Minggu, 06 Januari 2013

Efektivitas Pendidikan Kedinasan dalam Menghasilkan SDM Profesional



EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KEDINASAN DALAM MENGHASILKAN SDM PROFESIONAL

         I. PENDAHULUAN
        Dunia pendidikan tinggi konventional di tanah air kita sering di kecam sebagai dunia teoritik, sekadar mengembangkan ilmu dan teori, lepas dari konteks dan realita yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sehari-hari.Bahkan R & D yang sesungguhnya berarti Research & Development, untuk kasus di indonesia sering dilecehkan sebagai Rust & Dust, bahkan ada yang tega menyebutkan sebagai Real Dumb.Jenis pendidikan tinggi yang bersifat “Both-And”, bukannya “Either-Or”, yang ditaearkan atas dasar pengalamannya sesama menjalin kerjasama pendidikan antara pihak Departeman Pekerjaan Umum dengan perguruan tinggi negeri seperti UNDIP,ITB, ITS dan lain-lain, sungguh amat tepat untuk diterapkan di indonesia.Sudah saatnya kita bergerak proaktif, menciptakan kecenderungan sebagai trendsetter,tidak sekadar mengikuti arus globalisasi yang notabene berasal dari barat,dan sering tidak bisa digunakan untuk memecahkan masalah spesifik di indonesia serta negara berkembang lainnya.

      II. POKOK BAHASAN
        Dalam makalah ini penulis mengambil point bahasan tentang:
A.  Pengertian Efektivitas
B.   Pengertian Pendidikan Profesional Kedinasan
C.   Indikator Keberhasilan Pendidikan Profesional
D.  Kompetensi Sumber Daya Manusia Profesional
E.   Peningkatan Efektivitas Pendidikan Profesional Kedinasan

  III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Efektivitas
        Sampai saat ini masih ada karancuan pengertian efektivitas, hal ini muncul karena adanya pakar yang memandang efektivitas sebagai produk, dan ada pula yang memandang efektivitas sebaga proses.Namun demikian ada pula sementara pakar yang mengintegrasikan keduanya.Dalam hal ini Mullin menegaskan bahwa efektif itu terkait dengan produk atau output, efektif fokusnya pada mengerjakan sesuatu hal yang benar, sedangkan efisien terkait dengan input dan bagaimana kita mengerjakannya dengan baik dan benar.Oleh karena iti Mullin berpendapat bahwa efektif itu harus terkait dengan pencapaian tujuan dan sasaran suatu tugas atau pekerjaan, dan terkait juga dengan kinerja dari proses pelaksanaan suatu pekerjaan.Steers mengemukakan bahwa pengertian efektivitas organisasi mempunyai arti berbeda bagi setiap orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakainya.Bagi seorang manager produksi, efektivitas seringkali diartikan sebagai kuantitas atau kualitas keluaran  barang atau jasa. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektivitas dijabarkan dengan jumlah paten, penemuan atau produk baru suatu organisasi. Bagi sejumlah sarjana ilmu sosial, efektivitas seringkali ditinjau dari sudut kualitas kehidupan pekerja.[1]
        Adapun efektivitas sebagai suatu proses dikemukakan oleh Yuchman yang menyatakan bahwa efektivitas adalah kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga dengan sepandai mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan operasionalnya.[2] Sementara itu Hoy dan Miskel pada sistem resource  model mendifinisikan efektivitas sebagai kemampuan organisasi menyelamatkan keuntungan posisi tawar dalam lingkungannya dan mengkapitalisasi pada posisi tersebut untuk menciptakan nilai dan sumber berharga.[3] Hersey, Blanchard dan Johnson berpendapat bahwa efektivitas adalah fondasi keberhasilan, sedangkan efisiensi merupakan kondisi minimum penyelamtan setelah sukses diperoleh. Effisiensi berkenan dengan mengerjakan suatu dengan benar, sedangkan efektivitas adalah mengerjakan hal yang benar. Mott berupaya mengakomodasi beberapa manfaat penting untuk memformulasikan model efektivitas secara komprehensif, yakni mengintegarasikan kuantitas dan kualitas produk, effisiensi, adaptasi dan fleksibilitas.[4] Efektivitas itu sendiri paling baik dapat dimengertikan jika dilihat sudut sejauhmana organisasi berhasil mendapkan dan manfaat sumber daya dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan tujuan operasional.[5] Peter Drucker menegaskan: “effectivenes is the foundation of succes, while efficiency is a minimum condition for survival after succes has been achieved”.[6]
        Berdasarkan definisi-difinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian efektivitas mencakup proses atau langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan dengan baik untuk mencapai sasaran organisasi.Atau dengan kata lain, efektivitas mencakup keseluruhan kegiatan input-proses dan output-produk.

B.  Pengertian Pendidikan Profesional Kedinasan
       Kita perlu memahami atau bahkan mendefinisikan kriteria suatu proses pembelajaran yang termasuk kategori pendidikan, oleh karenanya proses pembelajaran yang termasuk salah satu kriteria pendidikan tidak bersifat indoktrinasi. Proses pembelajaran dalam pendidikan harus mencakup aspek knowledge, skill, dan attitude.[7]Sejalan dengan pengertian tersebut, UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional manjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut:”pengertian pendidikan secara umum adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pendidikan profesional dapat juga difahami sebagai proses pembelajaran untuk menghasilkan seorang profesional. Seorang profesional yang dihasilkan oleh proses pendidikan profesional tidak lagi mengerjakan sesuatu secara serampangan atau amatiran, lebih lanjut seorang profesional adalah “He is also one who practices a profession and one who is regarded as an ‘expert’ since he has mastery of a specific branch of learning”[8].
       Oleh karena itu pendidikan professional sangat tepat diberikan dalam kontek pendidikan kedinasan,karena dalam suatu lingkungan kedinasan dituntut keahlian tertentuyang dilandasi dengan values (nilai-nilai) yang harus ditegakkan dalam lingkungan kerja seperti akuntabilitas, profesionalitas, transparansi, dan lain-lain.Pendidikan kedinasan sebenarnya merupakan salah satu cabang dari pendidikan, karena ada beberapa cabang pendidikan sesuai dengan maksud atau tujuannya yakni “careers aducation”, “general aducation”, ”industrial aducation”, social education”, “vocational education”. Dalam pemahaman cabang-cabang pendidikan ini, maka pendidikan kedinasan termasuk cabang pendidikan karir, karena program pendidikan ini sangat mendukung karir karyasiswa setelah menyelesaikan pendidikannya dan kembali ketempat tugas. Kurikulum pendidikan kedinasan didesain sesuai kebutuhan organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi. Atau dengan kata lain untuk memberikan kontribusi bagi upaya peningkatan kinerja organisasi tempat karyasiswa bekerja. Menurut UU No. 20/2003 pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
       Oleh karena itu sebagai contoh pendidikan kedinasan yang diselenggarakan Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan perguruan tinggi  merupakan pendidikan profesi dibidang infrastruktur pekerjaan umum (jalan, jembatan, sumber daya air, perumahan dan permukiman). Pendidikan kedinasan pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen.

C. Indikator Keberhasilan Pendidikan Profesional
       Indikator keberhasilan perguruan tinggi antara lain dapat dilihat dari empat hal sebagai berikut:
1)   Diukur dengan tingkat kegagalan mahasiswa yang rendah.
2)   Presentase mahasiswa yang lulus tinggi.
3)   Indeks prestasi mahasiswa yang tinggi.
4)   Satuan biaya pendidikan bagi setiap mahasiswa yang rendah.[9]
       Indikator keberhasilan tersebut penekanannya pada mahasiswa atau karyasiswa, dan belum mengukur keberhasilan dalam kontek manajemen penyelenggaraannya , keberhasilan tersebut tentunya harus didukung dengan kualitas proses dalam pencapaian tujuan. Keberhasilan proses manajemen pendidikan tinggi ini harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)   Program studi harus diprogramkan dengan baik.
b)   Kurikulum harus relevan dengan pasaran kerja.
c)   Tersedianya staf yang memadai dengan kualitas yang sesuai.
d)  Peralatan pendidikan harus dirawat dengan baik dan dalam kondisi yang siap pakai.
e)   Dana yang mencukupi untuk terlaksananya proses pembelajaran.
f)    Dikelola dengan baik melalui organisasi yang ramping dan gesit.
       Dengan demikian efektivitas penyelenggaraan pendidikan ditunjukkan dengan keberhasilan mencapai ketentuan-ketentuan diatas. Hal ini berarti keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari keberhasilan pencapaian hasil saja (lulusan) tetapi juga perlu dinilai proses pencapaian hasil.Keberhasilan pendidikan minimal dilihat dari tiga komponen utama yakni:
a.    Prestasi, yang meliputi pemerataan pendidikan, tamatan pendidikan yang banyak, mutu pendidikan yang luhur dan relevansi hasil pendidikan.
b.   Suasana pendidikan, yang meliputi kegairahan belajar, semangat kerja yang tinggi dan kepercayaan berbagai pihak.
c.    Ekonomis, yang meliputi biaya pendidikan dibanding dengan hasil pendapatan kerja dan peningkatannya.[10]
       Peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan dapat dilihat paling sedikit dari lima faktor yakni standar akademik, kualitas proses pembelajaran, kualitas dukungan infrastruktur administratif, kualitas keberhasilan peserta didik serta relevansi kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat.[11] Oleh karena itu untuk mencapai keberhasilan penyelenggaraan pendidikan perlu memperhatikan lima hal pula yakni sistem pendidikan tinggi baku sebanding dengan negara maju, proses akreditasi yang tangguh, proses evaluasi diri, pemberian otonomi yang luas dan peningkatan kemitraan.
Dari perspektif tujuan organisasi, nilai keberhasilan atau kegagalan relatif dari organisasi tertentu harus ditentukan dengan membandingkan hasil-hasilnya dengan tujuan organisasi, dan bukan dengan pertimbangan si peneliti.
       Perspektif sistem memusatkan perhatian pada hubungan antara komponen-komponen baik yang terdapat di dalam maupun di luar organisasi, sementara komponen-komponen ini secara bersama-sama mempengaruhi keberhasilan  atau kegagalan organisasi. Perspektif perilaku menekankan bahwa jika kita ingin mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai faktor-faktor penentu efektivitas, kita harus meneliti perilaku pekerja sebagai bagian dari satu unit dasar analisis.[12] Tenaga pengajar yang berkualitas seharusnya memahami seluk-beluk proses belajar mengajar, sehingga dapat mengelola kelas dengan baik untuk mencapai sasaran pembelajaran.[13] Dalam proses pembelajaran harus terjadi ‘human interaction’ antara tenaga pengajar dengan karyasiswa/mahasiswa yang mencakup muatan moralitas.
       Implikasi strategis dari strategi bersaing dalam pengembangan proses pembelajaran, antara lain menempatkan dosen sebagai mitra belajar bagi peserta didik. Oleh karena itu dosen perlu meningkatkan kemampuannya untuk memadukan berbagai metodologi pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman konseptual dan kompetensi praktis secara seimbang.[14]

D. Kompetensi Sumber Daya Manusia Profesional
       Kompetensi dimaksudkan kemampuan secara umum untuk mengerjakan suatu job atau bagian dari sebuah job secara kompeten. Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) yang mengacu pada Australia National Training Agency (ANTA), memberikan pengertian kompetensi sebagai kemampuan yang dilandasi oleh ketrampilan dan pengetahuan yang didukung oleh sikap kerja dan dalam penerapannya mengacu pada unjuk kerja yang disyaratkan. Menurut Model Occupational Skill Standard (MOSS), kompetensi diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan secara efisien dan efektif. Secara spesifik, kompetensi dapat dirinci kedalam beberapa jenis ketrampilan sebagai berikut:
·    Ketrampilan melaksanakan tugas
·    Ketrampilan mengelola tugas
·    Ketrampilan melaksanakan tugas dalam keadaan darurat
·    Ketrampilan melaksanakan tugas dalam kondisi dan lingkungan yang berlainan
       Dalam hal ini ada dua makna kompetensi, yaitu sebagai berikut:
Ø Digunakan untuk merujuk pada area pekerjaan atau peranan yang mampu dilakukan oleh seseorang dengan kompeten. Maka ini bertumpu pada pemahaman yang lebih umum menurut kamus bahasa dan berkaitan dengan jabatan. Tema dalam definisi jenis ini lazim berisi deskripsi tugas-tugas pekerjaan dan output jabatan.
Ø Digunakan untuk merujuk pada dimensi-dimensi perilaku yang terletak dibalik kinerja yang kompeten. Makna ini tumbuh dan berkembang dikalangan peneliti dan konsultan yang berkkecimpung dan mengambil spesialisasi pada upaya-upaya meningkatkan efektivitas manajerial. Tema dalam definisi jenis ini lazim berisi deskripsi mengenai perilaku, sikap, dan karakteristik orang dalam melakukan berbagai tugas pekerjaan untuk menghasilkan output jabatan yang efektif, outstanding atau superior.Banyak definisi kompetensi behavioral sejenis ini merupakan variasi dari sebuah kompetensi jabatan adalah sebuah karakteristik fundamental seseorang yang menghasilkan kinerja efektif dan/atau superior dalam sebuah jabatan hingga seperangkat dimensi perilaku yang melandasi kinerja yang kompeten atau yang setara dengan itu.[15]
       Kendatipun tidak selalu ditaati, telah terbentuk kesepakatan di kalangan para pakar dan praktisi kompetensi mengenai penggunaan istilah competence dan competency. Kompetensi yang beracuan deskripsi tugas-tugas dan output jabatan cenderung disebut competence, sementara kompetensi yang berorientasi pada deskripsi perilaku manusia cenderung dipahami sebagai competency. Pendidikan profesional kedinasan nampaknya merupakan jawaban terhadap persoalan adanya gap kompetensi di tempat tugas, khususnya dalam penyelenggaraan pembangunan bidang pekerjaan umum. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen. Pendidikan kedinasan ini berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai atau lembaga pemerintah non departemen. Istilah profesionalisme merupakan suatu istilah baku di dalam mempersiapkan sumber daya manusia memasuki abad 21 yang penuh persaingan, dan juga profesionalisme bukan hanya sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, tetapi profesionalisme lebih merupakan suatu sikap.
       Karakteristik seorang profesional yaitu dia merasa bangga dengan pekerjaannya dan menunjukkan komitmen personal terhadap kualitas. Dia mempunyai tanggung jawab yang besar, dapat mengantisipasi sehingga dia sangat berinisiatif. Dia ingin menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar peranan yang ditugaskan kepadanya. Dia ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuannya dan meningkatkan kemampuan untuk melayani. Dia itu mendengar kepada kebutuhan para pelanggannya serta dia adalah pemain dalam suatu tim. Dia dapat dipercaya dan jujur, terus terang dan loyal. Selanjutnya dia terbuka terhadap kritik yang konstruktif dan mau meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.[16] Untuk dapat menyelesaikan tugas secara profesional, seseorang harus memiliki:
§ Pengetahuan tentang tugas yang dikerjakan dan bagaimana cara melaksanakan.
§ Sikap atau etos kerja yang diperlukan untuk mengerjakan tugas dengan baik.
§ Keahlian dan ketrampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas.
§ Kondisi mental dan fisik untuk melaksanakan tugas secara efisien dan efektif.[17]
       Khusus profesionalitas PNS sebagai birokrat, paling sedikit ada empat ciri sebagai indikator profesionalitas yakni ilmu, amal, etika dan tanggung jawab. Seorang profesional memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Seorang profesional harus mampu juga mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesama. Disamping itu, seorang profesional harus memiliki ketaatan dalam menjunjung tinggi etika keilmuan dan menghormati nilai-nilai sosial atau norma yang berlaku dimasyarakat. Ciri yang terakhir adalah rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga dan diri sendiri atas segala perilaku dalam mengemban tugas berkaitan dengan penguasaan dan penerapan bidang ilmu yang dimilikinya.
       Ada lima kompetensi yang harus dihasilkan oleh suatu pendidikan profesional, yakni:
ü Kompetensi pengembangan kepribadian peserta didik.
ü Kompetensi keilmuan peserta didik.
ü Kompetensi mentransformasikan gagasan, ide dan pikiran kedalam karya-karya konkrit dan nyata.
ü Mengembangkan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan kreatifitas dan            inovasi serta daya eksplorasi peserta didik.
ü Kompetensi untuk melibatkan diri dan berinteraksi secara aktif dan proaktif dengan masyarakat umum, dunia kerja dan pasar pengguna jasa.[18]

E.  Peningkatan Efektivitas Pendidikan Profesional Kedinasan
       Dalam upaya meningkatkan efektivitas, Kurt Lewin telah memperkenalkan suatu teknik untuk mendiagnosa situasi yakni Force Field Analysis (FFA). Teknik ini sangat bermanfaat untuk mengidentifikasikan variabel-variabel yang involve dalam menentukan efektivitas dan dalam situasi tertentu ada faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi suetu keadaan organisasi (kemitraan) yang memungkinkan berubah.[19] Keseimbangan akan dicapai apabila kekuatan faktor pendorong sama dengan kekuatan faktor penghambat. Dalam upaya melakukan perubahan, perlu mengidentifikasikan berbagai kekuatan eksternal dan kekuatan internal yang dapat menjadi kekuatan pendorong maupun kekuatan penghambat, yakni:
1)   Kekuatan eksternal, antara lain kemajuan teknologi, perubahan pasar, tekanan sosial      politik, dll.
2)   Kekuatan internal, antara lain permasalahan SDM, perilaku/keputusan manajerial, dll.[20]
       Dari keseluruhan strategi tersebut dapat diidentifikasikan “grand strategy” dengan memfokuskan pada pemanfaatan peluang-peluang dan kekuatan yang ada dengan berupaya meminimalkan berbagai kelemahan. Pilihan strategi ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kekuatan faktor pendorong dan faktor penghambat relatif hampir sama.[21]
       Berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya, maka ditetapkan “grand strategy” sebagai berikut:
1.   Meningkatkan pemahaman visi dan misi organisasi masing-masing mitra untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan kerjasama pendidikan.
2.   Meningkatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip pengembangan program kerjasama kemitraan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip “Good Governance”.
3.   Meningkatkan pemahaman atas peraturan-peraturan terkait dengan manajemen pendidikan yang berlandaskan kerjasama kemitraan, kriteria penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan kebutuhan peningkatan kompetensi dari stakeholders sesuai dengan prinsip-prinsip.
4.   Melibatkan seluruh stakeholders termasuk assosiasi profesi untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kerjasama penyelenggaraan pendidikan professional kedinasan.
5.   Optimalisasi sumber daya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pendidikan professional kedinasan.
6.   Melakukan kajian kebutuhan program studi dan peningkatan kualitas kurikulum masing-masing program studi.

  IV. KESIMPULAN
       Jadi, pengertian efektivitas mencakup keseluruhan kegiatan input-proses dan output-produk, sedangkan pengertian pendidikan secara umum mrnurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Sedangkan indikator keberhasilan pendidikan professional dapat dilihat dari empat hal yaitu: 1) diukur dengan tingkat kegagalan mahasiswa yang rendah; 2) presentase mahasiswa yang lulus tinggi; 3) indeks prestasi mahasiswa yang tinggi; 4) satuan biaya pendidikan bagi setiap mahasiswa yang rendah. Sedangkan kompetensi, secara spesifik dapat dirinci kedalam beberapa jenis ketrampilan yaitu: Task Skill, Task Management Skill, Contigency Task Skill dan Job Environmental Skill. Lalu dalam upaya meningkatkan efektivitas, Kurt Lewin telah memperkenalkan suatu teknik untuk mendiagnosa situasi yakni Force Field Analysis. Teknik ini sangat bermanfaat untuk mengidentifikasikan variable-variabel yang involve dalam menentukan efektivitas.

      V. PENUTUP
       Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan,kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekeliruan,untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AAMIIN.  














DAFTAR PUSTAKA

Brojonegoro, S. S., Pendidikan Tinggi dan Profesionalisme, Jurnal Ilmiah Kajian                                                       Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balitbang, 1998.
Drucker, Peter, Management: Task, Responsibilities, Practices, New York: Harper & Row, 1995.
Engkoswara, Kecenderungan Kehidupan di Indonesia Menjelang Tahun 2000 dan Implikasinya Terhadap Sistem Pendidikan, Jakarta: Intermedia, 1996.
Hersey, Paul, Management of Organizational Behaviour, Utilizing Human Resources, London: Kogen Page, 1993.
Hoy, Miskel, Educational Administration: Theory, Research and Practice, New York: Random House, 1998.
Jarvis, Peter, Professional Education, London: Croom Helm, 2001.
Kreitner, R., Organizational Behavior, Florida: Lucie Press, 1999.
Partowijoto, Ahmad, Kompetensi, Profesionalisme dan Etika Profesi, Jakarta: Binarupa Aksara, 2004.
Rahardi, Kunjana, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Implementasinya Pada Pendidikan Tinggi Jalur Profesional, Yogyakarta: Universitas Atmi Jaya, 2002.
Rukmana, Nana, Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan, Jakarta: LP3ES, 1999.
Steers, Richard, Organizational Effectiveness A Behavioral View, Calivornia: Goodyear Publishing Company, 2005.
Sufyarma, M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003.
Tilaar, H. A. R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.













       [1] R. M. Steers, Organizational Effectiveness A Behavioral View, (London: Pitman,1997), Hlm. 1.
       [2] Ibid., Hlm. 5.
       [3] Miskel Hoy, Educational Administration: Theory, Research and Practice, (New York: Random House, 1998), Hlm. 320.
       [4] Ibid., Hlm. 205.
       [5] R. M. Steers, Op. Cit., Hlm. 341.
       [6] Peter Drucker, Management: Task, Responsibilities, Practices, (New York: Harper & Row, 1993), Cet. 4, Hlm. 45.
       [7] Peter Jarvis, Professional Education, (London: Croom Helm, 2001), Cet. 3, Hlm.5.
       [8] Ibid., Hlm. 27.
       [9] M. Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), Cet. 6, Hlm.169.
       [10] Engkoswara, Kecenderungan Kehidupan di Indonesia Menjelang Tahun 2000 dan Implikasinya Terhadap Sistem Pendidikan, (Jakarta: Intermedia, 1998), Hlm.81.
       [11] S. S. Brojonegoro, Pendidikan Tinggi dan Profesionalisme, Jurnal Ilmiah Kajian Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang, 1998), Hlm. 61.  
       [12] R. M. Steers, Op. Cit., Hlm. 208-209.
       [13] Peter Jarvis, Op. Cit., Hlm.120.
       [14] M. Sufyarma, Loc. Cit.
       [15] Saiful F. Prihadi, Assesment Centre, Identifikasi, Pengukuran dan Pengembangan Kompetensi, (Jakarta: Pustaka Utama, 2004), Hlm. 84-85.
       [16] H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 8, Hlm. 180.
       [17] Ahmad Partowijoto, Kompetensi, Profesionalisme dan Etika Profesi, (Bandung: Rosda Karya, 2004), Cet. 3, Hlm. 5.
       [18] Kunjana Rahardi, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Implementasinya Pada Pendidikan Tinggi Jalur Profesional, (Yogyakarta: Atma Jaya, 2002), Cet. 10, Hlm. 162.
       [19] Nana Rukmana, Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan,(Jakarta: LP3ES, 1993), Cet. 7, Hlm.44.
       [20] R. Kreitner, Organizational Behaviour, (Florida: Lucie Press, 2007), Cet. 11, Hlm. 728.
       [21] Paul H., Dkk., Management of Organizational Behaviour, Utilizing Human Resources, (London: Kogen Page, 1993), Hlm. 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar