EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KEDINASAN DALAM MENGHASILKAN SDM
PROFESIONAL
I. PENDAHULUAN
Dunia pendidikan tinggi konventional di
tanah air kita sering di kecam sebagai dunia teoritik, sekadar mengembangkan
ilmu dan teori, lepas dari konteks dan realita yang dihadapi rakyat dalam
kehidupan sehari-hari.Bahkan R & D yang sesungguhnya berarti Research &
Development, untuk kasus di indonesia sering dilecehkan sebagai Rust &
Dust, bahkan ada yang tega menyebutkan sebagai Real Dumb.Jenis pendidikan
tinggi yang bersifat “Both-And”, bukannya “Either-Or”, yang
ditaearkan atas dasar pengalamannya sesama menjalin kerjasama pendidikan antara
pihak Departeman Pekerjaan Umum dengan perguruan tinggi negeri seperti
UNDIP,ITB, ITS dan lain-lain, sungguh amat tepat untuk diterapkan di
indonesia.Sudah saatnya kita bergerak proaktif, menciptakan kecenderungan sebagai
trendsetter,tidak sekadar mengikuti arus globalisasi yang notabene berasal dari
barat,dan sering tidak bisa digunakan untuk memecahkan masalah spesifik di
indonesia serta negara berkembang lainnya.
II. POKOK
BAHASAN
Dalam makalah ini penulis mengambil
point bahasan tentang:
A. Pengertian
Efektivitas
B. Pengertian
Pendidikan Profesional Kedinasan
C. Indikator
Keberhasilan Pendidikan Profesional
D. Kompetensi Sumber
Daya Manusia Profesional
E. Peningkatan
Efektivitas Pendidikan Profesional Kedinasan
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Efektivitas
Sampai saat ini masih ada karancuan
pengertian efektivitas, hal ini muncul karena adanya pakar yang memandang
efektivitas sebagai produk, dan ada pula yang memandang efektivitas sebaga
proses.Namun demikian ada pula sementara pakar yang mengintegrasikan keduanya.Dalam
hal ini Mullin menegaskan bahwa efektif itu terkait dengan produk atau output,
efektif fokusnya pada mengerjakan sesuatu hal yang benar, sedangkan efisien
terkait dengan input dan bagaimana kita mengerjakannya dengan baik dan
benar.Oleh karena iti Mullin berpendapat bahwa efektif itu harus terkait dengan
pencapaian tujuan dan sasaran suatu tugas atau pekerjaan, dan terkait juga
dengan kinerja dari proses pelaksanaan suatu pekerjaan.Steers mengemukakan
bahwa pengertian efektivitas organisasi mempunyai arti berbeda bagi setiap
orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakainya.Bagi seorang manager
produksi, efektivitas seringkali diartikan sebagai kuantitas atau kualitas
keluaran barang atau jasa. Bagi seorang
ilmuwan bidang riset, efektivitas dijabarkan dengan jumlah paten, penemuan atau
produk baru suatu organisasi. Bagi sejumlah sarjana ilmu sosial, efektivitas
seringkali ditinjau dari sudut kualitas kehidupan pekerja.[1]
Adapun efektivitas sebagai suatu proses
dikemukakan oleh Yuchman yang menyatakan bahwa efektivitas adalah kapasitas
suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan
berharga dengan sepandai mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan
operasionalnya.[2]
Sementara itu Hoy dan Miskel pada sistem resource model mendifinisikan efektivitas sebagai
kemampuan organisasi menyelamatkan keuntungan posisi tawar dalam lingkungannya
dan mengkapitalisasi pada posisi tersebut untuk menciptakan nilai dan sumber
berharga.[3] Hersey,
Blanchard dan Johnson berpendapat bahwa efektivitas adalah fondasi
keberhasilan, sedangkan efisiensi merupakan kondisi minimum penyelamtan setelah
sukses diperoleh. Effisiensi berkenan dengan mengerjakan suatu dengan benar,
sedangkan efektivitas adalah mengerjakan hal yang benar. Mott berupaya
mengakomodasi beberapa manfaat penting untuk memformulasikan model efektivitas
secara komprehensif, yakni mengintegarasikan kuantitas dan kualitas produk,
effisiensi, adaptasi dan fleksibilitas.[4] Efektivitas
itu sendiri paling baik dapat dimengertikan jika dilihat sudut sejauhmana
organisasi berhasil mendapkan dan manfaat sumber daya dalam usahanya mengejar
tujuan operasi dan tujuan operasional.[5]
Peter Drucker menegaskan: “effectivenes is the foundation of succes, while
efficiency is a minimum condition for survival after succes has been achieved”.[6]
Berdasarkan definisi-difinisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pengertian efektivitas mencakup proses atau
langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan dengan baik untuk mencapai
sasaran organisasi.Atau dengan kata lain, efektivitas mencakup keseluruhan kegiatan
input-proses dan output-produk.
B.
Pengertian
Pendidikan Profesional Kedinasan
Kita perlu memahami atau bahkan
mendefinisikan kriteria suatu proses pembelajaran yang termasuk kategori
pendidikan, oleh karenanya proses pembelajaran yang termasuk salah satu
kriteria pendidikan tidak bersifat indoktrinasi. Proses pembelajaran dalam
pendidikan harus mencakup aspek knowledge, skill, dan attitude.[7]Sejalan
dengan pengertian tersebut, UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
manjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut:”pengertian pendidikan secara
umum adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pendidikan profesional dapat juga
difahami sebagai proses pembelajaran untuk menghasilkan seorang profesional. Seorang
profesional yang dihasilkan oleh proses pendidikan profesional tidak lagi
mengerjakan sesuatu secara serampangan atau amatiran, lebih lanjut seorang
profesional adalah “He is also one who practices a profession and one who is
regarded as an ‘expert’ since he has mastery of a specific branch of
learning”[8].
Oleh karena itu pendidikan professional sangat tepat
diberikan dalam kontek pendidikan kedinasan,karena dalam suatu lingkungan
kedinasan dituntut keahlian tertentuyang dilandasi dengan values (nilai-nilai)
yang harus ditegakkan dalam lingkungan kerja seperti akuntabilitas,
profesionalitas, transparansi, dan lain-lain.Pendidikan kedinasan sebenarnya
merupakan salah satu cabang dari pendidikan, karena ada beberapa cabang
pendidikan sesuai dengan maksud atau tujuannya yakni “careers aducation”,
“general aducation”, ”industrial aducation”, social education”, “vocational
education”. Dalam pemahaman cabang-cabang pendidikan ini, maka
pendidikan kedinasan termasuk cabang pendidikan karir, karena program
pendidikan ini sangat mendukung karir karyasiswa setelah menyelesaikan
pendidikannya dan kembali ketempat tugas. Kurikulum pendidikan kedinasan
didesain sesuai kebutuhan organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Atau dengan kata lain untuk memberikan kontribusi bagi upaya peningkatan
kinerja organisasi tempat karyasiswa bekerja. Menurut UU No. 20/2003 pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen
atau lembaga pemerintah non departemen.
Oleh karena itu sebagai contoh
pendidikan kedinasan yang diselenggarakan Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama
dengan perguruan tinggi merupakan
pendidikan profesi dibidang infrastruktur pekerjaan umum (jalan, jembatan,
sumber daya air, perumahan dan permukiman). Pendidikan kedinasan pada dasarnya
berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan tugas
kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga
pemerintah non departemen.
C.
Indikator
Keberhasilan Pendidikan Profesional
Indikator
keberhasilan perguruan tinggi antara lain dapat dilihat dari empat hal sebagai
berikut:
1)
Diukur
dengan tingkat kegagalan mahasiswa yang rendah.
2)
Presentase
mahasiswa yang lulus tinggi.
3)
Indeks
prestasi mahasiswa yang tinggi.
4)
Satuan
biaya pendidikan bagi setiap mahasiswa yang rendah.[9]
Indikator
keberhasilan tersebut penekanannya pada mahasiswa atau karyasiswa, dan belum
mengukur keberhasilan dalam kontek manajemen penyelenggaraannya , keberhasilan
tersebut tentunya harus didukung dengan kualitas proses dalam pencapaian
tujuan. Keberhasilan proses manajemen pendidikan tinggi ini harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Program
studi harus diprogramkan dengan baik.
b)
Kurikulum
harus relevan dengan pasaran kerja.
c)
Tersedianya
staf yang memadai dengan kualitas yang sesuai.
d)
Peralatan
pendidikan harus dirawat dengan baik dan dalam kondisi yang siap pakai.
e)
Dana
yang mencukupi untuk terlaksananya proses pembelajaran.
f)
Dikelola
dengan baik melalui organisasi yang ramping dan gesit.
Dengan
demikian efektivitas penyelenggaraan pendidikan ditunjukkan dengan keberhasilan
mencapai ketentuan-ketentuan diatas. Hal ini berarti keberhasilan pendidikan
tidak hanya diukur dari keberhasilan pencapaian hasil saja (lulusan) tetapi
juga perlu dinilai proses pencapaian hasil.Keberhasilan pendidikan minimal
dilihat dari tiga komponen utama yakni:
a.
Prestasi,
yang meliputi pemerataan pendidikan, tamatan pendidikan yang banyak, mutu
pendidikan yang luhur dan relevansi hasil pendidikan.
b.
Suasana
pendidikan, yang meliputi kegairahan belajar, semangat kerja yang tinggi dan
kepercayaan berbagai pihak.
c.
Ekonomis,
yang meliputi biaya pendidikan dibanding dengan hasil pendapatan kerja dan
peningkatannya.[10]
Peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan dapat dilihat paling sedikit dari lima faktor
yakni standar akademik, kualitas proses pembelajaran, kualitas dukungan
infrastruktur administratif, kualitas keberhasilan peserta didik serta
relevansi kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat.[11]
Oleh karena itu untuk mencapai keberhasilan penyelenggaraan pendidikan perlu
memperhatikan lima hal pula yakni sistem pendidikan tinggi baku sebanding
dengan negara maju, proses akreditasi yang tangguh, proses evaluasi diri,
pemberian otonomi yang luas dan peningkatan kemitraan.
Dari perspektif tujuan organisasi, nilai keberhasilan
atau kegagalan relatif dari organisasi tertentu harus ditentukan dengan
membandingkan hasil-hasilnya dengan tujuan organisasi, dan bukan dengan
pertimbangan si peneliti.
Perspektif
sistem memusatkan perhatian pada hubungan antara komponen-komponen baik yang
terdapat di dalam maupun di luar organisasi, sementara komponen-komponen ini
secara bersama-sama mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan organisasi. Perspektif perilaku menekankan bahwa jika
kita ingin mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai faktor-faktor penentu
efektivitas, kita harus meneliti perilaku pekerja sebagai bagian dari satu unit
dasar analisis.[12]
Tenaga pengajar yang berkualitas seharusnya memahami seluk-beluk proses belajar
mengajar, sehingga dapat mengelola kelas dengan baik untuk mencapai sasaran
pembelajaran.[13]
Dalam proses pembelajaran harus terjadi ‘human interaction’ antara
tenaga pengajar dengan karyasiswa/mahasiswa yang mencakup muatan moralitas.
Implikasi
strategis dari strategi bersaing dalam pengembangan proses pembelajaran, antara
lain menempatkan dosen sebagai mitra belajar bagi peserta didik. Oleh karena
itu dosen perlu meningkatkan kemampuannya untuk memadukan berbagai metodologi pembelajaran
dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman konseptual dan kompetensi praktis
secara seimbang.[14]
D.
Kompetensi
Sumber Daya Manusia Profesional
Kompetensi
dimaksudkan kemampuan secara umum untuk mengerjakan suatu job atau bagian dari
sebuah job secara kompeten. Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) yang
mengacu pada Australia National Training Agency (ANTA), memberikan pengertian
kompetensi sebagai kemampuan yang dilandasi oleh ketrampilan dan pengetahuan
yang didukung oleh sikap kerja dan dalam penerapannya mengacu pada unjuk kerja
yang disyaratkan. Menurut Model Occupational Skill Standard (MOSS), kompetensi
diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan secara
efisien dan efektif. Secara spesifik, kompetensi dapat dirinci kedalam beberapa
jenis ketrampilan sebagai berikut:
·
Ketrampilan melaksanakan tugas
·
Ketrampilan mengelola tugas
·
Ketrampilan melaksanakan tugas dalam keadaan
darurat
·
Ketrampilan melaksanakan tugas dalam kondisi
dan lingkungan yang berlainan
Dalam hal ini ada dua makna kompetensi,
yaitu sebagai berikut:
Ø Digunakan untuk merujuk pada area pekerjaan atau peranan
yang mampu dilakukan oleh seseorang dengan kompeten. Maka ini bertumpu pada
pemahaman yang lebih umum menurut kamus bahasa dan berkaitan dengan jabatan.
Tema dalam definisi jenis ini lazim berisi deskripsi tugas-tugas pekerjaan dan
output jabatan.
Ø Digunakan untuk merujuk pada dimensi-dimensi perilaku
yang terletak dibalik kinerja yang kompeten. Makna ini tumbuh dan berkembang
dikalangan peneliti dan konsultan yang berkkecimpung dan mengambil spesialisasi
pada upaya-upaya meningkatkan efektivitas manajerial. Tema dalam definisi jenis
ini lazim berisi deskripsi mengenai perilaku, sikap, dan karakteristik orang
dalam melakukan berbagai tugas pekerjaan untuk menghasilkan output jabatan yang
efektif, outstanding atau superior.Banyak definisi kompetensi behavioral
sejenis ini merupakan variasi dari sebuah kompetensi jabatan adalah sebuah
karakteristik fundamental seseorang yang menghasilkan kinerja efektif dan/atau
superior dalam sebuah jabatan hingga seperangkat dimensi perilaku yang
melandasi kinerja yang kompeten atau yang setara dengan itu.[15]
Kendatipun tidak selalu ditaati, telah
terbentuk kesepakatan di kalangan para pakar dan praktisi kompetensi mengenai
penggunaan istilah competence dan competency. Kompetensi yang beracuan
deskripsi tugas-tugas dan output jabatan cenderung disebut competence,
sementara kompetensi yang berorientasi pada deskripsi perilaku manusia
cenderung dipahami sebagai competency. Pendidikan profesional kedinasan
nampaknya merupakan jawaban terhadap persoalan adanya gap kompetensi di tempat
tugas, khususnya dalam penyelenggaraan pembangunan bidang pekerjaan umum.
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
departemen atau lembaga pemerintah non departemen. Pendidikan kedinasan ini
berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan tugas
kedinasan bagi pegawai atau lembaga pemerintah non departemen. Istilah
profesionalisme merupakan suatu istilah baku di dalam mempersiapkan sumber daya
manusia memasuki abad 21 yang penuh persaingan, dan juga profesionalisme bukan
hanya sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, tetapi profesionalisme lebih
merupakan suatu sikap.
Karakteristik seorang profesional yaitu
dia merasa bangga dengan pekerjaannya dan menunjukkan komitmen personal terhadap
kualitas. Dia mempunyai tanggung jawab yang besar, dapat mengantisipasi
sehingga dia sangat berinisiatif. Dia ingin menyelesaikan pekerjaan dengan
tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar peranan yang ditugaskan
kepadanya. Dia ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuannya dan
meningkatkan kemampuan untuk melayani. Dia itu mendengar kepada kebutuhan para
pelanggannya serta dia adalah pemain dalam suatu tim. Dia dapat dipercaya dan
jujur, terus terang dan loyal. Selanjutnya dia terbuka terhadap kritik yang
konstruktif dan mau meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.[16]
Untuk dapat menyelesaikan tugas secara profesional, seseorang harus memiliki:
§ Pengetahuan tentang tugas yang dikerjakan dan bagaimana
cara melaksanakan.
§ Sikap atau etos kerja yang diperlukan untuk mengerjakan
tugas dengan baik.
§ Keahlian dan ketrampilan yang diperlukan untuk
melaksanakan berbagai tugas.
§ Kondisi mental dan fisik untuk melaksanakan tugas secara
efisien dan efektif.[17]
Khusus profesionalitas PNS sebagai
birokrat, paling sedikit ada empat ciri sebagai indikator profesionalitas yakni
ilmu, amal, etika dan tanggung jawab. Seorang profesional memiliki penguasaan
ilmu pengetahuan dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. Seorang profesional harus mampu juga mengamalkan ilmunya untuk
kepentingan sesama. Disamping itu, seorang profesional harus memiliki ketaatan
dalam menjunjung tinggi etika keilmuan dan menghormati nilai-nilai sosial atau
norma yang berlaku dimasyarakat. Ciri yang terakhir adalah rasa tanggung jawab
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga dan
diri sendiri atas segala perilaku dalam mengemban tugas berkaitan dengan
penguasaan dan penerapan bidang ilmu yang dimilikinya.
Ada lima kompetensi yang harus
dihasilkan oleh suatu pendidikan profesional, yakni:
ü Kompetensi pengembangan kepribadian peserta didik.
ü Kompetensi keilmuan peserta didik.
ü Kompetensi mentransformasikan gagasan, ide dan pikiran
kedalam karya-karya konkrit dan nyata.
ü Mengembangkan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan
kreatifitas dan inovasi serta
daya eksplorasi peserta didik.
ü Kompetensi untuk melibatkan diri dan berinteraksi secara
aktif dan proaktif dengan masyarakat umum, dunia kerja dan pasar pengguna jasa.[18]
E.
Peningkatan
Efektivitas Pendidikan Profesional Kedinasan
Dalam upaya meningkatkan efektivitas,
Kurt Lewin telah memperkenalkan suatu teknik untuk mendiagnosa situasi yakni
Force Field Analysis (FFA). Teknik ini sangat bermanfaat untuk mengidentifikasikan
variabel-variabel yang involve dalam menentukan efektivitas dan dalam situasi
tertentu ada faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi suetu
keadaan organisasi (kemitraan) yang memungkinkan berubah.[19]
Keseimbangan akan dicapai apabila kekuatan faktor pendorong sama dengan
kekuatan faktor penghambat. Dalam upaya melakukan perubahan, perlu
mengidentifikasikan berbagai kekuatan eksternal dan kekuatan internal yang
dapat menjadi kekuatan pendorong maupun kekuatan penghambat, yakni:
1)
Kekuatan
eksternal, antara lain kemajuan teknologi, perubahan pasar, tekanan sosial politik, dll.
2)
Kekuatan
internal, antara lain permasalahan SDM, perilaku/keputusan manajerial, dll.[20]
Dari
keseluruhan strategi tersebut dapat diidentifikasikan “grand strategy”
dengan memfokuskan pada pemanfaatan peluang-peluang dan kekuatan yang ada
dengan berupaya meminimalkan berbagai kelemahan. Pilihan strategi ini
ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kekuatan faktor pendorong dan faktor
penghambat relatif hampir sama.[21]
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangannya, maka ditetapkan “grand strategy” sebagai
berikut:
1.
Meningkatkan pemahaman visi dan misi
organisasi masing-masing mitra untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan
kerjasama pendidikan.
2.
Meningkatkan pemahaman tentang
prinsip-prinsip pengembangan program kerjasama kemitraan yang berlandaskan pada
prinsip-prinsip “Good Governance”.
3.
Meningkatkan pemahaman atas
peraturan-peraturan terkait dengan manajemen pendidikan yang berlandaskan
kerjasama kemitraan, kriteria penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan
kebutuhan peningkatan kompetensi dari stakeholders sesuai dengan
prinsip-prinsip.
4.
Melibatkan seluruh stakeholders termasuk
assosiasi profesi untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kerjasama
penyelenggaraan pendidikan professional kedinasan.
5.
Optimalisasi sumber daya untuk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pendidikan professional kedinasan.
6.
Melakukan kajian kebutuhan program studi
dan peningkatan kualitas kurikulum masing-masing program studi.
IV. KESIMPULAN
Jadi, pengertian
efektivitas mencakup keseluruhan kegiatan input-proses dan output-produk,
sedangkan pengertian pendidikan secara umum mrnurut UU RI No. 20 Tahun 2003
Pasal 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Sedangkan indikator keberhasilan
pendidikan professional dapat dilihat dari empat hal yaitu: 1) diukur dengan
tingkat kegagalan mahasiswa yang rendah; 2) presentase mahasiswa yang lulus
tinggi; 3) indeks prestasi mahasiswa yang tinggi; 4) satuan biaya pendidikan bagi
setiap mahasiswa yang rendah. Sedangkan kompetensi, secara spesifik dapat
dirinci kedalam beberapa jenis ketrampilan yaitu: Task Skill, Task Management
Skill, Contigency Task Skill dan Job Environmental Skill. Lalu dalam upaya
meningkatkan efektivitas, Kurt Lewin telah memperkenalkan suatu teknik untuk
mendiagnosa situasi yakni Force Field Analysis. Teknik ini sangat bermanfaat
untuk mengidentifikasikan variable-variabel yang involve dalam menentukan
efektivitas.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan,kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekeliruan,untuk itu kami membutuhkan
kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun.Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. AAMIIN.
DAFTAR PUSTAKA
Brojonegoro,
S. S., Pendidikan
Tinggi dan Profesionalisme, Jurnal Ilmiah Kajian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balitbang, 1998.
Drucker, Peter, Management:
Task, Responsibilities, Practices, New York:
Harper & Row, 1995.
Engkoswara, Kecenderungan
Kehidupan di Indonesia Menjelang Tahun 2000 dan Implikasinya Terhadap Sistem
Pendidikan, Jakarta: Intermedia, 1996.
Hersey, Paul, Management of
Organizational Behaviour, Utilizing Human Resources, London: Kogen Page, 1993.
Hoy, Miskel, Educational Administration: Theory, Research and
Practice, New York: Random House, 1998.
Jarvis,
Peter, Professional Education, London: Croom Helm, 2001.
Kreitner, R., Organizational Behavior, Florida: Lucie Press, 1999.
Partowijoto,
Ahmad, Kompetensi, Profesionalisme
dan Etika Profesi, Jakarta:
Binarupa Aksara, 2004.
Rahardi, Kunjana, Kurikulum
Berbasis Kompetensi dan Implementasinya Pada Pendidikan Tinggi Jalur Profesional, Yogyakarta: Universitas Atmi
Jaya, 2002.
Rukmana,
Nana, Manajemen
Pembangunan Prasarana Perkotaan, Jakarta: LP3ES, 1999.
Steers, Richard, Organizational
Effectiveness A Behavioral View,
Calivornia: Goodyear Publishing Company, 2005.
Sufyarma, M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2003.
Tilaar, H. A. R., Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar