Minggu, 06 Januari 2013

Islam Eksklusif dan Inklusif


Islam: Eksklusif dan Inklusif
              Setelah Indonesia merdeka, wacana keislaman di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua tipologi pemahaman keberagamaan yang berbeda. Tipologi pertama, disebut dengan “Islam Abangan” yang cenderung memahami Islam hanya sebatas keyakinan personal bahkan terkadang memeluk Islam karena jalur keturunan saja. Ironisnya, mayoritas mereka lalu belajar disekolah-sekolah yang menganut sistem pendidikan modern (baca;Barat) tanpa diimbangi dengan pendidikan yang mengarahkan kepada pemahaman yang komprehensif dan integral seputar Islam. Pada akhirnya, hal ini sangat mempengaruhi corak dan pandangan mereka terhadap konsep Islam itu sendiri. Tipologi kedua, sering diistilahkan dengan “Islam Santri”. Komunitas ini masih mempertahankan tradisi keislaman yang sangat kental dalam keseharian mereka. Mayoritas mereka belajar di pondok-pondok pesantren yang sifatnya tradisionalis dan belum banyak mengadopsi sistem modern bahkan cendrung apriori dengan perubahan.
            Dalam perkembangan selanjutnya, kedua tipologi ini seringkali mengklaim diri masing-masing sebagai pihak yang paling benar (Truth Claim), dan menganggap paling berhak mengusung kemajuan. Kelompok pertama menuding kelompok kedua sebagai kelompok Islam Eksklusif  yang kaku, jumud, tidak terbuka dengan perkembangan mutakhir dan masih mempertahankan paham ortodoksi. Dan dalam waktu yang sama, menganggap diri mereka sebagai kelompok yang paling terbuka (inklusif), toleran, menghargai pluralisme dan tercerahkan. Sebaliknya, kelompok kedua mengklaim kelompok pertama sudah ternodai oleh faham sekularisme dan jauh dari nilai-nilai keislaman yang sebenarnya. Perseteruan ini selalu mewarnai wacana pemikiran Islam di tanah air dan selanjutnya berimbas kepada permasalahan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pada level nasional, kelompok pertama mendominasi posisi penting dalam struktur eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kebijakan-kebijakan strategis lahir dari konsep yang mereka buat. Tentu paradigma mereka tentang Islam sangat mempengaruhi berbagai kebijakan tersebut. Sehingga wajar, apabila dalam beberapa kebijakan itu banyak yang merugikan dan mengecewakan umat Islam. Kekecewaan ini akhirnya mendorong sebagian besar kelompok kedua untuk menggunakan cara lain menyelamatkan kepentingan umat Islam. Mereka berusaha memperkuat basis sosial pada level bawah grass-root. Sehingga, diharapkan mampu menjadi balance terhadap berbagai ketimpangan kebijaksanaan penguasa. Mayoritas mereka cenderung oposisi dengan penguasa dan non- cooperative.
            Jika kita tilik lebih jauh, dua paradigma diatas jelas sama-sama tidak akan menyelesaikan permasalahan. Islam sebagai agama yang komprehensif dan integral tidak pernah mendikotomi antara urusan yang bersifat duniawi (materiil) dengan sisi ukhrawi (spirituil). Karena kedua sisi inilah yang membentuk karakter manusia sebagai makhluk. Oleh karena itu, dialektika antara Islam dalam tataran teks (konsep) yang sarat dengan nilai-nilai idealisme dengan perubahan zaman harus terus dilakukan agar umat Islam tidak diberi lebel sebagai umat yang statis dan tertinggal jauh dengan kemajuan sains dan teknologi. Disinilah sebenarnya letak inklusifisme Islam. Akan tetapi, seringkali terma ini dimonopoli oleh mereka yang mengusung modernisasi dengan jargon liberalisasi pemikiran. Mereka menganggap kelompok yang paling inklusif dan bisa berinteraksi dengan dunia luar, sementara mereka yang masih mempertahankan tradisi dan sulit berinteraksi dengan perubahan dan dunia luar dicap sebagai kelompok yang eksklusif dan tidak tercerahkan.
            Dua kutub perbedaan ini harus segera dicairkan, dan perlu dirumuskan paradigma baru dalam memahami Islam agar tidak terjadi pemahaman yang parsial terhadap ajarannya. Pemahaman yang terlalu sempit cendrung menyebabkan Islam sulit dipertemukan dengan realitas kehidupan modern yang bergerak cepat. Padahal kita sangat perlu jawaban-jawaban yang proporsional dari ajaran kita untuk menyikapi hal tersebut. Sebaliknya memahami Islam dalam konteks lebih bebas dan berani sampai mempersoalkan transendensi wahyu dan nash-nash tekstual lainnya, bisa terjebak pada dekontruksi ajaran Islam itu sendiri. Padahal yang kita inginkan sebenarnya adalah, bagaimana mencari titik temu antara Islam dan problematika peradaban dan modernitas. Sekaligus menjawab beberapa tudingan miring yang ditujukan kepada umat Islam, bahwa Islam identik dengan kemiskinan, kebodohan, terbelakang dan tidak relevan lagi dengan zaman.
            Jika kita analisa lebih jauh, ternyata kemajuan ‘modern’ itu sendiri nisbi.  Maju mundurnya sebuah sistem berbeda berdasarkan ruang dan waktu, kebudayaan, ideologi dan agama yang dianut. Contoh sederhana, Hijab yang diterapkan dalam Islam menurut persepsi Barat modern bisa diartikan sebagai sebuah ketertinggalan yang sangat jauh dan tidak relevan dengan zaman. Karena dulu, para wanita-wanita Eropa memakai pakaian yang dalam dan menutup aurat. Tapi sekarang? Menurut mereka itu adalah masa lalu diabad pertengahan dimana kondisinya jelas jauh berbeda dengan masa kini. Lalu ketika hegemoni Barat terhadap dunia sudah merambah disegala sisi kehidupan, sehingga timbul stigma ditengah-tengah kita bahwa Barat adalah standar modernitas, apakah lantas Islam akan meng ’amin’ kan persepsi Barat dalam permasalahan ini? Jika kemudian kita mengatakan tidak menerima hal itu, kita akan dicap eksklusif?
            Sumber kemajuan sepanjang sejarah manusia dimuka bumi adalah ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana perspketif Islam terhadap ilmu? Ilmu pengetahuan tersusun dari pengertian-pengertian. Pengertian dilambangkan oleh kata, dan kata itu adalah penamaan. Tuhan kemudian mengajarkan kepada manusia nama-nama, sehingga ia mengetahui segalanya. Dan dengan pengetahuan tersebut manusialah yang diangkat tuhan menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Sangat jelas perspektif Islam tentang ilmu dan pengetahuan. Secara historis ini terbukti, dahulu Intelektual muslim banyak belajar dari khazanah pengetahuan Yunani. Tapi usaha mereka tidak sampai disitu, mereka mengembangkannya dalam konsep yang lebih luas. Tercatat, bahwa Islam adalah pioneer pendirian universitas-universitas yang mengembangkan berbagai khazanah ilmu. Universitas Kordova berdiri pada pertengahan abad X yang membelah dirinya yang sesuai dengan diferensiasi ilmu pengetahuan kedalam fakultas-fakultas: hukum, ketuhanan, kedokteran, ilmu ukur, astronomi dll. Lalu mesjid Al Azhar yang didirikan pada tahun 972, akhirnya menjadi cikal bakal universitas yang masih eksis hingga saat ini. Setelah itu, baru peradaban Eropa menyusul mendirikan beberapa universitas setelah mayoritas mereka menimba ilmu didunia Islam. Lalu di Paris didirikan universitas Salerno tahun 1000 M, universitas Bologna pada tahun 1150 M, dan universitas Oxford pada tahun 1168 M. Untuk selanjutnya berdiri berbagai universitas terkemuka di Eropa setelah bangsa Eropa memegang obor Ilmu menggantikan Umat Islam yang semakin terpuruk disemua lini kehidupan mereka.
            Kenyataan bahwa saat ini Umat Islam digolongkan kepada umat yang terkebelakang mau tidak mau harus kita akui. Sekaligus kita yakin bahwa hal itu hanya permasalahan perputaraan waktu saja. Disamping itu harus ada usaha untuk meretas kembali jalan menuju kejayaan tersebut dan tidak perlu pesimis dengan kondisi yang ada. Seorang pemikir Inggris terkemuka George Bernard Shaw pernah menulis: “Saya selalu memandang dengan penuh rasa hormat terhadap agama (yang dibawa) Muhammad, karena keistimewaan vitalitasnya. Ia adalah satu-satunya agama yang bagiku tampak memiliki kemampuan mengasimilasi fase-fase perubahan eksistensi, sehingga dapat menarik manusia dari berbagai usia. Saya berani meramalkan, bahwa apa yang diajarkan Muhammad di suatu masa kelak akan dapat diterima oleh orang Eropa, sebagaimana pula telah mulai diterima oleh orang Eropa masa kini”.
            Sikap keterbukaan terhadap fenomena yang terjadi diluar diri kita merupakan langkah awal untuk mensinergikan antara konsep yang dianut dengan arus perubahan. Keterbukaan perlu dibatasi; tidak berarti menanggalkan identitas. Karena identitas adalah karakter yang membedakan antara satu dengan yang lain. Karakter kita tidak bisa dipaksakan harus sama dengan karakter orang lain. Sebab yang terjadi akhir-akhir ini adalah, terciptanya sebuah stigma disetiap otak kecil kita, bahwa segala produk Barat adalah mewakili nilai-nilai modernitas sehingga layak untuk ditiru walaupun secara sadar sebenarnya sangat kontradiksi dengan karakter yang dimiliki. Sikap ini kadang membuat kita berkepribadian hipokrit, rancu identitas bahkan hanya sebatas konsumen sebuah produk kemajuan, tidak mampu untuk menjadi produsen sekaligus penggagas.
            Lalu rambu-rambu apa yang perlu kita cermati dalam mengusung dialektika antara Islam dan Isu modernitas? Dalam Islam kita mengenal konsep at tsawabit wal mutaghayyirat (Hal-hal yang tetap dan bisa berubah). Dari dua klasifikasi ini kita tinggal melakukan studi kritik terhadap fenomena modernisasi yang terjadi disekitar kita dan memberikan korelasi yang tepat antara keduanya. Sangat sederhana memang, tapi memerlukan usaha yang sangat serius. Rasulullah saw. sendiri dalam hal ini selalu mendorong umatnya untuk selalu memiliki kreatifitas dan sikap inovatif sebagaimana dalam sebuah sabda Beliau : Antum a’lamu biumuri dunyakum (kamu lebih tahu tentang urusan duniamu). Sebab persoalan kehidupan yang sifatnya bersentuhan langsung dengan kebutuhan manusia terhadap lingkungannya (materi) selalu berubah dari masa kemasa. Apabila Islam tidak memberikan celah untuk diisi dengan hal yang sifatnya inovatif, sangat wajar jika Islam dinilai eksklusif, namun kenyataannya kan tidak demikian.
            Maka perspektif kita tentang batasan eksklusifisme dan inklusifisme itu sendiri perlu terlebih dahulu lebih diperjelas agar tidak salah menempatkan istilah. Sebab antara Islam sebagai konsep dan kondisi keberagamaan umat Islam yang plural sangat berbeda. Ketika kita misalnya menemukan fenomena yang menunjukkan adanya ekslusifisme dalam sebagian tubuh umat Islam, kita jangan sampai terjebak untuk memvonis bahwa konsep Islam memang eksklusif. Tapi harus kita kembalikan kepada bagaimana metode pemahaman yang mereka terapkan. 

1 komentar: