Jumat, 16 September 2011

Murji'ah

MURJI’AH

             I.     PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya dengan kaum khawarij, kaum murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Utsman bin ‘Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum khawarij pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras, setelah ia sendiri mati terbunuh pula. Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini kehari perhitungan di depan Tuhan.

          II.     POKOK BAHASAN
A.       Asal-Usul Munculnya Aliran Murji’ah
B.       Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Murji’ah
C.       Pembagian Kaum Murji’ah
      III.     PEMBAHASAN
A.       Asal-Usul Munculnya Aliran Murji’ah
Golongan ini muncul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar, apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman ataukah tidak? Menurut khawarij orang itu menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mu’min, melainkan hanya muslim. Hasan al-Bashri dan sebagian tabi’in mengatakan bahw aorang itu munafik. Alasan mereka, perbuatan merupakan cermin dari hati, sedangkan ucapan tidak dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah beriman. Adapun mayoritas umat Islam memandang pelaku dosa besar sebagai orang mu’min yang durhaka, yang persoalannya diserahkan kepada Allah: jika menghendaki, Ia akan menyiksanya sesuai dengan dosanya; dan jika menghendaki pula, Ia dapat saja mengampuni kesalahannya. Ditengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir. Diantara para pendukung paham ini ada yang berpendapat bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada Allah pada hari kiamat. Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan bergabung dengan sekelompok besar Ulama’ Sunny. Bahkan dalam suatu penelitian diketahui bahwa pendapat golongan ini mewakili pendapat jumhur ulama’.[1]
Penyemaian benih pertama yang kemudian menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yatu pada masa akhir pemerintahan Utsman. Pergunjingan tentang keadaan pemerintahan Utsman dan para pejabatnya berkembang sampai kepelosok-pelosok wilayah Islam. Pergunjingan itu kemudian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya Utsman. Disaat-saat seperti itu sekelompok sahabat memilih bersikap diam dan menahan diri agar tidak mencampuri fitnah yang menimbulkan kekacauan luar biasa dikalangan umat Islam.
Ketika akibat-akibat yang timbul dari fitnah itu berlanjut sampai ke masa pemerintahan Ali, kelompok ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menangguhkan hukum tentang peperangan yang terjadi antara khalifah Ali dan Muawiyyah sampai hari kiamat. Diantara mereka terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Abdullah ibn Umar dan Imran ibn Al-Husain.[2]
Dengan sikap itu mereka tidak mau menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar diantara dua kelompok yang bertikai. Mereka menyerahkan persoalannya kepada Allah. Mengenai masalah ini Imam Nawawi berkata: persoalan-persoalan yang timbul diantara para sahabat banyak yang sulit dimengerti. Diantara mereka ada kelompok yang merasa bingung untuk menentukan sikap, sehingga mereka menghindarkan diri dari dua kelompok yang bertikai dan tidak mau turut berperang, karena tidak yakin mana yang benar.
Sikap ragu-ragu mulai menyelimuti banyak tentara. Karena itu, Ibn ‘Asakir dalam buku sejarahnya menamai mereka dengan Al-Syakkak (orang-orang yang ragu), yaitu orang-orang yang ragu tentang mana yang benar dalam pertentangan itu. Ia mengatakan bahwa Al-Syakkak pada waktu itu sedang berada dimedan perang melawan pasukan kafir. Ketika mereka -yang merupakan harapan rakyat karena mereka selalu sependapat- tiba di Madinah setelah Utsman terbunuh, mereka berkata: kami dahulu meninggalkan kamu dalam keadaan bersatu, tanpa ada pertentangan, dan sekarang kami mendatangi kamu tetapi kamu sudah saling bertentangan. Di antara kamu ada yang berkata bahwa Utsman terbunuh dengan cara kejam, padahal Ia dan pengikutnya paling adil. Ada pula yang berkata bahwa Ali dan pengikutnya lebih dapat dibenarkan. Mereka semua benar dan kami memiliki buktinya. Kami tidak berlepas diri dari keduanya (Utsman dan Ali), tidak mengutuk keduanya, tidak pula menjadi saksi diantara keduanya. Kami menangguhkan dan menyerahkan persoalan keduanya kepada Allah. Biarlah Allah yang menghakimi keduanya.[3]
Paham Murji’ah muncul dikufah dan pengikutnya kebanyakan dari penduduk kota itu. Akan tetapi didalamnya tidak termasuk para pendukung Abdullah dan Ibrahim An-Nikha’i.[4]
Ketika pertentangan pendapat semakin memuncak dikalangan umat Islam, dan masalah yang dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukuman atas kasus di atas, tetapi termasuk pula masalah pelaku dosa, muncullah satu kelompok yang menempuh pola sikap menangguhkan persoalan terhadap pelaku dosa; suatu sikap yang ditempuh sebagian kelompok sahabat. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan kasusnya, dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Mereka menahan diri dari memperbincangkan pertentangan politik karena dasar pertentangannya adalah hukum kafir yang dijatuhkan golongan Khawarij terhadap semua orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Tentang mereka yang saling bertikai itu kelompok Murji’ah berkata: mereka menyatakan dua kalimat syahadah, maka jika demikian mereka bukan orang kafir dan bukan pula musyrik, tetapi Muslim. Kita serahkan persoalan mereka kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan yang akan mengadili mereka.[5]
B.       Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Murji’ah
Kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi di ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya itu kepada Tuhan. Dari lapangan politik mereka segera pula berpindah kelapangan teologi. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mu’min bagi orang yang serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda penyelesaiannya ke hari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulnya. Dengan kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadah yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mu’min dan bukan kafir.[6]
Pendapat serupa ini dapat membawa kepada pendapat bahwa yang penting serta yang diutamakan adalah sebenarnya iman, sedang perbuatan hanya merupakan soal kedua. Ini merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya. Perbuatan disini mendapat kedudukan yang kedua dari iman.[7]
Murji’ah yang mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur didalamnya, diantara mereka terdapat fuqaha’ kufah. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak bisa menjadi seorang mu’min jika tidak menyatakan keimanannya dengan lisan, sementara ia mampu melakukan hal itu. Mereka berpendapat bahwa Iblis dan Fir’aun dan lainnya adalah orang-orang kafir sekalipun hati mereka membenarkan. Para ahli kalam dan fuqaha’ murji’ah mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan bisa dinamakan iman secara majazi, karena amal merupakan buah dan realisasi iman sekaligus menunjukkan keberadaannya.[8]
Pola sikap “tidak mengkaji perbedaan pendapat” dan menyerahkan persoalan pembuat dosa besar kepada Allah dihari kiamat merupakan cara terbaik, dan itu tidak diragukan lagi, karena mungkin saja dosa orang itu ada yang diampuni. Dalam perkembangan berikutnya, setelah masa kelompok tadi, muncul penganut paham yang tidak sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, tetapi lebih dari itu mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman adalah pengakuan, pembenaran, keyakinan dan pengetahuan; perbuatan ma’siat tidak akan merusakkan hakikat iman. Iman terpisah dari perbuatan. Di antara kelompok ini malah ada yang bersikap ekstrim dengan beranggapan bahwa keimanan adalah keyakinan hati. Dengan demikian, jika seseorang menyatakan kekafiran dengan lidahnya, menyembah berhala, bergabung dengan orang-orang yahudi dan nasrani di wilayah Islam, menyembah salib, menyatakan trinitas di wilayah Islam, lalu mati dalam keadaan seperti itu, ia tetap seorang mu’min yang imannya sempurna di sisi Allah serta termasuk ahli surga.[9]
Di antara mereka malah ada yang berkeyakinan bahwa walaupun seseorang berkata “saya tahu bahwa Allah mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini atau yang lain” ia masih tetap mu’min. Demikian pula jika ada yang berkata “saya tahu bahwa Allah telah mewajibkan mengerjakan haji ke ka’bah, tetapi aku tidak tahu dimana ka’bah itu, mungkin saja di India”, ia masih beriman. Artinya keyakinan-keyakinan seperti itu berada di luar persoalan keimanan, tidak ada hubungannya dengan iman. Jadi, orang tersebut sesungguhnya tidak meragukan hal-hal tadi, karena setiap orang yang berakal pasti tidak meragukan dimana ka’bah dan pasti tahu perbedaan antara kambing dan babi.[10]
Dari uraian di atas diketahui bahwa mereka telah melampaui batas dalam melecehkan amal perbuatan, bahkan meniadakan dosa, ditinjau dari hubungannya dengan dasar keimanan dan dari segi efek yang timbul, yaitu balasan surga bagi yang berbuat baik dan balasan neraka bagi yang berbuat jahat. Mereka juga melecehkan dasar iman dan mengubah hakikatnya, serta menjadikan iman sebatas pengakuan hati saja, walaupun bertentangan dengan tindakan. Semua kenyataan itu menunjukkan bahwa keimanan dan pengakuan belum memasuki hati mereka. Sebaliknya mereka telah melampauinya dengan mengatakan bahwa pengakuan hati adalah satu-satunya rukun iman serta meragukan hakikat keimanan yang dapat diketahui secara a priori dengan menolak mengakuinya sebagai unsur-unsur keimanan. Mereka menyiarkan faham bahwa tidak mengetahui ka’bah tidak merusak iman, dan tidak mengetahui babi juga demikian.
Di tengah-tengah pendapat dan pandangan yang sesat itu di antara para penganut madzhab Murji’ah ini terdapat orang-orang yang melecehkan hakikat keimanan, amal-amal ketaatan, serta perbuatan-perbuatan mulia lainnya. Mereka yang berbuat kerusakan dan tidak memperdulikan halal dan haram menjadikannya sebagai suatu madzhab, sehingga mereka disebut dengan Al-Mufsidun (para pencipta kerusakan). Mereka menjadikan paham itu sebagai jalan untuk melakukan dosa, melancarkan niat jahat dan menuruti hawa nafsu dari kebanyakan orang-orang yang menciptakan malapetaka dan kerusakan.
Dari uraian tentang Murji’ah di atas dapat disimpulkan bahwa Murjiah merupakan madzhab dari dua golongan. Yang pertama adalah yang bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas pertentangan yang terjadi di antara para sahabat dan yang terjadi di masa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang bahwa ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu. Allah mengampuni segala dosa selain kekafiran, sehingga perbuatan ma’siyat tidak dapat merusak keimanan, sebagaimana perbuatan taat tidak membantu kekafiran. Mengenai kelompok ini Zaid ibn Ali ibn Al-Hasan berkata “saya berlepas diri dari golongan murji’ah yang mengharapkan Allah mengampuni orang-orang fasiq”. Kelompok kedua ini telah membuat madzhab murji’ah menjadi cacat yang dicela dan dikutuk para ulama’ dan golongan –golongan lain                                                                            
C.       Pembagian Kaum Murji’ah
Sebagaimana faham lainnya, murji’ah pecah menjadi dua golongan besar, yaitu:
1.    Golongan Moderat
 Berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memaafkan dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[11] Dalam golongan murji’ah moderat ini termasuk Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Jadi bagi golongan ini orang islam yang berdosa besar masih tetap mu’min. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentag Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[12]
2.    Golongan Extrim
 Yaitu golongan Jahmiah, pengikut Jahm ibn Sofwan. Menurut faham ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian mengatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.[13] Sungguhpun mereka menyembah berhala menjalankan ajaran-ajaran agama yahudi dan kristen kemudian mati, orang yang demikian bagi Allah tetap seorang mu’min yang sempurna imannya. Al Shalihiah, pengikut Abu Hasan Al Shalihi berpendapat: sembahyang tidaklah merupakan ibadah karena yang disebut ibadah ialah iman kepada-Nya. Lebih lanjut Al Baghdadi berpendapat: sembahyang, zakat, dan haji menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang dinamakan ibadah hanyalah iman. Faham Al-Yanusiah menjelaskan bahwa melakukan ma’siyat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.[14]
Golongan Al-Ubaidillah berpendapat demikian pula, tegasnya jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatannya yang jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Karena itu pulalah maka Muqatil ibn Sulaiman mengatakan bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusakkan iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik. Pendapat-pendapat extrim seperti diuraikan tadi, timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mu’min atau tidak mu’minnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada didalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang didalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.[15]
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersikap permissive, masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Inilah kelihatannya yang menjadi sebab maka nama murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi. Tetapi bagaimanapun ajaran yang terdapat dalam golongan murji’ah moderat tersebut diatas menjadi ajaran yang diterima dalam golongan ahli sunnah dan jama’ah dalam Islam.[16]
Pendapat murji’ah moderat sama dengan faham Al-Asy’ari sebagaimana dikuatkan oleh Ibn Harun bahwa Al-Asy’ari dapat dimasukkan kedalam golongan Murjiah. Al-Asy’ari menegaskan iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan, tentang kebenaran rasul-rasul. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Kemudian Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya atau kemungkinan tidak mengampuni dosa-dosa yang diperbuatnya, kemudian baru masuk surga, ia tidak mungkin kekal dalam neraka.
Faham yang sama diberikan oleh Al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
a.    Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka: yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul-rasul, qadar baik dan buruk, sifat-sifat Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.    Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasik dari seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c.    Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnah dan menjauhi segala dosa.[17]
Ringkasnya menurut uraian diatas, orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mu’min dan akhirnya akan masuk surga. Kalau yang diatas merupakan pendapat dari ahli sunnah golongan Asy’ariyyah maka dari ahli sunnah golongan Maturidiyyah, Al Badzawi memberikan uraian sebagai berikut: iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan pada perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan atau iman. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir.[18]
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa aliran Murji’ah moderat dan extrim telah lenyap, tetapi ajaran-ajaran Murji’ah moderat tentang iman kufur dan dosa-dosa besar masuk kedalam aliran Ahli Sunnah Wal Jama’ah[19]
      IV.     SIMPULAN
Sebagaimana halnya dengan kaum khawarij, kaum murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik. Kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi di ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya itu kepada Tuhan. Murji’ah mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur didalamnya.     Murji’ah pecah menjadi dua golongan besar, yaitu:
·   Golongan Moderat, Berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memaafkan dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
·   Golongan Extrim, Menurut faham ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian mengatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.
          V.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, oleh karena itu kami butuh kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bisa membawa berkah dan manfaat bagi kita semua. AAMIIN 



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, Muhammad, 1992. Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, Abu, 1930. Maqolat Al-Islamiyyin Wakhtilaf Al-Musallim, Konstantinopel: Mathba’ah Al-Daulah.
Ibnu Hazm, 1964. Al-Fisal Fi Al Ahwa’ Wal Nihal, Kairo: Ali Subeih.
Muhammad, Abu Al-Yusr, 1963. Kitab Ushuluddin, Kairo: Hans Peter Linss. 
Muhammad, Imam, Abu Zahrah, 1996. Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Mesir: Darul Fikr.
Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam, Jakarta: Penerbit UI Press.
Qahir, Abdul, 1928. Kitab Ushuludin, Istanbul: Madrasah Al-Ilahiyyah.
Romas, Ghofir, 1986. Ilmu Tauhid, Semarang: Badan Penerbit Fak.  Dakwah IAIN Walisongo.


       [1] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Mesir: Darul Fikr, 1996), Cet. 1, Hlm. 143.
       [2] Ibid., Hlm. 144.
       [3] Ibid.
       [4] Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Hlm. 180.
       [5] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., Hlm. 145.
       [6] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986), Cet. 5, Hlm. 23.
       [7] Ibid.
       [8]  Muhammad Abdul Hadi, Op. Cit., Hlm. 182.
        [9] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., Hlm. 146. 
       [10] Ibid.
       [11] Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, (Semarang: Badan Penerbit Fak.  Dakwah IAIN Walisongo, 1986), Hlm. 79
       [12] Harun Nasution, Op. Cit., Hlm. 25.
       [13] Abu Hasan ibn Ismail, Maqolat Al-Islamiyyin Wakhtilaf Al-Musallim, (Konstantinopel: Mathba’ah Al-Daulah, 1930), Hlm. 198.
       [14] Ibnu Hazm, Al-Fisal Fi Al Ahwa’ Wal Nihal, (Kairo: Ali Subeih, 1964), Hlm. 46.
       [15] Harun Nasution, Op. Cit., Hlm. 28
       [16] Ibid.
       [17] Abdul Qahir ibn Thahir, Kitab Ushuludin, (Istanbul: Madrasah Al-Ilahiyyah, 1928), Cet. 249.
       [18] Abu Muhammad Al-Yusr, Kitab Ushuluddin, (Kairo: Hans Peter Linss, 1963), Hlm. 146.  
       [19] Ghofir Romas, Op. Cit., Hlm. 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar