Pendidikan Kesabaran
I.
PENDAHULUAN
Kisah
para nabi adalah realitas hidup yang maha berat. Nabi Ayyub AS, misalnya,
mendapat ujian berat berupa penyakit kulit. Sedemikian parahnya penyakit itu
hingga berulat, sampai istrinya sendiri meninggalkannya karena jijik.
Bertahun-tahun lamanya ia hidup menderita, namun tak sedikit pun mengurangi
keimanannya kepada Allah. Bentuk ujian lain dialami Nabi Sulaiman AS. Beliau
diuji dengan kenikmatan yang melimpah ruah. Beliau mengerti bahasa burung,
memahami gerak-gerik semut, serta mampu mengerahkan balatentara jin dan manusia
untuk membangun kekuasaan dan istananya (QS Alnaml [27]: 16-18). Tapi, beliau
tetap ingat kepada Allah dengan mengakui, ''Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk
mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari akan (nikmat-Nya).'' (QS
Alnaml [27]: 40). Keimanan dan ketakwaan para nabi yang demikian sempurna
merupakan teladan hingga diwasiatkan oleh Alquran dengan pernyataan tulus,Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un: (Sungguh, kita ini milik Allah dan hanya
kepada-Nya kita kembali). Ungkapan dan sikap tulus seperti ini hendaknya tidak
hanya kita ucapkan tatkala terkena musibah, melainkan juga saat menerima
kenikmatan dan amanah. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Umar ibn Abdul
Aziz ketika diangkat menjadi khalifah adalah Inna lillahi wa inna ilaihi
raji'un. Sebuah pernyataan sikap bahwa amanah itu berasal dari Allah dan
harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Dengan demikian, setiap ujian bagi
Mukmin merupakan pendidikan kesabaran, sekaligus pendidikan kesyukuran.
II.
POKOK BAHASAN
Di makalah ini, penulis akan membahas mengenai 3
pokok bahasan, yaitu:
A. Definisi
Sabar
B. Definisi
Syukur
C. Hadits-Hadits
Pendidikan Kesabaran
III.
PEMBAHASAN
A. Definisi
Sabar
Asal kata sabar adalah “Shobaro”, yang
membentuk infinitif (masdar) menjadi “Shabran”. Secara bahasa mempunyai
pengertian menahan atas segala beban yang ada. Adapun secara istilah, memiliki
cakupan atas 3 pembahasan, yaitu:
1)
Sabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada Allah SWT.
Salah satu
contohnya adalah dalam beribadah dapat di-implementasikan dengan bentuk melawan
dan memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu
berjalan menuju masjid dan malaksanakan shalat secara berjamaah, dengan
menghadirkan hati untuk tidak bersikap ‘ujub, riya atau pun cari popularitas
lainnya. Karena keikhlasan dalam beribadah merupakan syarat mutlak untuk
diterimanya semua amalan yang kita lakukan, dan kelak pahalanya seseorang yang
mampu dan selalu bersabar di dalam menjaga ketaatannya adalah setara dengan 600
derajat di hadapan Allah SWT.
2)
Sabar dalam usaha untuk menjauhi
maksiyat.
Sabar
sesungguhnya mempunyai dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang
terdapat dalam jiwa insan. Dalam berjihad, sabar dapat dibuktikan dengan
melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk dengan santai dan
tenang di rumah.
Selain daripada
itu, berusaha menjauhi maksiyat berarti selalu berupaya menjaga dalam setiap
aktivitas seperti harus menjaga lidah kita dari perbuatan ghibah, ataupun
mencela orang lain. Derajat kemulyaan seseorang yang mampu berbuat sabar, kelak
Allah lipatkan sebanyak 900 derajat, dan ini derajat tertinggi di antara
kesabaran dalam menjalankan ketaatan ataupun sabar ketika sedang di uji oleh
Allah SWT.
3)
Sabar disaat sedang dalam menghadapi
musibah.
Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah
kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan yang lebih
baik. Seseorang dapat dikatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk,
pasrah dan menyerah begitu saja. Seseorang yang selalu bersabar di saat tengah
di timpa musibah, akan mendapatkan sebanyak 300 derajat kemulyaan dari Allah
SWT.
Dalam al-Qur’an
banyak sekali ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara
keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-Qur’an, kata-kata yang
menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi’ilnya.
Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT. Para ulama
mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur’an menjadi beberapa macam:
Ø
Sabar merupakan perintah Allah SWT.
Ø
Larangan Isti’jal
(tergesa-gesa/tidak sabar).
Ø
Pujian Allah bagi orang-orang yang
sabar.
Ø
Allah SWT akan mencintai orang-orang
yang sabar.
Ø
Kebersamaan Allah dengan orang-orang
yang sabar.
Ø
Mendapatkan pahala surga dari Allah.[1]
B.
Definisi Syukur
Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur
diambil dari kata syakara, yasykuru, syukran, dan tasyakkara yang
berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya. Syukur berasal dari kata syukuran yang
berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Syukur menurut istilah adalah
berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan
kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun
perbuatan.[2]
Al ‘Allaamah Asy Syaikh
Abdurrohman As Sa’diy رحمه الله mengatakan:
Syukur adalah ketundukkan dan pengakuan hati akan nikmat-nikmat Alloh, pujian
lisan terhadap yang disyukuri, dan perbuatan anggota tubuh dengan ta’at
kepada-Nya, serta tidak menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya untuk bermaksiyat
kepada-Nya.[3]
Dari penjelasan Syaikh As Saidiy
di atas maka syukur itu tidak hanya dengan ucapan alhamdulillah, akan tetapi
syukur itu meliputi hati, lisan, dan badan.
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata, ‘Syukur
itu dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah bermaksud
mengerjakan kebaikan dan menyembunyikannya dari seluruh makhluq, dengan lisan
adalah menampakkan syukur itu dengan pujian (kepada-Nya), dan dengan anggota badan
adalah menggunakan nikmat-nikmat dari Allah tersebut di dalam ketaatan
kepada-Nya, dan membentengi diri dari menggunakannya untuk kemaksiyatan
kepada-Nya. Diantara syukur kedua mata adalah kamu menutup segala aib yang
dilihat oleh seorang muslim, dan diantara syukur kedua telinga adalah menutup
segala aib yang didengarnya.
C.
Hadits-Hadits Pendidikan Kesabaran
1)
Apakah kuat yang hakiki itu?
Sebenarnya apakah kuat yang
hakiki itu? Di sini penulis akan mencoba memaparkan hadits mengenai hal
tersebut.
عن أبي هريرة رضي الله
عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي
يملك نفسه عند الغضب (رواه البخاري)
Artinya: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat,
tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari).
Marah
adalah gejolak jiwa yg mengarah pada tindak kekerasan, yang dapat merugikan
diri sendiri dan orang lain. Saya yakin semua orang pernah mengalami salah satu
bentuk emosi itu. Marah yang dipendam di dalam maupun yang tampak di luar, sama-sama
meninggalkan jejaknya pada tubuh kita. Disadari atau tidak, pada akhirnya akan
menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan (tidak harmonis) di sekeliling
kita.
Lalu,
bagaimanakah cara mengendalikan marah tersebut? Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم mangajarkan
cara-cara menghilangkan kemarahan dan cara menghindari efek negatifnya,
diantaranya adalah:
v Membaca ta’awudz ketika marah.
Al Imam Al Bukhari
dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod
Radliyallahu ‘anhu : “Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu
alaihi wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم . Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh
kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم bersabda :
Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang
apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan : ‘Audzubillahi minasy
Syaithani rrajiim’. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi : Tidakkah
kalian dengar apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab : Aku ini bukan orang
gila.”
v Dengan duduk.
Apabila dengan ta’awudz kemarahan belum hilang
maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh berdiri. Al Imam Ahmad dan Abu
Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Radliyallahu ‘anhu bahwa
Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam
keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah.” Hal ini karena
marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan
kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi
dari duduk dan berdiri.
v Tidak bicara.
Diam tidak
berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan
kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol
sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan
orang lain.
v Berwudlu.
Sesungguhnya marah itu dari setan. Dan setan itu
diciptakan dari api maka api itu bisa diredam dengan air, demikian juga sifat
marah bisa diredam dengan berwudlu. RasuluLlah صلى الله عليه
وآله وسلم bersabda : ”Sesungguhnya marah itu
dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air
maka apabila diantara kalian marah berwudlulah.” (HR. Ahmad dan yang lainnya
dengan sanad hasan)
2)
Kondisi Mu’min yang mengagumkan.
Mengenai kondisi mu’min yang mengagumkan, penulis
mengutip sebuah hadits berikut:
عن صهيب قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا
للمؤمنين إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له (رواه
مسلم)
Artinya: “Sungguh
menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik
baginya, dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang
mukmin: yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia
tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut
merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, ada tiga
sifat yang harus kita miliki agar pribadi kita sebagai mukmin bisa menjadi
pribadi yang mengagumkan, yaitu:
v
Berorientasi pada kebaikan
Pada dasarnya,
setiap manusia senang pada kebaikan dan mereka pun telah mengenalnya, karenanya
Alquran menyebutkan satu istilah untuk kebaikan yang disebut dengan “ma’ruf”.
Namun, meskipun manusia sudah mengetahui
tentang kebaikan, ternyata mereka masih belum mau juga berbuat baik, karenanya
harus ada upaya memerintah manusia untuk melakukan kebaikan, inilah yang
disebut dengan “amar ma’ruf”.
Manakala manusia
telah menjadi mukmin yang sejati, maka manusia akan sangat senang melakukan
kebaikan, dia akan memberi kontribusi dalam kebaikan, bahkan berlomba-lomba
dalam kebaikan dan selalu ingin menjadi yang terbaik, ini semua didasari karena
hidup di dunia hanyalah salah satu fase kehidupan, sedangkan fase akhirnya
adalah kehidupan akhirat.
Manakala seorang
mukmin telah berorientasi pada kebaikan, maka seluruh aktivitas yang
dijalaninya tidak akan mengandung kesia-siaan, semua memberi manfaat, baik bagi
dirinya, keluarga, maupun orang lain, bahkan bermanfaat bagi alam semesta.
Mukmin seperti inilah yang akan memperoleh banyak keberuntungan dalam hidupnya
di dunia maupun di akhirat.
v Selalu bersyukur atas kesenangan yang diperolehnya
Bersyukur kepada
Allah swt. atas kesenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan yang diperoleh
merupakan sikap yang sangat mulia. Hal ini karena dengan begitu, seorang mukmin
menyadari bahwa segala kenikmatan merupakan anugerah atau pemberian dari Allah
swt. Manusia memang seharusnya menyadari bahwa usaha yang dilakukannya
sebenarnya tidak seberapa besar, tetapi Allah swt. memberikan balasan dengan
balasan yang besar. Sifat seorang mukmin yang menunjukkan rasa syukur atas
segala kenikmatan itu menunjukkan bahwa ia tidak akan lupa diri bila kenikmatan
diperolehnya dalam kehidupan ini.
Cara bersyukur
yang ditunjukkan oleh seorang mukmin adalah bersyukur
dengan hati (mengakui bahwa kenikmatan yang diperolehnya berasal dari Allah
swt., apa yang dilakukannya hanyalah sebab untuk mendapatkan kenikmatan yang banyak),
bersyukur dengan lisan (mengucapkan
hamdallah atas segala kenikmatan yang telah diperoleh, karenanya hamdallah itu
diucapkan seorang mukmin yang mengagumkan saat sesudah makan, bangun tidur,
hingga buang air besar, karena semua itu merupakan kenikmatan), bersyukur dengan amal (apapun yang
dilakukannya merupakan wujud dari rasa syukurnya sehingga amal itu dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah swt.)
Dengan menunjukkan
rasa syukur itulah, kenikmatan yang diperoleh seorang mukmin akan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya, sehingga kenikmatan itu tidak hanya dirasakan
oleh diri dan keluarganya, tapi juga oleh orang lain, sehingga kenikmatan itu
bertambah banyak, baik dari segi jumlahnya atau paling tidak rasanya.
v
Bersabar atas
kesusahan
Sabar atas segala
musibah atau kesusahan yang menimpa merupakan ciri yang melekat pada pribadi
orang yang beriman, karenanya seorang mukmin itu menjadi manusia yang
mengagumkan. Kesabaran seorang mukmin dalam menghadapi kesusahan membuatnya
menjadi tidak mudah berputus asa, sesulit apapun keadaan yang menimpa dirinya,
dia tetap optimis akan ada hari esok yang lebih baik, baginya yang penting
adalah berusaha dan bertawakal kepada Allah swt.
Orang yang
berputus asa bukan hanya menjadi apatis, tidak memiliki semangat hidup hingga
bunuh diri, tapi juga orang yang menghalakna
segala cara dalam meraih sesuatu, karena ia merasa menggunakan cara yang
wajar untuk mendapatkan sesuatu hanya akan memperpanjang kesusahan.[4]
Berbagai kasus
dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita menunjukkan bahwa kesabaran telah
hilang dari kepribadian kita. Karena itu, dalam kehidupan ini kesabaran
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keberhasilan dan kebaikan hidup yang
kita jalani. Kesabaran akan membawa kegembiraan dalam kehidupan di dunia maupun
di akhirat.
Dari uraian di
atas, bisa kita ambil sebuah pelajaran bahwa bagi seorang mukmin, kesenangan
dan kesengsaraan hidup merupakan ujian dari Allah swt. Senang tidak akan
membuatnya menjadi lupa diri dan susah tidak akan membuatnya menjadi putus asa.
Ini merupakan bekal yang amat penting untuk kembali kepada Allah swt.
IV.
SIMPULAN
Sabar
memiliki cakupan atas 3 pembahasan, yaitu:
·
Sabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada Allah SWT.
·
Sabar dalam usaha untuk menjauhi
maksiyat.
·
Sabar disaat sedang dalam menghadapi
musibah.
Cara-cara
mengendalikan marah:
·
Membaca ta’awudz ketika marah.
·
Dengan duduk.
·
Tidak bicara.
·
Berwudlu.
Syukur
adalah berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan
menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud
pada lisan, hati maupun perbuatan. Ada tiga sifat yang harus kita miliki
agar pribadi kita sebagai mukmin bisa menjadi pribadi yang mengagumkan, yaitu:
·
Berorientasi pada kebaikan.
·
Selalu bersyukur atas kesenangan
yang diperolehnya.
·
Bersabar atas
kesusahan.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami sajikan, semoga makalah yang sederhana ini bisa membawa
berkah dan manfaat bagi kita semua.AAMIIN…penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu, kritik dan saran dari semua kalangan
sangat penulis butuhkan demi perbaikan makalah ini. Atas perhatiannya, penulis
mengucapkan banyak terima kasih
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrohman As Sa’diy, TT.
Taisiirul Kariimir Rohman Fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, KSA: Daarussalam.
Dahlan, Ibnu El-Madary, http://tanbihun.com/tasawwuf/urgensi-sabar-dalam-kehidupan/, Gombak, 2 Rajab 1431H/15 June 2010.
Iba Asghari, Basri, 1994. Solusi
Al-Qur’an – Problematika Sosial, politik, dan Budaya, Jakarta: Rinekea
Cipta.
[1] Ibnu Dahlan
El-Madary, http://tanbihun.com/tasawwuf/urgensi-sabar-dalam-kehidupan/,
Gombak,
2 Rajab 1431H/15 June 2010
[4] http://indrasr.multiply.com/journal/item/41/Menjadi_Mukmin_yang_Mengagumkan, Mar 18, '07 9:36 PM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar