Minggu, 06 Januari 2013

TAFSIR AYAT-AYAT KETUHANAN


TAFSIR AYAT-AYAT KETUHANAN

                I.       PENDAHULUAN
Orang Musyrik beranggapan bahwa Tuhan itu banyak, Tuhan butuh bantuan terhadap yang lainnya. Tapi, kita sebagai umat Islam sejati, harus mempercayai bahwa Tuhan itu Maha Esa, Tuhan tidak membutuhkan yang lainnya, dan Tuhan yang haq hanyalah Allah, dan kita harus mengetahui bahwasanya Allah juga mempunyai nama-nama agung yang lainnya. Dan kita juga harus mengetahui sifat-sifat Allah dan sesuatu yang berhubunyan dengan ketuhanan (Allah). Oleh karena itu, dalam makalah ini saya akan mencoba memaparkan tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ketuhanan.

            II.       POKOK BAHASAN
A.      Tafsir Surat Al-Ikhlas Ayat 1-4
B.       Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 110-111
C.       Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 22-24
D.      Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 48 & 136

         III.       PEMBAHASAN
A.      Tafsir Surat Al-Ikhlas Ayat 1-4
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
Artinya: 1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
a)   Asbabun Nuzul
Adh-Dhahaq meriwayatkan bahwa kaum musyrik pernah mengutus Amir ibn Thufail menghadap Rasulullah. Amir mengatakan kepada Nabi atas nama mereka: “Engkau telah memecahkan tongkat (persatuan) kami, dan engkau telah mencaci tuhan-tuhan kami. Engkau juga telah menentang agama nenek moyangmu sendiri. Jika engkau merasa miskin, maka kami akan jadikan engkau seorang yang kaya. Dan jika engkau gila, kami akan mengobati. Dan jika engkau mencintai seorang wanita, maka kami akan nikahkan dengannya”. Kemudian Nabi SAW menjawab “Aku tidak miskin, tidak gila dan tidak mencintai wanita. Aku adalah Rasulullah. Aku mengajak kalian dari penyembahan berhala kepada penyembahan Allah”. Kemudian mereka mengutus Amir sekali lagi. Mereka berpesan kepada Amir, “Katakanlah kepada Muhammad; jelaskanlah Tuhan yang disembahnya! Apakah terbuat dari emas atau perak?”. Kemudian Allah menurunkan surah ini.[1]
b)   Munasabah
Ayat-ayat dalam surat ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu menetapkan keesaan Allah secara murni dan menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya.[2]
c)    Tafsiran
Tafsirul Mufradat:
Ahad: satu, tidak banyak. Dzat-Nya satu. Allah tidak terdiri dari unsur-unsur kebendaan yang beraneka ragam dan bukan terdiri dari bahan pokok lainnya.
Ash-Shamad: yang selalu menjadi tempat bergantung ketika dalam keadaan yang penting (tempat meminta).
Al-Kafu’ & Al-Mukafi’: yang menyamai-Nya, dalam hal kemampuan dan kekuasaan-Nya.[3]
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
Katakanlah hai Muhammad kepada orang yang bertanya kepadamu mengenai sifat Tuhan, “Allah itu Esa. Maha Suci dari bilangan dan susunan. Sebab, jika dzat itu berbilang, maka berarti Tuhan membutuhkan semua bentuk kumpulan tersebut, sedang Allah tidak membutuhkan sesuatu apapun.[4] Kata “ahad” bermakna Ahadiyyatul Wujud, keesaan wujud. Karena itu, tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya dan tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Segala maujud yang lain hanyalah berkembang atau muncul dari wujud yang hakiki itu dan berkembang dari wujud Dzatiyyah itu. Oleh karena itu, Ia adalah keesaan pelaku. Tidak ada selain Dia sebagai pelaku yang hakiki terhadap sesuatu di alam wujud ini.[5]
 ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ
Allah-lah yang menjadi tempat bergantung semua hamba-hamba-Nya, dan mereka juga menghadapkan dirinya kepada-Nya untuk meminta agar permintaan mereka itu dikabulkan.[6]
ayat ini menjelaskan kebutuhan makhluk kepada-Nya, yakni hanya Allah Yang Maha Esa itulah tumpuan harapan yang dituju oleh semua makhluk guna memenuhi segala kebutuhan, permintaan  mereka, serta bergantung kepada-Nya segala sesuatu.[7]

öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa tafsir ayat ini ialah: Allah tidak melahirkan seperti Maryam, dan tidak dilahirkan seperti Isa. Juga tidak seperti Nabi ‘Uzair yang dilahirkan. Ayat ini merupakan jawaban terhadap keyakinan kaum nashrani yang mengatakan bahwa Isa Al-Masih adalah anak Allah. Juga merupakan bantahan terhadap keyakinan kaum Yahudi yang mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah.[8]
Setelah menjelaskan bahwa semua makhluk bergantung kepada-Nya, ayat ini membantah kepercayaan sementara orang tentang Tuhan dengan menyatakan bahwa Allah Yang Maha Esa itu tidak wajar dan tidak pula pernah beranak dan disamping itu Dia tidak diperanakkan yakni tidak dilahirkan dari bapak atau ibu. Dia tidak menciptakan anak, dan juga tidak dilahirkan dari bapak atau ibu. Tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.[9]
 öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
Tidak ada yang menyamai Allah. Ayat ini merupakan jawaban terhadap keyakinan orang-orang yang bodoh, yang beranggapan bahwa Allah itu ada yang menyamai-Nya dalam seluruh perbuatan-Nya. Keyakinan seperti ini juga dianut oleh kaum musyrik arab yang mengatakan bahwa para malaikat itu adalah sekutu Allah[10]
Setelah menjelaskan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, ayat ini menafikan sekali lagi segala sesuatu yang menyamai-Nya baik sebagai anak atau bapak atau selainnya, dengan menyatakan: tidak ada satupun baik dalam imajinasi apalagi dalam kenyataan yang setara dengan-Nya dan tidak juga ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.[11]
B.       Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 110-111
È@è% (#qãã÷Š$# ©!$# Írr& (#qãã÷Š$# z`»uH÷q§9$# ( $wƒr& $¨B (#qããôs? ã&s#sù âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 Ÿwur öygøgrB y7Ï?Ÿx|ÁÎ/ Ÿwur ôMÏù$sƒéB $pkÍ5 Æ÷tFö/$#ur tû÷üt/ y7Ï9ºsŒ WxÎ6y ÇÊÊÉÈ È@è%ur ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# óOs9 õÏ­Gtƒ #V$s!ur óOs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! Ô7ƒÎŽŸ° Îû Å7ù=ßJø9$# óOs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! @Í<ur z`ÏiB ÉeA%!$# ( çn÷ŽÉi9x.ur #MŽÎ7õ3s? ÇÊÊÊÈ
Artinya:110.  Katakanlah: "Serulah Allah atau Serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". 111.  Dan Katakanlah: "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
a)   Asbabun Nuzul
Makhul meriwayatkan, bahwa seorang lelaki musyrik mendengar Nabi SAW mengucapkan dalam sujudnya, “Ya Rahman, Ya Rahim”, maka dia katakan, “sesungguhnya Muhammad ber’azam, bahwa dia menyeru satu Tuhan, padahal dia menyeru dua Tuhan”. Maka Allah lalu menurunkan surat Al-Isra’ ayat 110 (tapi hanya sampai lafadz “falahul asmaaul husnaa”).[12]
Ahmad, Al-Bukhari, Muslim At-Tirmidzi dan lainnya, telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas. Katanya ayat ini (wala tajhar bishalatika sampai akhir ayat 110) turun ketika Rasulullah bersembunyi di Makkah (melakukan shalat secara sembunyi-sembunyi). Apabila beliau shalat bersama sahabat-sahabatnya, maka beliau membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Tapi, apabila hal itu terdengar oleh orang-orang musyrik, mereka mengecam Al-Qur’an, mengecam yang menurunkannya dan mengecam orang yang membawanya. Diriwayatkan pula, bahwa Abu Bakar mambaca Al-Qur’an dengan suara rendah, dan dia mengatakan: aku berbisik kepada Tuhanku, sedang Dia benar-benar mengetahui hajatku. Sementara itu, Umar mambaca Al-Qur’an dengan suara keras dan mengatakan: aku menusir setan dan membangunkan orang yang mengantuk. Maka setelah ayat ini turun, Rasulullah menyuruh Abu Bakar supaya meninggikan suaranya, sedang kepada Umar sedikit merendahkannya.[13]
Ibnu Jarir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Muhammad Ibnu Ka’ab yang telah menceritakan, bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani mereka mengatakan: kami penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu (berhala) yang kamu miliki, sedangkan dia (sekutu itu) tidak mempunyai milik. Dan orang-orang Shabi’in dan orang-orang Majusi mengatakan: seandainya tidak ada penolong-penolong-Nya, maka niscaya Allah akan terhina, lalu turunlah surat Al-Isra’ ayat 111.[14]

b)   Munasabah
Dalam ayat 110 dan 111 ini berhubungan dengan masalah keagungan Allah, di ayat 110 dijelaskan bahwa Allah juga mempunyai nama-nama agung yang lainnya, kemudian di ayat selanjutnya Allah menjelaskan sifat keagungan Beliau, bahwa Dia tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dan juga tidak mempunyai penolong.
c)    Tafsiran
È@è% (#qãã÷Š$# ©!$# Írr& (#qãã÷Š$# z`»uH÷q§9$# ( $wƒr& $¨B (#qããôs? ã&s#sù âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4
Katakanlah hai Rasul kepada orang-orang musyrik dari kaummu yang mengingkari nama Ar-Rahman: sebutlah nama Allah hai kaumku, atau sebutlah nama Ar-Rahman. Maka, dengan mana saja di antara nama-nama Allah Yang Maha Agung kamu menyebutnya, maka hal itu baik. Juga karena semua nama Allah adalah indah, karena semuanya memuat pengagungan dan pengqudusan terhadap Dzat Maujud Yang Paling Agung, yaitu pencipta langit dan bumi, sedang kedua nama ini adalah termasuk nama-nama Allah yang indah itu.[15]
Ÿwur öygøgrB y7Ï?Ÿx|ÁÎ/ Ÿwur ôMÏù$sƒéB $pkÍ5 Æ÷tFö/$#ur tû÷üt/ y7Ï9ºsŒ WxÎ6y ÇÊÊÉÈ
Dan janganlah kamu mengeraskan bacaanmu, sehingga orang-orang musyrik itu mendengar, lalu mereka mengecam Al-Qur’an, dan jangan pula kamu membacakannya kepada sahabat-sahabatmu dengan suara terlalu rendah, sehingga mereka tidak bisa mendengar Al-Qur’an, lalu mereka tak bisa mengambil Al-Qur’an darimu. Tetapi carilah jalan antara keras dan rendah.[16]
È@è%ur ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# óOs9 õÏ­Gtƒ #V$s!ur óOs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! Ô7ƒÎŽŸ° Îû Å7ù=ßJø9$# óOs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! @Í<ur z`ÏiB ÉeA%!$# ( çn÷ŽÉi9x.ur #MŽÎ7õ3s? ÇÊÊÊÈ
Dan katakanlah kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Sempurna: bagi-Mu-lah segala puji dan syukur atas segala kenikmatan-kenikmatan yang luas, yang telah Engkau anugerahkan kepada hamba-hamba-Mu. Disini Allah telah mensifati diri-Nya dengan tiga sifat:
·      Bahwa Dia tidak mempunyai anak. Karena yang mempunyai anak akan menahan segala anugerahnya demi anaknya saja, dan karena anak itu akan menggantikan bapaknya, setelah bapaknya meninggal dan binasa. Maha Suci Allah, Tuhan kita, dari yang seperti itu. Sedang barangsiapa yang seperti itu keadaannya, maka bagaimana pun dia takkan dapat mamberi anugerah. Dan karenanya, sama sekali tidak berhak mendapat pujian.
·      Bahwa Allah tidak mempunyai serikat dalam kerajaan-Nya. Andaikan Allah mempunyai serikat, maka tidaklah bisa diketahui, mana diantara keduanya yang patut mendapat pujian dan disyukuri.
·      Bahwa Allah tidak mempunyai penolong karena kehinaannya. Maksudnya, Dia tidak mengangkat seorangpun sebagai penolong karena kehinaannya, yang dengan pengangkatan seperti itu, penolong itu akan membelanya dari kehinaan.[17]
Agungkanlah Tuhanmu hai Rasul, dengan ucapan dan perbuatan yang telah Kami perintahkan kepadamu, untuk mengagungkan Allah dengannya. Dan taatilah Dia dalam segala yang Dia perintahkan dan larang kepadamu.[18]
C.      Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 22-24
uqèd ª!$# Ï%©!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( ÞOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»yg¤±9$#ur ( uqèd ß`»oH÷q§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇËËÈ uqèd ª!$# Ï%©!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd à7Î=yJø9$# â¨rà)ø9$# ãN»n=¡¡9$# ß`ÏB÷sßJø9$# ÚÆÏJøygßJø9$# âƒÍyèø9$# â$¬6yfø9$# çŽÉi9x6tGßJø9$# 4 z`»ysö6ß «!$# $£Jtã šcqà2ÎŽô³ç ÇËÌÈ uqèd ª!$# ß,Î=»yø9$# äÍ$t7ø9$# âÈhq|ÁßJø9$# ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡ßsø9$# 4 ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇËÍÈ
Artinya: 22.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 24.  Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
a)   Asbabun Nuzul
Dalam buku-buku asbabun nuzul, saya tidak menemukan asbabun nuzul dari surat ini.
b)   Munasabah
Sebelum ayat-ayat ini telah berulang-ulang disebut nama Allah atau pengganti nama-Nya serta sifat-sifat-Nya (26 kali menyebut kata Allah dan 16 kali pengganti atau penyebutan sifat-sifat-Nya) yang kesemuanya menunjuk keagungan Allah, disisi lain, ayat yang lalu menguraikan tentang keagungan Al-Qur’an, lalu di ayat-ayat ini berbicara tentang sifat-sifat Allah yang menurunkan kitab suci itu, sekaligus menunjuk kepada Allah yang disebut berulang-ulang pada ayat-ayat yang lalu.[19]
c)    Tafsiran
Tafsirul Mufradat:
Al-Ghaib: segala alam yang tidak terjangkau indera dan tidak kita lihat
Asy-Syahadah: benda-benda material yang dapat kita saksikan
Al-Quddus: yang suci dari segala kekurangan
As-Salam: makhluk selamat dari kedzaliman, karena Allah menciptakan mereka menurut aturan yang menjamin kemajuan mereka
Al-Mu’min: yang memberikan keamanan, sehingga setiap makhluk hidup dengan aman
Al-Aziz: yang menang dalam urusannya
Al-Jabbar: yang memaksa makhluk kepada apa yang dikehendaki-Nya
Al-Mutakabbir: yang sedemikian sombong dan agung
Al-Bari’: yang memunculkan segala sesuatu pada lembaran wujud, menurut sunnah-sunnah yang diletakkan-Nya dan tujuan yang karenanya segala sesuatu itu diciptakan
Al-Mushawwir: yang mengadakan segala sesuatu menurut bentuk-bentuk dan macam-macam bangunnya, sebagaimana dikehendaki-Nya
Al-Asmaul Husna: nama-nama yang menunjukkan makna-makna indah yang tampak dalam fenomena-fenomena wujud ini. Sistem kehidupan dan keindahan-keindahan yang ada di dalamnya ini menunjukkan kesempurnaan sifat-sifat Allah. Dan kesempurnaan sifat menunjukkan kepada kesempurnaan yang mempunyai sifat.[20]

uqèd ª!$# Ï%©!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( ÞOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»yg¤±9$#ur ( uqèd ß`»oH÷q§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇËËÈ
Sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia. Segala sesuatu yang disembah selain Dia, baik itu pohon, batu, berhala maupun malaikat adalah bathil. Dia mengetahui segala makhluk yang nyata bagi kita dan yang ghaib. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, baik di langit maupun di bumi. Dia mempunyai rahmat yang luas dan meliput segala makhluk. Dialah Yang Maha Rahman di dunia dan Maha Rahim di dunia dan akhirat.[21]
Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan Al-Qur’an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat yang lalu. Dia, Allah Yang Tiada Tuhan yang berhak disembah, serta tiada pencipta dan pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui yang ghaib baik yang nisbiyy/relatif maupun yang mutlak. Dialah saja Ar-Rahman pencurah rahmat yang bersifat sementara untuk seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini, lagi Ar-Rahim pencurah rahmat yang abadi bagi orang-orang beriman di akhirat nanti.[22]

 uqèd ª!$# Ï%©!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd à7Î=yJø9$# â¨rà)ø9$# ãN»n=¡¡9$# ß`ÏB÷sßJø9$# ÚÆÏJøygßJø9$# âƒÍyèø9$# â$¬6yfø9$# çŽÉi9x6tGßJø9$# 4 z`»ysö6ß «!$# $£Jtã šcqà2ÎŽô³ç ÇËÌÈ
Dialah Allah yang memiliki segala sesuatu dan mengendalikannya tanpa larangan dan tidak terelakkan, yang suci dari segala cela dan kekurangan, yang makhluk-Nya aman dari kedzaliman; karena Dialah yang mengawasi mereka.[23] Ayat ini menyebut beberapa sifat-Nya yang dapat menggugah yang taat mengingat-Nya untuk lebih mendekat kepada-Nya dan mengingatkan yang durhaka dan lupa kepada-Nya untuk berhati-hati.[24]

uqèd ª!$# ß,Î=»yø9$# äÍ$t7ø9$# âÈhq|ÁßJø9$# ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡ßsø9$# 4 ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇËÍÈ
Dialah Allah pencipta segala sesuatu dan memunculkannya ke alam wujud menurut sifat yang dikehendaki-Nya. Dialah yang sangat mendendam terhadap musuh-musuh-Nya dan sangat bijaksana dalam mengatur makhluk-Nya, dan Dia mengendalikan mereka kepada apa yang membawa kebaikan bagi mereka. Dialah yang sempurna qudrah dan ilmu-Nya.[25]
Penggalan awal ayat diatas berbeda dengan kedua ayat sebelumnya yang dimulai dengan alladzii laa ilaaha illaa huwa. Disini langsung dimulai dengan menunjuk-Nya sambil menyebut sifat-sifat-Nya. Dimulainya kedua ayat yang lalu seperti itu, karena kesebelas sifat yang disebut disana adalah sifat-sifat yang mesti ada bagi Dzat yang berhak memiliki alam raya dan kuasa mengendalikannya. Keyakinan tentang ketuhanan dan kewajiban menyembah Allah semata bersumber dari disandangnya oleh Allah sifat-sifat tersebut. Dengan demikian, sifat-sifat itu berfungsi sebagai penjelasan mengapa Ketuhanan hanya milik Allah semata-mata dan mengapa hanya Dia sendiri yang harus disembah.[26]
D.      Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 48 & 136
1)     Surat An-Nisa’ Ayat 48
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya: 48.  Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.
a)   Asbabun Nuzul
Diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Thabrani dari Abu Ayyub Al-Anshari, katanya: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, lalu katanya “saya mempunyai seorang anak saudara laki-laki yang tidak henti-hentinya mengerjakan yang haram”. Tanya Rasulullah: apa agamanya?, jawabnya: dia melakukan shalat dan mengesakan Allah. Sabda Rasulullah “mintalah agamanya itu kepadanya, dan kalau dia keberatan, maka belilah!. Laki-laki itu pun melakukan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah tadi, tetapi keponakannya itu menolak. Maka kembalilah laki-laki itu kepada Rasulullah, katanya “saya lihat ia amat fanatik sekali kepada agamanya. Maka turunlah surat An-Nisa’: 48.[27]
b)   Munasabah
Di ayat ini masih berhubungan dengan ayat setelahnya, di ayat ini Allah menjelaskan tentang kekuasaan Allah dalam hal mengampuni dan tidaknya dosa seseorang, kemudian di ayat setelahnya juga menjelaskan tentang kekuasaan Allah dalam hal membersihkan diri seseorang yang dikehendaki-Nya.

c)    Tafsiran
Ada dua macam syirik kepada Allah:
Pertama, syirik dalam masalah uluhiyyah, yaitu perasaan akan adanya kekuasaan lain selain kekuasaan Allah Ta’ala dibelakang sebab-sebab dan sunnah-sunnah alam.
Kedua, syirik dalam masalah rububiyyah, yaitu mengambil sebagian hukum-hukum agama yang berupa penghalalan dan pengharaman dari sebagian manusia dengan meninggalkan wahyu.[28]
Allah memberitahu bahwa Dia tidak akan mengampuni hamba-Nya yang musyrik dan dapat mengampuni dosa-dosa selain syirik kepada siapa yang Dia kehendaki dari pada hamba-hamba-Nya.[29] Barangsiapa menjadikan sekutu-sekutu Allah Yang Mendirikan langit dan bumi, baik dengan jalan mengadakan, maupun dengan jalan mengharamkan dan menghalalkan, sesungguhnya ia telah membuat dosa yang bahayanya sangat besar, sehingga karena kebesarannya itu seluruh dosa dan kesalahan dipandang kecil. Ia patut untuk tidak diampuni, sedangkan lainnya dapat hilang dengan pengampunan.[30]
Konteks ayat ini juga mengandung tuduhan kepada kaum Yahudi sebagai pelaku perbuatan syirik dan mengandung seruan kepada mereka untuk beriman dan bertauhid secara murni, meskipun disini tidak disebutkan adanya perkataan atau tindakan mereka yang dianggap syirik.[31]
2)      Surat An-Nisa’ Ayat 136
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
Artinya: 136.  Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.
a)   Asbabun Nuzul
Di dalam buku-buku Asbabun Nuzul, saya tidak menemukan asbabun nuzul dalam ayat ini.
b)   Munasabah
Dalam ayat sebelum ini, Allah menyuruh kepada orang-orang yang beriman agar jadi orang yang benar-benar penegak keadilan dan menjadi saksi karena Allah. Kemudian dalam ayat ini juga menyuruh kepada orang-orang yang beriman agar tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Jadi, dalam ayat ini dan ayat sebelumnya menjelaskan tentang suruhan Allah kepada orang-orang Mu’min.
c)    Tafsiran
Khitab ini diarahkan kepada orang-orang Mu’min secara keseluruhannya, dan maknanya adalah: hendaklah kalian bertambah tenang dan yakin di dalam beriman, dan berimanlah kalian kepada Rasul-Nya yang merupakan penutup para Nabi, kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, dan kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul sebelumnya. Sebab, belum pernah Allah membiarkan para hamba-Nya dalam masa kapanpun dalam keadaan tidak menerima keterangan dan petunjuk.[32]
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mu’min agar tetap beriman sesempurna-sempurnanya, meliputi iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari kiamat. Sebab orang yang kafir mengingkari wujudnya Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab serta mengingkari akan adanya hari kiamat, maka orang yang demikian itu telah sesat sejauh-jauh kesesatan.[33]
Setelah memerintahkan supaya beriman kepada apa-apa yang disebutkan diatas, kemudian Allah mengancam orang yang kafir kepada semua itu. Bahwa sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan haq yang menyelamatkannya di akhirat kelak dari adzab yang pedih, dan memberinya kesenangan yang abadi.[34]

         IV.       ANALISIS
Disini saya akan menganalisis mengenai Surat Al-Ikhlas, biasanya nama surat di dalam Al-Qur’an diambilkan dari kata yang ada dalam surat itu, bisa dipermulaan surat atau ditengah-tengahnya. Tapi, kata-kata dalam surat Al-Ikhlas ini tidak ada kata “Al-Ikhlas”. Dari ilmu yang saya dapat dari Dosen saya yang ahli dibidang Ulumul Qur’an dan Tafsir, beliau bernama Ibu Nadzifah, M.S.I., AH. Beliau mengatakan yang kurang lebihnya seperti ini “surat ini dinamai Al-Ikhlas meskipun redaksi dalam isi surat ini tidak ada kata-kata Al-Ikhlas, karna arti dari Al-Ikhlas itu sendiri adalah murni. Kalau dikontekskan pada surat ini, yaitu karena isi dari surat ini adalah menetapkan keesaan Allah secara murni dan menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya”. Dan mengenai surat An-Nisa’ ayat 48 diterangkan bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Maksudnya adalah dosa syirik yang sampai pelakunya mati dia belum bertaubat, tapi kalau sebelum mati dia sudah bertaubat, maka dosa syiriknya bisa diampuni. Saya bisa bicara begini karena redaksi yang digunakan dalam ayat itu adalah “An-Yusyraka”(fi’il mudhari’ yang berarti sedang), bukan menggunakan fi’il madhi. Disamping itu Dosen Tafsir saya (Ibu Nadzifah) juga menyatakan demikian.
Dan dalam Surat Al-Ikhlas diatas, redaksinya menggunakan kata “ahad” bukan “wahid”. Dari segi bahasa, kata ahad dan wahid memang dari asal kata yang sama, tapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan, baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini ketika berfungsi sebagai sifat, tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid. Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya walaupun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya. Kalau hubungannya dalam Al-Qur’an, kata wahid berarti keesaan dzat-Nya, disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya. Tapi kalau ahad, hanya mengacu pada keesaan dzat-Nya.

            V.       SIMPULAN
Sesungguhnya Allah itu Maha Esa, Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya. Dan dalam berdoa kita boleh menggunakan Kata Ya Allah atau Ya Rahman atau nama-nama Allah yang lainnya. Dan dalam berdoa maupun dalam shalat kita jangan mengeluarkan suara yang keras ataupun suara yang pelan, tapi kita disuruh untuk melakukan tengah-tengahnya(tidak keras juga tidak pelan). Allah mengetahui yang ghaib dan yang nyata, dan Dia memiliki segala sifat keagungan dan kesempurnaan. Dan Allah tidak mengampuni dosa syirik yang sampai mati belum bertaubat, dan Allah mengampuni dosa yang selain itu. Dan kita sebagai orang mu’min diperintahkan supaya beriman kepada Allah, Rasul-Nya, Kitab yang diturunkan kepada Muhammad dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum Muhammad.

         VI.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan,kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekeliruan,untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AAMIIN.  



       [1] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 30, (Semarang: Toha Putra, 1985), Cet.1, Hlm.444.
       [2]  M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. 10, Hlm. 616.
       [3] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 445.
       [4] Ibid., Hlm. 446.
       [5] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jilid 24, (Jakarta: Gema Insani, 2002), Cet. 1, Hlm. 293.
       [6] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 446.
       [7] M. Quraish Shihab, Op. Cit., Hlm. 612.
       [8] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 447.                                      
       [9] M. Quraish Shihab, Op. Cit., Hlm. 614.
       [10] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 447.
       [11] M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
       [12] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Juz 15, Hlm. 211
       [13] Ibid., Hlm. 212
       [14] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain, Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru, 1990), Cet. 1, Hlm. 1183.
       [15] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Loc. Cit.
       [16] Ibid.
       [17] Ibid., Hlm. 212.
       [18] Ibid., Hlm. 213.
        [19] M. Quraisy Syihab, Op. Cit., Volume 14, Hlm. 134.
       [20] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Juz 28, Hlm. 93.
       [21] Ibid., Hlm. 96.
       [22] M. Quraisy Syihab, Loc. Cit.
       [23] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 96.
       [24]  M. Quraisy Syihab, Op. Cit., Hlm. 136.
       [25] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm.  98.
       [26] M. Quraisy Syihab, Op. Cit., Hlm.  147.
       [27] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi, Op. Cit., Jilid 1, Hlm. 2011.
       [28]  Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Juz 5, Hlm. 96.
       [29] Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), Cet.2, Hlm. 430.
       [30]  Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 98.
       [31] Sayyid Quthb, Op. Cit., Jilid 4, Hlm. 286.
       [32] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm. 302.
       [33] Salim Bahreisy, Op. Cit., Hlm. 574.
       [34] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Loc. Cit.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar