dan Ibrahim An-Nikha’i.[4]
Ketika pertentangan
pendapat semakin memuncak dikalangan umat Islam, dan masalah yang
dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukuman atas kasus di atas,
tetapi termasuk pula masalah pelaku dosa, muncullah satu kelompok yang menempuh
pola sikap menangguhkan persoalan terhadap pelaku dosa; suatu sikap yang
ditempuh sebagian kelompok sahabat. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar
ditangguhkan kasusnya, dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala
yang tersembunyi. Mereka menahan diri dari memperbincangkan pertentangan
politik karena dasar pertentangannya adalah hukum kafir yang dijatuhkan
golongan Khawarij terhadap semua orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
Tentang mereka yang saling bertikai itu kelompok Murji’ah berkata: mereka
menyatakan dua kalimat syahadah, maka jika demikian mereka bukan orang kafir
dan bukan pula musyrik, tetapi Muslim. Kita serahkan persoalan mereka kepada
Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan yang akan mengadili mereka.[5]
B.
Ajaran-Ajaran
Pokok Aliran Murji’ah
Kaum murji’ah pada
mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam
pertentangan-pertentangan yang terjadi di ketika itu dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya itu kepada Tuhan. Dari lapangan
politik mereka segera pula berpindah kelapangan teologi. Persoalan dosa besar
yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan
pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi
orang yang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mu’min bagi
orang yang serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda
penyelesaiannya ke hari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan
dalam hal ini ialah bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulnya. Dengan
kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadah yang menjadi dasar
utama dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan
ini, tetap mu’min dan bukan kafir.[6]
Pendapat serupa ini
dapat membawa kepada pendapat bahwa yang penting serta yang diutamakan adalah
sebenarnya iman, sedang perbuatan hanya merupakan soal kedua. Ini merupakan
kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya
seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya.
Perbuatan disini mendapat kedudukan yang kedua dari iman.[7]
Murji’ah yang
mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan,
sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur didalamnya, diantara mereka
terdapat fuqaha’ kufah. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak bisa menjadi
seorang mu’min jika tidak menyatakan keimanannya dengan lisan, sementara ia
mampu melakukan hal itu. Mereka berpendapat bahwa Iblis dan Fir’aun dan lainnya
adalah orang-orang kafir sekalipun hati mereka membenarkan. Para ahli kalam dan
fuqaha’ murji’ah mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan bisa dinamakan iman
secara majazi, karena amal merupakan buah dan realisasi iman sekaligus
menunjukkan keberadaannya.[8]
Pola sikap “tidak
mengkaji perbedaan pendapat” dan menyerahkan persoalan pembuat dosa besar
kepada Allah dihari kiamat merupakan cara terbaik, dan itu tidak diragukan
lagi, karena mungkin saja dosa orang itu ada yang diampuni. Dalam perkembangan
berikutnya, setelah masa kelompok tadi, muncul penganut paham yang tidak
sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, tetapi lebih dari itu mereka
menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman adalah
pengakuan, pembenaran, keyakinan dan pengetahuan; perbuatan ma’siat tidak akan
merusakkan hakikat iman. Iman terpisah dari perbuatan. Di antara kelompok ini
malah ada yang bersikap ekstrim dengan beranggapan bahwa keimanan adalah
keyakinan hati. Dengan demikian, jika seseorang menyatakan kekafiran dengan
lidahnya, menyembah berhala, bergabung dengan orang-orang yahudi dan nasrani di
wilayah Islam, menyembah salib, menyatakan trinitas di wilayah Islam, lalu mati
dalam keadaan seperti itu, ia tetap seorang mu’min yang imannya sempurna di
sisi Allah serta termasuk ahli surga.[9]
Di antara mereka malah
ada yang berkeyakinan bahwa walaupun seseorang berkata “saya tahu bahwa Allah
mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan
itu adalah kambing ini atau yang lain” ia masih tetap mu’min. Demikian pula
jika ada yang berkata “saya tahu bahwa Allah telah mewajibkan mengerjakan haji
ke ka’bah, tetapi aku tidak tahu dimana ka’bah itu, mungkin saja di India”, ia
masih beriman. Artinya keyakinan-keyakinan seperti itu berada di luar persoalan
keimanan, tidak ada hubungannya dengan iman. Jadi, orang tersebut sesungguhnya
tidak meragukan hal-hal tadi, karena setiap orang yang berakal pasti tidak
meragukan dimana ka’bah dan pasti tahu perbedaan antara kambing dan babi.[10]
Dari uraian di atas
diketahui bahwa mereka telah melampaui batas dalam melecehkan amal perbuatan,
bahkan meniadakan dosa, ditinjau dari hubungannya dengan dasar keimanan dan
dari segi efek yang timbul, yaitu balasan surga bagi yang berbuat baik dan
balasan neraka bagi yang berbuat jahat. Mereka juga melecehkan dasar iman dan
mengubah hakikatnya, serta menjadikan iman sebatas pengakuan hati saja,
walaupun bertentangan dengan tindakan. Semua kenyataan itu menunjukkan bahwa
keimanan dan pengakuan belum memasuki hati mereka. Sebaliknya mereka telah
melampauinya dengan mengatakan bahwa pengakuan hati adalah satu-satunya rukun
iman serta meragukan hakikat keimanan yang dapat diketahui secara a priori
dengan menolak mengakuinya sebagai unsur-unsur keimanan. Mereka menyiarkan
faham bahwa tidak mengetahui ka’bah tidak merusak iman, dan tidak mengetahui
babi juga demikian.
Di tengah-tengah
pendapat dan pandangan yang sesat itu di antara para penganut madzhab Murji’ah
ini terdapat orang-orang yang melecehkan hakikat keimanan, amal-amal ketaatan,
serta perbuatan-perbuatan mulia lainnya. Mereka yang berbuat kerusakan dan
tidak memperdulikan halal dan haram menjadikannya sebagai suatu madzhab,
sehingga mereka disebut dengan Al-Mufsidun (para pencipta kerusakan).
Mereka menjadikan paham itu sebagai jalan untuk melakukan dosa, melancarkan
niat jahat dan menuruti hawa nafsu dari kebanyakan orang-orang yang menciptakan
malapetaka dan kerusakan.
Dari uraian tentang
Murji’ah di atas dapat disimpulkan bahwa Murjiah merupakan madzhab dari dua
golongan. Yang pertama adalah yang bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas
pertentangan yang terjadi di antara para sahabat dan yang terjadi di masa
pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang bahwa
ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu. Allah mengampuni segala dosa
selain kekafiran, sehingga perbuatan ma’siyat tidak dapat merusak keimanan,
sebagaimana perbuatan taat tidak membantu kekafiran. Mengenai kelompok ini Zaid
ibn Ali ibn Al-Hasan berkata “saya berlepas diri dari golongan murji’ah yang
mengharapkan Allah mengampuni orang-orang fasiq”. Kelompok kedua ini telah
membuat madzhab murji’ah menjadi cacat yang dicela dan dikutuk para ulama’ dan
golongan –golongan lain
C.
Pembagian
Kaum Murji’ah
Sebagaimana faham
lainnya, murji’ah pecah menjadi dua golongan besar, yaitu:
1.
Golongan
Moderat
Berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka
sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan
akan memaafkan dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama
sekali.[11]
Dalam golongan murji’ah moderat ini termasuk Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Jadi bagi golongan
ini orang islam yang berdosa besar masih tetap mu’min. Dalam hubungan ini Abu
Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman ialah pengetahuan dan
pengakuan tentag Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang
datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai
sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam
hal iman.[12]
2.
Golongan
Extrim
Yaitu golongan Jahmiah, pengikut Jahm ibn
Sofwan. Menurut faham ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian
mengatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur
tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.[13]
Sungguhpun mereka menyembah berhala menjalankan ajaran-ajaran agama yahudi dan
kristen kemudian mati, orang yang demikian bagi Allah tetap seorang mu’min yang
sempurna imannya. Al Shalihiah, pengikut Abu Hasan Al Shalihi berpendapat:
sembahyang tidaklah merupakan ibadah karena yang disebut ibadah ialah iman
kepada-Nya. Lebih lanjut Al Baghdadi berpendapat: sembahyang, zakat, dan haji
menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang dinamakan
ibadah hanyalah iman. Faham Al-Yanusiah menjelaskan bahwa melakukan ma’siyat
atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.[14]
Golongan Al-Ubaidillah
berpendapat demikian pula, tegasnya jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa
dan perbuatannya yang jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang
bersangkutan. Karena itu pulalah maka Muqatil ibn Sulaiman mengatakan bahwa
perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusakkan iman seseorang, dan
sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik.
Pendapat-pendapat extrim seperti diuraikan tadi, timbul dari pengertian bahwa
perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada
pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mu’min atau
tidak mu’minnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam
hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada didalam hati seseorang tidak
diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya
menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak
mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang didalam hati. Dengan demikian
ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.[15]
Ajaran serupa ini ada
bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah
ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersikap permissive, masyarakat yang
dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang
berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa
dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham
demikian. Inilah kelihatannya yang menjadi sebab maka nama murji’ah itu pada
akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi. Tetapi bagaimanapun
ajaran yang terdapat dalam golongan murji’ah moderat tersebut diatas menjadi
ajaran yang diterima dalam golongan ahli sunnah dan jama’ah dalam Islam.[16]
Pendapat murji’ah
moderat sama dengan faham Al-Asy’ari sebagaimana dikuatkan oleh Ibn Harun bahwa
Al-Asy’ari dapat dimasukkan kedalam golongan Murjiah. Al-Asy’ari menegaskan
iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan, tentang kebenaran
rasul-rasul. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam
merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia
tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Kemudian Tuhan akan mengampuni
dosa-dosanya atau kemungkinan tidak mengampuni dosa-dosa yang diperbuatnya,
kemudian baru masuk surga, ia tidak mungkin kekal dalam neraka.
Faham yang sama
diberikan oleh Al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
a.
Iman
yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka:
yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul-rasul, qadar baik dan buruk, sifat-sifat
Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.
Iman
yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasik dari seseorang
serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan
menjauhi segala dosa besar.
c.
Iman
yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa
perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnah dan menjauhi
segala dosa.[17]
Ringkasnya menurut
uraian diatas, orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka. Orang demikian adalah mu’min dan akhirnya akan masuk surga. Kalau yang
diatas merupakan pendapat dari ahli sunnah golongan Asy’ariyyah maka dari ahli
sunnah golongan Maturidiyyah, Al Badzawi memberikan uraian sebagai berikut:
iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan pada
perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan atau iman. Orang yang
meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir.[18]
Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa aliran Murji’ah moderat dan extrim telah lenyap, tetapi
ajaran-ajaran Murji’ah moderat tentang iman kufur dan dosa-dosa besar masuk
kedalam aliran Ahli Sunnah Wal Jama’ah[19]
IV. SIMPULAN
Sebagaimana halnya dengan kaum khawarij,
kaum murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik. Kaum
murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam
pertentangan-pertentangan yang terjadi di ketika itu dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya itu kepada Tuhan. Murji’ah
mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan,
sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur didalamnya. Murji’ah pecah menjadi dua golongan besar,
yaitu:
· Golongan Moderat, Berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi
akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan
ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memaafkan dosanya, dan oleh karena itu tidak
akan masuk neraka sama sekali.
· Golongan Extrim, Menurut faham ini orang
Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian mengatakan kekufuran secara lisan
tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati, bukan
dalam bagian lain dari tubuh manusia.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun,
kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini,
oleh karena itu kami butuh kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami. Semoga makalah ini bisa membawa berkah dan manfaat bagi kita
semua. AAMIIN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi, Muhammad, 1992. Manhaj
dan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, Abu, 1930. Maqolat
Al-Islamiyyin Wakhtilaf Al-Musallim, Konstantinopel: Mathba’ah Al-Daulah.
Ibnu Hazm, 1964. Al-Fisal Fi Al Ahwa’
Wal Nihal, Kairo: Ali Subeih.
Muhammad, Abu Al-Yusr, 1963. Kitab
Ushuluddin, Kairo: Hans Peter Linss.
Muhammad, Imam, Abu Zahrah, 1996. Aliran
Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Mesir: Darul Fikr.
Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam,
Jakarta: Penerbit UI Press.
Qahir, Abdul, 1928. Kitab Ushuludin,
Istanbul: Madrasah Al-Ilahiyyah.
Romas, Ghofir, 1986. Ilmu Tauhid,
Semarang: Badan Penerbit Fak. Dakwah
IAIN Walisongo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar