Islam:
Eksklusif dan Inklusif
Setelah
Indonesia merdeka, wacana keislaman di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua
tipologi pemahaman keberagamaan yang berbeda. Tipologi pertama, disebut dengan “Islam
Abangan” yang cenderung
memahami Islam hanya sebatas keyakinan personal bahkan terkadang memeluk Islam
karena jalur keturunan saja. Ironisnya, mayoritas mereka lalu belajar
disekolah-sekolah yang menganut sistem pendidikan modern (baca;Barat) tanpa
diimbangi dengan pendidikan yang mengarahkan kepada pemahaman yang komprehensif
dan integral seputar Islam. Pada akhirnya, hal ini sangat mempengaruhi corak
dan pandangan mereka terhadap konsep Islam itu sendiri. Tipologi kedua, sering
diistilahkan dengan “Islam Santri”. Komunitas ini masih mempertahankan
tradisi keislaman yang sangat kental dalam keseharian mereka. Mayoritas mereka
belajar di pondok-pondok pesantren yang sifatnya tradisionalis dan belum banyak
mengadopsi sistem modern bahkan cendrung apriori dengan perubahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua tipologi ini seringkali mengklaim diri
masing-masing sebagai pihak yang paling benar (Truth Claim), dan
menganggap paling berhak mengusung kemajuan. Kelompok pertama menuding kelompok
kedua sebagai kelompok Islam Eksklusif yang kaku, jumud, tidak
terbuka dengan perkembangan mutakhir dan masih mempertahankan paham ortodoksi.
Dan dalam waktu yang sama, menganggap diri mereka sebagai kelompok yang paling
terbuka (inklusif), toleran, menghargai pluralisme dan tercerahkan. Sebaliknya, kelompok kedua
mengklaim kelompok pertama sudah ternodai oleh faham sekularisme dan jauh dari
nilai-nilai keislaman yang sebenarnya. Perseteruan ini selalu
mewarnai wacana pemikiran Islam di tanah air dan selanjutnya berimbas kepada
permasalahan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pada level nasional, kelompok
pertama mendominasi posisi penting dalam struktur eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Kebijakan-kebijakan strategis lahir dari konsep yang mereka buat.
Tentu paradigma mereka tentang Islam sangat mempengaruhi berbagai kebijakan
tersebut. Sehingga wajar, apabila dalam beberapa kebijakan itu banyak yang
merugikan dan mengecewakan umat Islam. Kekecewaan ini akhirnya mendorong
sebagian besar kelompok kedua untuk menggunakan cara lain menyelamatkan
kepentingan umat Islam. Mereka berusaha memperkuat basis sosial pada level
bawah grass-root. Sehingga, diharapkan mampu menjadi balance
terhadap berbagai ketimpangan kebijaksanaan penguasa. Mayoritas mereka cenderung oposisi dengan penguasa dan non-
cooperative.
Jika kita tilik lebih jauh, dua paradigma diatas jelas sama-sama tidak akan
menyelesaikan permasalahan. Islam sebagai agama yang komprehensif dan integral
tidak pernah mendikotomi antara urusan yang bersifat duniawi (materiil) dengan sisi ukhrawi (spirituil). Karena kedua sisi inilah
yang membentuk karakter manusia sebagai makhluk. Oleh karena itu, dialektika
antara Islam dalam tataran teks (konsep) yang sarat dengan nilai-nilai
idealisme dengan perubahan zaman harus terus dilakukan agar umat Islam tidak diberi
lebel sebagai umat yang statis dan tertinggal jauh dengan kemajuan sains dan
teknologi. Disinilah sebenarnya letak inklusifisme Islam. Akan tetapi,
seringkali terma ini dimonopoli oleh mereka yang mengusung modernisasi dengan
jargon liberalisasi pemikiran. Mereka menganggap kelompok yang paling inklusif
dan bisa berinteraksi dengan dunia luar, sementara mereka yang masih
mempertahankan tradisi dan sulit berinteraksi dengan perubahan dan dunia luar
dicap sebagai kelompok yang eksklusif dan tidak tercerahkan.
Dua kutub perbedaan ini harus segera dicairkan, dan perlu dirumuskan paradigma
baru dalam memahami Islam agar tidak terjadi pemahaman yang parsial terhadap
ajarannya. Pemahaman yang terlalu sempit cendrung menyebabkan Islam sulit
dipertemukan dengan realitas kehidupan modern yang bergerak cepat. Padahal kita
sangat perlu jawaban-jawaban yang proporsional dari ajaran kita untuk menyikapi
hal tersebut. Sebaliknya memahami Islam dalam konteks lebih bebas dan berani
sampai mempersoalkan transendensi wahyu dan nash-nash tekstual lainnya, bisa
terjebak pada dekontruksi ajaran Islam itu sendiri. Padahal yang kita inginkan
sebenarnya adalah, bagaimana mencari titik temu antara Islam dan problematika
peradaban dan modernitas. Sekaligus menjawab beberapa tudingan miring yang
ditujukan kepada umat Islam, bahwa Islam identik dengan kemiskinan, kebodohan,
terbelakang dan tidak relevan lagi dengan zaman.
Jika kita analisa lebih jauh, ternyata kemajuan ‘modern’ itu sendiri
nisbi. Maju mundurnya sebuah sistem berbeda berdasarkan ruang dan waktu,
kebudayaan, ideologi dan agama yang dianut. Contoh sederhana, Hijab yang
diterapkan dalam Islam menurut persepsi Barat modern bisa diartikan sebagai
sebuah ketertinggalan yang sangat jauh dan tidak relevan dengan zaman. Karena
dulu, para wanita-wanita Eropa memakai pakaian yang dalam dan menutup aurat.
Tapi sekarang? Menurut mereka itu adalah masa lalu diabad pertengahan dimana
kondisinya jelas jauh berbeda dengan masa kini. Lalu ketika hegemoni Barat terhadap
dunia sudah merambah disegala sisi kehidupan, sehingga timbul stigma
ditengah-tengah kita bahwa Barat adalah standar modernitas, apakah lantas Islam
akan meng ’amin’ kan persepsi Barat dalam permasalahan ini?
Jika kemudian kita mengatakan tidak menerima hal itu, kita akan dicap
eksklusif?
Sumber kemajuan sepanjang sejarah manusia dimuka bumi adalah ilmu pengetahuan.
Lalu bagaimana perspketif Islam terhadap ilmu? Ilmu pengetahuan tersusun dari
pengertian-pengertian. Pengertian dilambangkan oleh kata, dan kata itu adalah
penamaan. Tuhan kemudian mengajarkan kepada manusia nama-nama, sehingga ia
mengetahui segalanya. Dan dengan pengetahuan tersebut manusialah yang diangkat
tuhan menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Sangat jelas perspektif Islam tentang
ilmu dan pengetahuan. Secara historis ini terbukti, dahulu Intelektual muslim
banyak belajar dari khazanah pengetahuan Yunani. Tapi usaha mereka tidak sampai
disitu, mereka mengembangkannya dalam konsep yang lebih luas. Tercatat, bahwa
Islam adalah pioneer pendirian universitas-universitas yang
mengembangkan berbagai khazanah ilmu. Universitas Kordova berdiri pada
pertengahan abad X yang membelah dirinya yang sesuai dengan diferensiasi ilmu
pengetahuan kedalam fakultas-fakultas: hukum, ketuhanan, kedokteran, ilmu ukur,
astronomi dll. Lalu mesjid Al Azhar yang didirikan pada tahun 972, akhirnya
menjadi cikal bakal universitas yang masih eksis hingga saat ini. Setelah itu,
baru peradaban Eropa menyusul mendirikan beberapa universitas setelah mayoritas
mereka menimba ilmu didunia Islam. Lalu di Paris didirikan universitas Salerno
tahun 1000 M, universitas Bologna pada tahun 1150 M, dan universitas Oxford
pada tahun 1168 M. Untuk selanjutnya berdiri berbagai universitas terkemuka di
Eropa setelah bangsa Eropa memegang obor Ilmu menggantikan Umat Islam yang
semakin terpuruk disemua lini kehidupan mereka.
Kenyataan bahwa saat ini Umat Islam digolongkan kepada umat yang terkebelakang
mau tidak mau harus kita akui. Sekaligus kita yakin bahwa hal itu hanya
permasalahan perputaraan waktu saja. Disamping itu harus ada usaha untuk
meretas kembali jalan menuju kejayaan tersebut dan tidak perlu pesimis dengan
kondisi yang ada. Seorang pemikir Inggris terkemuka George Bernard Shaw
pernah menulis: “Saya selalu memandang dengan penuh rasa hormat terhadap agama
(yang dibawa) Muhammad, karena keistimewaan vitalitasnya. Ia adalah
satu-satunya agama yang bagiku tampak memiliki kemampuan mengasimilasi
fase-fase perubahan eksistensi, sehingga dapat menarik manusia dari berbagai
usia. Saya berani meramalkan, bahwa apa yang diajarkan Muhammad di suatu masa
kelak akan dapat diterima oleh orang Eropa, sebagaimana pula telah mulai
diterima oleh orang Eropa masa kini”.
Sikap keterbukaan terhadap fenomena yang terjadi diluar diri kita merupakan
langkah awal untuk mensinergikan antara konsep yang dianut dengan arus
perubahan. Keterbukaan perlu dibatasi; tidak berarti menanggalkan identitas.
Karena identitas adalah karakter yang membedakan antara satu dengan yang lain.
Karakter kita tidak bisa dipaksakan harus sama dengan karakter orang lain.
Sebab yang terjadi akhir-akhir ini adalah, terciptanya sebuah stigma disetiap
otak kecil kita, bahwa segala produk Barat adalah mewakili nilai-nilai
modernitas sehingga layak untuk ditiru walaupun secara sadar sebenarnya sangat
kontradiksi dengan karakter yang dimiliki. Sikap ini kadang membuat kita
berkepribadian hipokrit, rancu identitas bahkan hanya sebatas konsumen sebuah
produk kemajuan, tidak mampu untuk menjadi produsen sekaligus penggagas.
Lalu rambu-rambu apa yang perlu kita cermati dalam mengusung dialektika antara
Islam dan Isu modernitas? Dalam Islam kita mengenal konsep at tsawabit wal
mutaghayyirat (Hal-hal yang tetap dan bisa berubah). Dari dua klasifikasi
ini kita tinggal melakukan studi kritik terhadap fenomena modernisasi yang
terjadi disekitar kita dan memberikan korelasi yang tepat antara keduanya.
Sangat sederhana memang, tapi memerlukan usaha yang sangat serius. Rasulullah
saw. sendiri dalam hal ini selalu mendorong umatnya untuk selalu memiliki
kreatifitas dan sikap inovatif sebagaimana dalam sebuah sabda Beliau : Antum
a’lamu biumuri dunyakum (kamu lebih tahu tentang urusan duniamu). Sebab
persoalan kehidupan yang sifatnya bersentuhan langsung dengan kebutuhan manusia
terhadap lingkungannya (materi) selalu berubah dari masa kemasa. Apabila Islam
tidak memberikan celah untuk diisi dengan hal yang sifatnya inovatif, sangat
wajar jika Islam dinilai eksklusif, namun kenyataannya kan tidak demikian.
Maka perspektif kita tentang batasan eksklusifisme dan inklusifisme itu sendiri
perlu terlebih dahulu lebih diperjelas agar tidak salah menempatkan istilah.
Sebab antara Islam sebagai konsep dan kondisi keberagamaan umat Islam yang
plural sangat berbeda. Ketika kita misalnya menemukan fenomena yang menunjukkan
adanya ekslusifisme dalam sebagian tubuh umat Islam, kita jangan sampai
terjebak untuk memvonis bahwa konsep Islam memang eksklusif. Tapi harus kita
kembalikan kepada bagaimana metode pemahaman yang mereka terapkan.
Catatan bagus mas,,,,:D
BalasHapus