HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Membicarakan peserta didik, sesungguhnya membicarakan
tentang hakekat manusia yang memerlukan bimbingan. Ia juga merupakan salah satu
unsur pendidikan yang mutlak harus wujud di samping pendidik. Undang-undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menjelaskan bahwa
peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya
melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam perspektif pendidikan, termasuk di dalamnya
pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek sekaligus objek pendidikan
yang memerlukan bimbingan orang lain yang disebut pendidik, untuk membantu
mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya
menuju kedewasaan.
II.
POKOK BAHASAN
Di dalam makalah ini, kami akan mencoba memaparkan
tentang:
A.
Makna Peserta Didik
B.
Tugas
dan Kewajiban Peserta Didik
C.
Sifat-Sifat Ideal Peserta Didik
D.
Hakikat
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
III.
PEMBAHASAN
A.
Makna Peserta Didik
Di antara komponen terpenting dalam
pendidikan Islam adalah pesera didik. Dalam perspektif pendidikan Islam,
peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktivitas
kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya.
Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan
dipahami oleh seluruh pihak,
terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa
pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi
pendidik untuk dapat menghantarkan peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan
yang diinginkan.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan)
dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk
Allah yang memiliki fithrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai
taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun perimbangan pada bagian-bagian
lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan
pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[1]
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa
peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan
orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang
dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan
dasar yang dimilikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa
bimbingan pendidik. Karenanya pemahaman yang lebih konkrit tentang peserta
didik sangat perlu diketahui oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan
karena melalui pemahaman tersebut akan membantu pendidik dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya melalui berbagai aktivitas kependidikan.[2]
Anak didik sebagai salah satu komponen pendidikan
di dalamnya merupakan salah satu faktor terpenting dalam terlaksananya proses
pendidikan. Selain sebagai objek manusia juga sebagai subjek dalam pendidikan,
sehingga kedudukannya dalam proses kependidikan menempati posisi urgen sebagai
syarat terjadinya proses pendidikan. Berangkat dari urgensitas pendidikan dalam
membangun sebuah peradaban, maka banyak para kaum intelektual yang mencoba
mengkajinya lebih dalam sampai keakar permasalahannya. Ibn Khaldun, seseorang
yang terkenal sebagai sejarawan, sosiolog, dan juga antropolog, mencoba
mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai anak didik, yang dalam hal ini anak
didik menduduki objek sekaligus subjek dalam pendidikan.
Peserta didik adalah
komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan,
sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan, peserta didik dapat ditinjau dari
berbagai pendekatan, antara lain:
a)
Pendekatan sosial, peserta didik adalah
anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang
lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam lingkungan keluarga,
masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih luas. Peserta didik perlu
disiapkan agar pada waktunya mampu melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan
dapat menyesuaikan diri dari masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai
dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat
sekolah. Dalam konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi dengan rekan
sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah. Dalam
situasi inilah nilai-nilai social yang terbaik dapat ditanamkan secara bertahap
melalui proses pembelajaran dan pengalaman langsung.
b)
Pendekatan Psikologis, peserta didik
adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta didik
memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat, kebutuhan,
social-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu
dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga
terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan
menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri seseorang, yakni
adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan efisiensi. Perkembangan
itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional,
spiritual, yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
c)
Pendekatan edukatif/paedagogis,
pendekatan pendidikan menempatkan peserta didik sebagai unsur penting, yang
memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan
terpadu.[3]
B.
Tugas dan Kewajiban Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat
mencapai tujuan yang diinginkannya, maka setiap peserta didik hendaknya
senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan Fahmi, di
antara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah:
a)
Peserta
didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini
disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan
hati yang bersih.
b)
Memiliki
kemauan yang kuat untuk mencari ilmu di berbagai tempat.
c)
Setiap
peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
d)
Peserta
didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.[4]
Selanjutnya ditambahkan Al-Abrasyi, bahwa di
antara tugas dan kewajiban peserta didik adalah:
a) Sebelum belajar, ia hendaknya terlebih
dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk.
b) Hendaknya bersedia meninggalkan keluarga dan
tanah air untuk mencari ilmu ke tempat yang jauh sekalipun.
c) Jangan melakukan sesuatu aktivitas dalam
belajar kecuali atas petunjuk dan izin pendidik.
d) Mema’afkan guru (pendidik) apabila mereka
bersalah, terutama dalam menggunakan lidahnya.
e) Wajib bersungguh-sungguh dalam mencari
ilmu dan tekun dalam belajar.
f) Peserta didik wajib saling mengasihi dan
menyayangi di antara sesamanya, sebagai wujud untuk memperkuat rasa
persaudaraan.
g) Peserta didik hendaknya senantiasa mengulang
pelajaran dan menyusun jadwal belajar yang baik guna meningkatkan kedisiplinan
belajarnya.
h) Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus
menuntut ilmu sampai akhir hayat.[5]
Kesemua hal di atas cukup penting untuk disadari
oleh setiap peserta didik, sekaligus dijadikan sebagai pegangan dalam menuntut
ilmu. Di samping berbagai pendekatan tersebut, peserta didik hendaknya memiliki
kesiapan dan kesediaan untuk belajar dengan tekun, baik secara fisik maupun
mental. Dengan kesiapan dan kesediaan fisik dan psikis, maka aktivitas
kependidikan yang diikuti akan terlaksana secara efektif-efisien.
C.
Sifat-Sifat Ideal Peserta Didik
Dalam upaya mencapai
tujuan pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri
dan kepribadiannya. Di antara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta
didik misalnya; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang
tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa, dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan sifat
ideal di atas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus dimiliki peserta didik kepada 10
macam sifat, yaitu:
a)
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub
ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa
mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya,
serta berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah (tercela).
b)
Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi
dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua
dimensi kehidupan (dunia-akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan
amanat-Nya, baik secara vetikal
maupun horizontal.
c)
Bersikap
tawadhu’ (rendah hati).
d)
Menjaga
pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan
pendekatan ini, peserta didik akan melihat berbagai pertentangan dan perbedaan
pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacana
intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.
e)
Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
f)
Belajar
secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit)
menuju pelajaran yang sulit (abstrak).
g)
Mempelajari
suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan
cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam.
h)
Memahami
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i)
Memprioritaskan
ilmu diniyyah sebelum memasuki ilmu diniawi.
j)
Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang
dapat bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan serta memberi keselamatan
hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.[6]
D.
Hakikat Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Menurut Langeveld, anak
manusia itu memerlukan pendidikan karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya.
Dalam dunia tasawuf, peserta didik atau murid adalah orang yang menerima
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan
segala perhatian dan usahanya ke arah itu. Peserta didik atau murid di sini ada
tiga tingkat, yaitu:
a)
Mubtadi’ atau pemula, yaitu mereka yang baru
mempelajari syari’at. Jiwanya masih terikat pada kehidupan duniawi.
b)
Mutawasit atau tingkatan menengah, yaitu orang
yang sudah dapat melewati kelas persiapan, telah mempunyai pengetahuan yang
dalam tentang syari’at. Kelas ini sudah mulai memasuki pengetahuan dan alam batiniyah.
Tahap ini adalah tahap belajar dan berlatih mensucikan batin agar tercapai
akhlak yang baik.
c)
Muntahid atau tingkatan atas, yaitu yang telah
matang ilmu syari’atnya, sudah mendalami ilmu batiniyah. Orang yang sudah
mencapai tingkat ini disebut orang arif, yaitu orang yang sudah boleh mendalami
ilmu hakikat.[7]
Perlu diperjelas beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik
dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:
a)
Peserta
didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya
sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka
dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik
dalam aspek metode mengajar , materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang
digunakan, dan lain sebagainya.
b)
Peserta
didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan
pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas
kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang
pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Hal ini sangat beralasan,
karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan
atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c)
Peserta
didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan
jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Di antara kebutuhan tersebut adalah
kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, realisasi diri, dan
lain sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas
kependidikannya dapat berjalan secara baik dan lancar.
d) Peserta didik adalah makhluk Allah yang
memiliki perbedaan individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan
maupun lingkungan di mana ia berada. Pemahaman tentang differensiasi individual
peserta didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini
disebabkan karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik
dalam menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis,
tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok.
e) Peserta didik merupakan resultan dari dua
unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang
menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan.
Sementara unsur rohaniyyah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa.
Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk
mengasah daya intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mem[pertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
Konsep ini bermakna bahwa suatu proses pendidikan Islam hendaknya dilakukan
dengan memandang peserta didik secara utuh. Dalam dataran praktis, pendidikan
Islam tidak hanya mengutamakan pendidikan salah satu aspek saja, melainkan kedua aspek secara integral dan harmonis.
Bila tidak, maka pendidikan tidak akan mampu menciptakan out put yang
memiliki kepribadian utuh, akan tetapi malah sebaliknya yaitu kepribadian yang
ambigu. Bila fenomena ini terjadi dalam praksis pendidikan Islam, maka upaya
untuk menciptakan insan kamil akan hanya sebuah mimpi belaka.
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki
potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di
sini tugas pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan
tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan
tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidah
sawah, peserta didik adalah orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan
sawahnya (potensi). Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas
menyirami dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai
dengan nilai-nilai yang berlaku.[8]
Seluruh pendekatan peserta didik di atas perlu dipahami secara mendalam
oleh setiap pendidik atau komponen yang terlibat dalam proses kependidikan
Islam. Wacana ini dimaksudkan untuk memformat tugas-tugas kependidikan yang
dinamis bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.
IV.
SIMPULAN
Dari uraian makalah kami di atas, dapat disimpulkan
bahwa di antara komponen
terpenting dalam pendidikan Islam adalah pesera didik. Dalam perspektif
pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya,
aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik
di dalamnya. Dalam paradigma
pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini,
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fithrah jasmani
maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan.
V.
PENUTUP
Demikianlah pemaparan makalah dari kami, semoga bisa
membawa manfaat bagi kita semua. Kami mengakui bahwa makalah kami masih banyak
kesalahan, oleh karena itu kami meminta ma’af yang sedalam-dalamnya. Selanjutnya
kritik dan saran dari para saudara tercinta sangat kami butuhkan demi perbaikan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Marimba, Ahmad D., 1989. Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif.
Nizar, Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers.
Fahmi, Asma
Hasan, 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Athiyah Al-Abrasyi, Muhammad, 1970. Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Sulaiman, Fatahiyyah Hasan, 1987. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: CV.
Diponegoro.
Uhbiyati, Nur, dkk., 1997. Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung:
Pustaka Setia.
2. Kualifikasi
Presiden Menurut NU
Mekanisme
asy-syura yang dianut NU tentunya menganut system yang sudah berlaku di
Indonesia yaitu melalui siding umum MPR. Adapun kualifikasi presiden sepenuhnya
diserahkan dalam sidang umum MPR, karena MPR merupakan jelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karenanya MPR sebagai lembaga untuk memilih kepala Negara maka
NU memberikan rambu-rambu terhadap syarat-syarat kepala Negara yaitu harus mempunyai kepribadian yang jujur
(dapat dipercaya) dan mempunyai jiwa keadilan. NU menyebutkan terhadap
kritria-kriteria pemimpin yang pantas menjadi kepala Negara. Hal ini berbentuk
dengan rekomendasi politik yang berbunyi:
“Agar siding umum MPR mampu memilih dan
menetapkan kepemimpinan nasional yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia
masa kini dan masa depan serta mempunyai persyaratan kepemimpinan yang di
syar’iatkan oleh ajaran agama”
Rekomendasi
munas NU di ats mengandung dua pengertian denga kualifikasi presiden ini. Pertama, pemimpin Negara harus sesuai
dengan kebutuhan bangsa. Kedua,
pemimpin Negara harus mempuyai criteria atau syarat-syarat pemimpin menurut
islam. Bagi NU pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan bangsa adalah pemimpin
yang bisa dipercaya. Artinya dia dapat dipercaya oleh rakyat (pemimpin yang
legitimate) tidak melakukan korupsi,penyelewengan-penyelewengan terhadap
kekeyaan Negara dan berkeinginan besar mensejahterakan rakyat kecil.
Criteria
kedua seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat imam dalam hukum islam,
tetunya yang dikehendaki NU adalah islam sunni. Hal terpenting bagi seorang
yang masuk dalam kualifikasi pemimpin adalah kepala Negara yang mempunyai
kekuatan dan kecakapan (al-quwwah) dan pemimpin yang mempunyai integritas yang
tinggi (al-amanah). Kekuatan ini meliputi kekuatan yang berkaitan dengan
kemampuanya, dan kekuatan dari dukungan rakyat.
Syarat kedua adalah pemipin yang mempunyai
integritas yang tinggi. Bagi NU hakikat dari sebuah kekuasaan adalah amanat
dari Allah, oleh karenanya untuk mengemban amnat ini kekuasaab harus diberikan
kepada pemimpin yang mempunyai kemampuan tinggi (berilmu), mempunyai sifat
kejujuran, bersifat adil dan mau berkorban deemi nusa dan bangsa.
Keseluruhan
persyaratan pemimpin yang di paparkan NU jelas bahwa persyaratan pemimpin tidak
dilihat dari jenis kelaminya, namun dari kemampuan dan integritasnya memimpin
bangsa, artinya walaupun perempuan, namun mereka mempunyai kualitas, kapasitas
dan akseptabilitas yang tinggi, wanita di perbolehkan melakukan peran-peran
social, budaya, ekonomi, politik (termasuknya adalah menjadi presiden). Dengan
kedudukan wanita dalam proses system bernegara dan berbangsa telah terbuka
lebar untuk memasuki kawasan-kawasan public. Dengan catatan (bagi NU) harus
tanpa melupakan fungsi kodrati wanita.dengan kata lain tidak terlalu istimewa
kalau hanya memperjuangkan presiden wanita, namun disisi lain di sekeliling
(presiden wanita) tersebut masih banyak dari laki-laki,yang menimbulkan sebuah
kebijakan yang menimbulkan sebuah kebijakan yang merugiakan hak-hak wanita,
sehingga kepentingan wanita senantiasa dirugikan.
ANALISIS
Bagi NU,
permasalahan tentang presiden wanita, merupakan permasalahan khilafiyyah,
artinya NU saling menghargai terhadap pendapat tersebut. Namun yang menjadi
titik penting dalam masalah ini adalah apakah klaim diantara keduanya
melibatkan agama sebagai alat politasi demi untuk memenangkan kepentingan
pribdi mereka, karena permasalahan sangat erat sekali dengan muatan-muatan
politik. Bagi NU yang sudah kenyang dengan trik-trik politik mengingatkan agar
jangan sampai posisi agama dijadikan sebagai politisasi di jadikan sebagai
kepentingan jabatan., pangkat, kedudukan, pangkat dan harta. Sehingga mereka
nantinya akan menghalalkan segala cara yang menimbulkan adanya perpecahan dan
peperangan saudara di antara bangsa sendiri. Ulama NU juga menghimbau kepada
ormas islam untuk senantiasa menghimbau dan mengedepankan kepentingan bangsa
dan jangan sekali-kali memakai tangan Tuhan untuk memploitasi demi kepentingan
pribadi dan meraih ambisi jabatan. Berdasarkan atas dalil dan hukum syari’ah islam
yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin di karena kan
seorang wanita tidak boleh keluar dari rumah, seorang wanita sangat terbatas di
rumah tidak boleh diluar rumah dan mengqiyaskan mengharamkan wanita menjadi
pemimpin dengan ketidak bolehan wanita menjadi hakim.
b �3a g x � ���
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Hartono, 1999. Perkembangan Peserta Didik, Jakarta:
Rineka Cipta.
Desmita, 2005.
Psikologi Perkembangan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hasan,
Purwakania, 2008. Psikologi Perkembangan Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Surya Brata, Sumadi, 2002. Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers.
Sujanto, Agus, 1984. Psikologi perkembangan, Jakarta: Aksara Baru.
Sujanto, Agus, 1984. Psikologi perkembangan, Jakarta: Aksara Baru.
Syamsuddin, Makmun, 2007. Psikologi
Kependidikan Perangkat System Pengajaran Modul, Bandung: Rosdakarya.
Utsman, Muhammad, 2004. Psikologi
dalam Perspektif Hadits, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
AKU SUKA LAGU nya maksih.....
BalasHapus