Minggu, 06 Januari 2013

Ijtihad



IJTIHAD

       I.            PENDAHULUAN
Sesungguhnya  dasar syariat Islam yang sampai kepada kita dengan perantara Rasul terakhir, Muhammad Saw adalah Al-Qur’an. Kemudian beliau menjelaskan Al-qur’an dengan Sunahnya , baik dengan ucapan maupun perbuatan yang  masing-masing saling menguatkan. Maka Al-Qur’an dan As-Sunah kemudian menjadi dasar dalam agama Islam bagi terbentuknya hukum-hukum Syari’at dan menjadi rujukan bagi para Mujtahid (orang yang melakukan Ijtihad) dalam melakukan Istinbath (penetapan hukum)
Sebagaimana telah disepakati oleh Ulama’, meskipun mereka berlainan mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia , baik berupa ibadah, muamalah, pidana,perdata, atau berbagai macam perjanjian, maka semua itu mempunyai hukum  didalam syari’at Islam. Hukum-hukum itu sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada didalam al-Qur’an dan As sunah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash dalam al-Qur’an dan As sunah, akan tetapi syari’at telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, dimana dengan perantaraan dalil dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskan.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Ijtihad dan Macamnya
B.     Pengertian Mujtahid dan Syaratnya
C.     Hukum Ijtihad
D.    Kedudukan Ijtihad
E.     Tingkatan Mujtahid
F.      Salah dan Benar dari Hasil Ijtihad



 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad dan Macamnya
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata Ijtihad seperti dikemukakan Al-Ghozali , biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu , tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal yang ringan, seprti mengangkat sebiji sawi.[1] Kemudian kata Ijtihad dalam istilah ulama’ dikhususkan pada pencurahan kemampuan (yang dilakuakan) oleh seorang ahli fiqhn dalam menggali pengetahuan yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat.[2]
Definisi ijtihad lain yang dikemukakan oleh abu Zahrah adalah mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal , baik untuk mengistimbatkan hokum syara’ maupun dalam penerapannya. Berdasarkan definisi ini , ijtihad terbagi menjadi dua macam yaitu ijtihad untuk membentuk atau mengistimbatkan hokum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya. [3]
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua yaitu ijtihad Fardi dan Ijtihad jama’i. Menurut Al-Thayyib Khuderi Al-Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya , ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar , Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambali.
Sedangkan ijtihad jama’i adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu . dalam sejarah ushul fiqh ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan ulam’-ulama’ dalam satu disiplin ilmu yaitu Fiqh.[4]
Ijtihad Jama’i ialah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah. Hadits yang menjadi sumber adanya Ijtihad Jama’i ialah jawaban Rasulullah kepada Ali Bin Abu Thalib yang menanyakan bagaimana caranya dan apa yang dijadikan dasar untuk member keputusan peristiwa yang tidak ditunjukan hukumnya oleh al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan agar dimusyawarahkan dengan para ahli.[5]
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak  memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
Ø  Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah.
Ø  Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama. Apabila   ada nash  yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain. Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.


B.     Pengertian Mujtahid dan Syaratnya
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkaan hokum dari hokum syari’at) dan tathbiq (penerapan hokum). [6]
Agar seorang Mujtahid dapat berijtihad harus memenuhi 4 syarat.
1)      Menguasai ilmu bahasa arab dengan segala cabangnya. Untuk itu harus ditunjang dengan pengkajian dan  penela’ahan seluk-beluk kesusastraan arab baik yang berbentuk prosa maupun puisi.
2)      Mengetahui Nash-nash al- Qur’an perihal hokum-hukum syariat yang dikandungnya ,ayat-ayat hokum dan cara mengistimbatkan hokum dari padanya. Juga harus menegetahui asbabun Nuzul ,nasikh mansukh, takwil dan tafsir dari ayat-ayat yang hendak di istimbatkan
3)      Mengetahui Nash-nash al- Hadits, yaitu mengetahui hokum syariat yang didatangkamn oleh al-hadits dan mampu mengeluarkan hokum perbuatan orang mukallaf dari padanya. Disamping itu ia harus mengetahui derajat dan nilainya seperti Mutawatir,ahad, shahih, hasan dan dhoif  juga harus mengetahui keadaan perawinya, mana yang tsiqah (terpercaya) hingga dapat digunakan hujjah haditsnya dan mana yang ghoir tsiqah untuk ditolak haditsnya.
4)      Mengetahui Maqashidus Syariah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan kemudharatan dan sanggup mengetahui illat hukum serta bias menganalogi peristiwa dengan peristiwa yang lain. Hal ini diperlakukan agar ia mampu memahami peristiwa-peristiwa dan akhirnya menetapkan hukumnya sesuai dengan Maqoshidus Syariah dan kemaslahatan umum.[7]
Adapun syarat-syarat Mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah sebagai berikut.
·         Mengetahui bahasa arab, karena al-qur’an diturunkan dalam bahasa arab , as-Sunah sebagai penjelas al-Qur’an juga ditulis dalam bahasa arab.
·         Mengetahui nasakh mansukh dalam al-Qur’an
·         Mengetahui sunah baik perkataan, perbuatan, maupun penetapan
·         Mengetahui ijmak dan ikhtilaf
·         Mengetahui qiyas
·         Mengetahui maqhasid as syariah
·         Memiliki pemahaman yang tepat yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu manthiq
·         Memiliki niat yang baik.[8]
Demikian beberapa syarat seorang mujtahid yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin mengembangkan Ijtihad , syarat-syarat tentang penguasaan ayat-ayat hokum yang ada dalam al-Qur’an serta ilmu yang harus melekat padanya seperti nasakh mansukh , lafadz mustaroq ,am dan sebagainya, serta penguasaan masalah-masalah hokum yang ada dalam al-hadits dan penguasaan metodologi istinbat hokum yang diatur dalam ilmu ushul fiqh, semuanya itu menunjukkan bahwa syarat untuk melaksanakan ijtihad harus serba hati-hati , bukan berarti pintu Ijtihad menjadi tertutup , tetapi syarat-syarat menjadi mujtahid harus kualifait dalam bidangnya.[9]
C.    Hukum Ijtihad
Beberapa hukum yang melekat pada praktik Ijtihad :
a)      Wajib ain, bagi orang yang bertanggung jawab atas suatu kasus yang terjadi dan khawatir kehilangan momentumnya, begitu juga jika suatu kasus tertentu sudah terjadi pada seseorang secara pribadi dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b)      Fardhu kifayah, bagi orang yang bertanggung jawab atas suatu kasus hukum yang tidak khawatir kehilangan momentum kasus tersebut dan bagi para Mujtahid lainnya. Apabila semua Mujtahid mengabaikan (tidak merumuskan hukum) kasus tersebut , maka semuanya berdosa dan jika salah seorang dari mereka telah berfatwa tentang kejelasan hukum  kasus tersebut, maka gugurlah tuntutan berijtihad bagi mereka semua.
c)      Sunnah , yaitu ijtihad yang dilakukan untuk merumuskan hukum suatu kasus yang belum terjadi , baik hokum kasus tersebut dimintai pertanggung jawabannya atau tidak.[10]
Ulama’ berpendapat , jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang  berkaitan dengan hokum syara’ ,maka hukum bagi orang itu bias wajib ain, wajib kifayah, sunat atau haram. Bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi criteria mujtahid yang diminta fatwa hokum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash , maka hokum Ijtihad adalah wajib ain
Kedua, bagi seorang Muslim yang  memenuhi criteria mujtahid yang diminta fatwa hokum atassuatu peristiwa yang terjadi , tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hokum ijtihad menjadi wajib kifayah
Ketiga, hokum ijtihad menjadi sunah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi
Keempat, hokum ijtuhad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya  secara Qath’I  baik dalam al-Qur’an maupun As Sunah.[11]
D.    Kedudukan Ijtihad
Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah. Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya. Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk  ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu. Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk  ber-ijtihad
E.     Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijjtihatkan Mujtahid itu terbagi dalam 4 tingkatan.
a)                              Mujtahid fisy Syar’i
Yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syari’at yang hasilnya di ikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijihad. Merekalah yang membangun madzhab-madzhab tertentu. Oleh Karena ijtihad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri , tanpa mencangkok dari pendapat orang lain, maka mereka juga disebut  dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka itu antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik , Imam Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hambal (pendiri madzhab empat), Imam Al Jauzi, Imam Daud Azzh Zhahiri Dan Ja’far Ash Shodiq.
b)                              Mujtahid fil Madzhab
Ialah Mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab sendiri ,akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang Imam madzhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan adalah mujtahid fil madzab Hanafi dan Imam Al Muzani mujtahid fil Madzhab Syafi’i
c)                              Mujtahid fil Masa’il
Ialah Mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu Madzhab bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya Imam al Ghazali mujtahid dalam madzhab syafi’i.
d)                             Mujtahid Muqayyad
Ialah Mujtahid yang yang mengikatkan diri dan menganut pendapat- pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hokum dan dalalah-dalahnya. Mereka mampu menetapkan yang lebih utama didalam pendapat yang berbeda-beda dalam suatu Madzab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Contohnya ar Rafi’I dan an Nawawi mujtahid dalam Madzhab Syafi’i.[12]
F.     Salah dan Benar dari Hasil Ijtihad
Diantara hadits-hadits suci, ikon penunjuk pada ijtihad adalah hadis nabi yang diriwayatkan dalam shahih bukhari, shahih muslim dan lain-lain , “ jika seoarang hakim mengambil suatu keputusan hokum dengan berijtihad , kemudian ternyata ia benar maka ia mendapat pahala ganda, dan jika ia menghukumi dengan ijtihad kemudian ternyata salah/keliru , ia mendapat satu pahala”
Hadits ini tidak hanya membuka pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya ,  akan tetapi ia membuka pintu lebar-lebar  sekaligus mendorong dan mengundang orang untuk memasukinya. Maka ironis kiranya , jika ada orang yang berkoar-koar menyatakan penutupan pintu Ijtihad. Keberadaan hadist ini dmengiming-imingi pegiat ijtihad . sebab hasil ijtihad benar akan mendapat pahala ganda dan yang keliru tetap dijanjikan mendapat satu pahala.[13]
Seorang mujtahid hendaklah mengamalkan hasil Ijtihadnya , baik dalam memutuskan perkara maupun dalam memberikan fatwa. Adapun bagi mujtahid lain tidak wajib mengikutinya. Karena pendapat seorang sepeninggal Rasulullah bukan merupakan hujjah yang harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Hanya saja bagi orang awam yang tidak mempunyai kesanggupan untuk berijtihad , hendaknya mengikutinya.
Sebagai imbalan jerih payah seoarng mujtahid dalam berijtihad , sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi tuhan satu pahala. Akan tetapi , kalau ijtihadnya tepat dan benar ia mendapat pahala ganda.[14]

 IV.            KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah kami di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal , baik untuk mengistimbatkan hokum syara’ maupun dalam penerapannya. Berdasarkan definisi ini , ijtihad terbagi menjadi dua macam yaitu ijtihad untuk membentuk atau mengistimbatkan hokum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya. Diantara syarat-syarat mujtahid adalah:
·      Mengetahui bahasa arab, karena al-qur’an diturunkan dalam bahasa arab, As-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an juga ditulis dalam bahasa arab.
·      Mengetahui nasakh mansukh dalam al-Qur’an
·      Mengetahui sunah baik perkataan, perbuatan, maupun penetapan
·      Mengetahui ijmak dan ikhtilaf
·      Mengetahui qiyas
·      Mengetahui maqhasid as syariah
·      Memiliki pemahaman yang tepat yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu manthiq
·      Memiliki niat yang baik
Ulama’ berpendapat , jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang  berkaitan dengan hokum syara’ ,maka hukum bagi orang itu bias wajib ain, wajib kifayah, sunat atau haram. Bergantung pada kapasitas orang tersebut. Sedangkan tingkatan mujtahid adalah: mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil madzhab, mujtahid fil masail, dan mujtahid muqayyad.
Sebagai imbalan jerih payah seoarng mujtahid dalam berijtihad , sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi tuhan satu pahala. Akan tetapi , kalau ijtihadnya tepat dan benar ia mendapat pahala ganda.

    V.            PENUTUP
Demikianlah pemaparan makalah dari kami, semoga bisa membawa manfaat bagi kita semua. Kami mengakui bahwa makalah kami masih banyak kesalahan, oleh karena itu kami meminta ma’af yang sedalam-dalamnya. Selanjutnya kritik dan saran dari para saudara tercinta sangat kami butuhkan demi perbaikan makalah ini.



























DAFTAR PUSTAKA

Al Khudhari Biek, 2007. Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani.

Ar-Raisuni, Ahmad dan Jamal barut, Muhammad, 2005. Ijtihad Fiqh Islam, Solo : Era Inter Media.

Efendi, Satria, 2005. Ushul fiqh, Jakarta : Kencana.

Farih, Amin, 2008. Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Semarang : Walisongo Press.

Hakim, Atang dan Mubarak, Jaih, 2000. Metodhologi Studi Islam, Bandung : PT. Rosyda Karya.

Yahya, Mukhtar dan Rahim, Fatchur, 1997. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : PT Al Ma’arif.
     



       [1] Satria Efendi, Ushul fiqh, (Jakarta : Kencana, 2005), Hlm. 243                        
       [2] Muhammad Al Khudhari Biek, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), Hlm. 809
       [3] Satria Efendi, Op. Cit., Hlm. 246
       [4] Ibid., Hlm. 258
       [5] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahim, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung : PT Al Ma’arif, 1997),  hlm. 381
       [6] Atang Hakim dan Jaih Mubarak, Metodhologi Studi Islam, (Bandung : PT. Rosyda Karya, 2000), Hlm. 100
       [7] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahim, Op. Cit., Hlm. 382
       [8] Atang Hakim dan Jaih Mubarak, Op. Cit., Hlm. 102
       [9] Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang : Walisongo Press, 2008), Hlm. 135
       [10] Muhammad Al Khudhari Biek, Op. Cit., Hlm. 810
       [11] Atang Hakim dan Jaih Mubarak, Op. Cit., Hlm 105
       [12] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahim, Op. Cit., Hlm. 383-384
       [13] Ahmad Ar-Raisuni dan Muhammad Jamal Barut , Ijtihad Fiqh Islam, (Solo : Era Inter Media, 2005), Hlm. 2
       [14] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahim, Op. Cit., Hlm. 385

Tidak ada komentar:

Posting Komentar