Minggu, 06 Januari 2013

Pendidikan Kesabaran


Pendidikan Kesabaran
       I.            PENDAHULUAN
Kisah para nabi adalah realitas hidup yang maha berat. Nabi Ayyub AS, misalnya, mendapat ujian berat berupa penyakit kulit. Sedemikian parahnya penyakit itu hingga berulat, sampai istrinya sendiri meninggalkannya karena jijik. Bertahun-tahun lamanya ia hidup menderita, namun tak sedikit pun mengurangi keimanannya kepada Allah. Bentuk ujian lain dialami Nabi Sulaiman AS. Beliau diuji dengan kenikmatan yang melimpah ruah. Beliau mengerti bahasa burung, memahami gerak-gerik semut, serta mampu mengerahkan balatentara jin dan manusia untuk membangun kekuasaan dan istananya (QS Alnaml [27]: 16-18). Tapi, beliau tetap ingat kepada Allah dengan mengakui, ''Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari akan (nikmat-Nya).'' (QS Alnaml [27]: 40). Keimanan dan ketakwaan para nabi yang demikian sempurna merupakan teladan hingga diwasiatkan oleh Alquran dengan pernyataan tulus,Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un: (Sungguh, kita ini milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali). Ungkapan dan sikap tulus seperti ini hendaknya tidak hanya kita ucapkan tatkala terkena musibah, melainkan juga saat menerima kenikmatan dan amanah. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Umar ibn Abdul Aziz ketika diangkat menjadi khalifah adalah Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Sebuah pernyataan sikap bahwa amanah itu berasal dari Allah dan harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Dengan demikian, setiap ujian bagi Mukmin merupakan pendidikan kesabaran, sekaligus pendidikan kesyukuran.

    II.            POKOK BAHASAN
Di makalah ini, penulis akan membahas mengenai 3 pokok bahasan, yaitu:
A.    Definisi Sabar
B.     Definisi Syukur
C.     Hadits-Hadits Pendidikan Kesabaran

 III.            PEMBAHASAN
A.    Definisi Sabar
Asal kata sabar adalah “Shobaro”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “Shabran”. Secara bahasa mempunyai pengertian menahan atas segala beban yang ada. Adapun secara istilah, memiliki cakupan atas 3 pembahasan, yaitu:
1)      Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.
Salah satu contohnya adalah dalam beribadah dapat di-implementasikan dengan bentuk melawan dan memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan shalat secara berjamaah, dengan menghadirkan hati untuk tidak bersikap ‘ujub, riya atau pun cari popularitas lainnya. Karena keikhlasan dalam beribadah merupakan syarat mutlak untuk diterimanya semua amalan yang kita lakukan, dan kelak pahalanya seseorang yang mampu dan selalu bersabar di dalam menjaga ketaatannya adalah setara dengan 600 derajat di hadapan Allah SWT.
2)      Sabar dalam usaha untuk menjauhi maksiyat.
Sabar  sesungguhnya mempunyai dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan. Dalam berjihad, sabar dapat dibuktikan dengan melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk dengan santai dan tenang di rumah.
Selain daripada itu, berusaha menjauhi maksiyat berarti selalu berupaya menjaga dalam setiap aktivitas seperti harus menjaga lidah kita dari perbuatan ghibah, ataupun mencela orang lain. Derajat kemulyaan seseorang yang mampu berbuat sabar, kelak Allah lipatkan sebanyak  900 derajat, dan ini derajat tertinggi di antara kesabaran dalam menjalankan ketaatan ataupun sabar ketika sedang di uji oleh Allah SWT.
3)      Sabar disaat sedang dalam menghadapi musibah.
Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan yang lebih baik. Seseorang dapat dikatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Seseorang yang selalu bersabar di saat tengah di timpa musibah, akan mendapatkan sebanyak 300 derajat kemulyaan dari Allah SWT.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-Qur’an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT. Para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur’an menjadi beberapa macam:
Ø  Sabar merupakan perintah Allah SWT.
Ø  Larangan Isti’jal (tergesa-gesa/tidak sabar).
Ø  Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar.
Ø  Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar.
Ø  Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar.
Ø  Mendapatkan pahala surga dari Allah.[1]
B.     Definisi Syukur
Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yasykuru, syukran, dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya. Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Syukur menurut istilah adalah berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.[2]
Al ‘Allaamah Asy Syaikh Abdurrohman As Sa’diy رحمه الله  mengatakan: Syukur adalah ketundukkan dan pengakuan hati akan nikmat-nikmat Alloh, pujian lisan terhadap yang disyukuri, dan perbuatan anggota tubuh dengan ta’at kepada-Nya, serta tidak menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya untuk bermaksiyat kepada-Nya.[3]
Dari penjelasan Syaikh As Saidiy di atas maka syukur itu tidak hanya dengan ucapan alhamdulillah, akan tetapi syukur itu meliputi hati, lisan, dan badan.
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata, ‘Syukur itu dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah bermaksud mengerjakan kebaikan dan menyembunyikannya dari seluruh makhluq, dengan lisan adalah menampakkan syukur itu dengan pujian (kepada-Nya), dan dengan anggota badan adalah menggunakan nikmat-nikmat dari Allah tersebut di dalam ketaatan kepada-Nya, dan membentengi diri dari menggunakannya untuk kemaksiyatan kepada-Nya. Diantara syukur kedua mata adalah kamu menutup segala aib yang dilihat oleh seorang muslim, dan diantara syukur kedua telinga adalah menutup segala aib yang didengarnya.
C.    Hadits-Hadits Pendidikan Kesabaran
1)      Apakah kuat yang hakiki itu?
Sebenarnya apakah kuat yang hakiki itu? Di sini penulis akan mencoba memaparkan hadits mengenai hal tersebut.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب (رواه البخاري)
Artinya: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari).
Marah adalah gejolak jiwa yg mengarah pada tindak kekerasan, yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Saya yakin semua orang pernah mengalami salah satu bentuk emosi itu. Marah yang dipendam di dalam maupun yang tampak di luar, sama-sama meninggalkan jejaknya pada tubuh kita. Disadari atau tidak, pada akhirnya akan menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan (tidak harmonis) di sekeliling kita.
Lalu, bagaimanakah cara mengendalikan marah tersebut? Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم mangajarkan cara-cara menghilangkan kemarahan dan cara menghindari efek negatifnya, diantaranya adalah:
v  Membaca ta’awudz ketika marah.
Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod Radliyallahu ‘anhu : “Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم . Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم bersabda : Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan : ‘Audzubillahi minasy Syaithani rrajiim’. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi : Tidakkah kalian dengar apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab : Aku ini bukan orang gila.”
v  Dengan duduk.
Apabila dengan ta’awudz kemarahan belum hilang maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh berdiri. Al Imam Ahmad dan Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah.” Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri.
v  Tidak bicara.
Diam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.
v  Berwudlu.
Sesungguhnya marah itu dari setan. Dan setan itu diciptakan dari api maka api itu bisa diredam dengan air, demikian juga sifat marah bisa diredam dengan berwudlu. RasuluLlah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda : ”Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah berwudlulah.” (HR. Ahmad dan yang lainnya dengan sanad hasan)
2)      Kondisi Mu’min yang mengagumkan.
Mengenai kondisi mu’min yang mengagumkan, penulis mengutip sebuah hadits berikut:
عن صهيب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمنين إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له (رواه مسلم)
Artinya: “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya, dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin: yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, ada tiga sifat yang harus kita miliki agar pribadi kita sebagai mukmin bisa menjadi pribadi yang mengagumkan, yaitu:
v  Berorientasi pada kebaikan
Pada dasarnya, setiap manusia senang pada kebaikan dan mereka pun telah mengenalnya, karenanya Alquran menyebutkan satu istilah untuk kebaikan yang disebut dengan “ma’ruf”.
Namun, meskipun manusia sudah mengetahui tentang kebaikan, ternyata mereka masih belum mau juga berbuat baik, karenanya harus ada upaya memerintah manusia untuk melakukan kebaikan, inilah yang disebut dengan “amar ma’ruf”.
Manakala manusia telah menjadi mukmin yang sejati, maka manusia akan sangat senang melakukan kebaikan, dia akan memberi kontribusi dalam kebaikan, bahkan berlomba-lomba dalam kebaikan dan selalu ingin menjadi yang terbaik, ini semua didasari karena hidup di dunia hanyalah salah satu fase kehidupan, sedangkan fase akhirnya adalah kehidupan akhirat.
Manakala seorang mukmin telah berorientasi pada kebaikan, maka seluruh aktivitas yang dijalaninya tidak akan mengandung kesia-siaan, semua memberi manfaat, baik bagi dirinya, keluarga, maupun orang lain, bahkan bermanfaat bagi alam semesta. Mukmin seperti inilah yang akan memperoleh banyak keberuntungan dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat.  
v  Selalu bersyukur atas kesenangan yang diperolehnya
Bersyukur kepada Allah swt. atas kesenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan yang diperoleh merupakan sikap yang sangat mulia. Hal ini karena dengan begitu, seorang mukmin menyadari bahwa segala kenikmatan merupakan anugerah atau pemberian dari Allah swt. Manusia memang seharusnya menyadari bahwa usaha yang dilakukannya sebenarnya tidak seberapa besar, tetapi Allah swt. memberikan balasan dengan balasan yang besar. Sifat seorang mukmin yang menunjukkan rasa syukur atas segala kenikmatan itu menunjukkan bahwa ia tidak akan lupa diri bila kenikmatan diperolehnya dalam kehidupan ini.
Cara bersyukur yang ditunjukkan oleh seorang mukmin adalah bersyukur dengan hati (mengakui bahwa kenikmatan yang diperolehnya berasal dari Allah swt., apa yang dilakukannya hanyalah sebab untuk mendapatkan kenikmatan yang banyak), bersyukur dengan lisan (mengucapkan hamdallah atas segala kenikmatan yang telah diperoleh, karenanya hamdallah itu diucapkan seorang mukmin yang mengagumkan saat sesudah makan, bangun tidur, hingga buang air besar, karena semua itu merupakan kenikmatan), bersyukur dengan amal (apapun yang dilakukannya merupakan wujud dari rasa syukurnya sehingga amal itu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah swt.)
Dengan menunjukkan rasa syukur itulah, kenikmatan yang diperoleh seorang mukmin akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, sehingga kenikmatan itu tidak hanya dirasakan oleh diri dan keluarganya, tapi juga oleh orang lain, sehingga kenikmatan itu bertambah banyak, baik dari segi jumlahnya atau paling tidak rasanya.  
v  Bersabar atas kesusahan
Sabar atas segala musibah atau kesusahan yang menimpa merupakan ciri yang melekat pada pribadi orang yang beriman, karenanya seorang mukmin itu menjadi manusia yang mengagumkan. Kesabaran seorang mukmin dalam menghadapi kesusahan membuatnya menjadi tidak mudah berputus asa, sesulit apapun keadaan yang menimpa dirinya, dia tetap optimis akan ada hari esok yang lebih baik, baginya yang penting adalah berusaha dan bertawakal kepada Allah swt.
Orang yang berputus asa bukan hanya menjadi apatis, tidak memiliki semangat hidup hingga bunuh diri, tapi juga orang yang menghalakna  segala cara dalam meraih sesuatu, karena ia merasa menggunakan cara yang wajar untuk mendapatkan sesuatu hanya akan memperpanjang kesusahan.[4]
Berbagai kasus dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita menunjukkan bahwa kesabaran telah hilang dari kepribadian kita. Karena itu, dalam kehidupan ini kesabaran merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keberhasilan dan kebaikan hidup yang kita jalani. Kesabaran akan membawa kegembiraan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Dari uraian di atas, bisa kita ambil sebuah pelajaran bahwa bagi seorang mukmin, kesenangan dan kesengsaraan hidup merupakan ujian dari Allah swt. Senang tidak akan membuatnya menjadi lupa diri dan susah tidak akan membuatnya menjadi putus asa. Ini merupakan bekal yang amat penting untuk kembali kepada Allah swt.

 IV.            SIMPULAN
Sabar memiliki cakupan atas 3 pembahasan, yaitu:
·      Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.
·      Sabar dalam usaha untuk menjauhi maksiyat.
·      Sabar disaat sedang dalam menghadapi musibah.
Cara-cara mengendalikan marah:
·      Membaca ta’awudz ketika marah.
·      Dengan duduk.
·      Tidak bicara.
·      Berwudlu.
Syukur adalah berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan. Ada tiga sifat yang harus kita miliki agar pribadi kita sebagai mukmin bisa menjadi pribadi yang mengagumkan, yaitu:
·      Berorientasi pada kebaikan.
·      Selalu bersyukur atas kesenangan yang diperolehnya.
·      Bersabar atas kesusahan.



    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami sajikan, semoga makalah yang sederhana ini bisa membawa berkah dan manfaat bagi kita semua.AAMIIN…penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu, kritik dan saran dari semua kalangan sangat penulis butuhkan demi perbaikan makalah ini. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih


















DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman As Sa’diy, TT. Taisiirul Kariimir Rohman Fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, KSA: Daarussalam.
Dahlan, Ibnu El-Madary, http://tanbihun.com/tasawwuf/urgensi-sabar-dalam-kehidupan/, Gombak, 2 Rajab 1431H/15 June 2010.
Iba Asghari, Basri, 1994. Solusi Al-Qur’an – Problematika Sosial, politik, dan Budaya, Jakarta: Rinekea Cipta.




       [1] Ibnu Dahlan El-Madary, http://tanbihun.com/tasawwuf/urgensi-sabar-dalam-kehidupan/, Gombak, 2 Rajab 1431H/15 June 2010
       [2] Basri Iba Asghari, Solusi Al-Qur’an – Problematika Sosial, politik, dan Budaya, (Jakarta: Rinekea Cipta, 1994), Cet. I, Hlm. 68. 
       [3] Abdurrohman As Sa’diy, Taisiirul Kariimir Rohman Fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, (KSA: Daarussalam, TT), Hlm. 231.
n>Sumadi Surya Brata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), Hlm. 87.
       [7] Ibid., Hlm. 70.
       [8] Agus Sujanto, Psikologi perkembangan, (Jakarta: Aksara Baru, 1984), Hlm. 185-187.
       [9] Ibid., Hlm. 188.
       [10] Hartono Agung, Op. Cit, Hlm. 191-192.
       [11] Ibid., Hlm. 195-198.
       [12] Desmita, Op. Cit., Hlm. 208.
       [13] Muhammad Utsman, Op. Cit., Hlm. 67. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar