MODEL
MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS KEMITRAAN
I. PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari
masyarakat dunia, bagaimanapun bangsa Indonesia tidak mungkin dapat menghindari
atau mengelak dari pengaruh global. Hal ini telah kita sadari bahwa dalam era
globalisasi, batas-batas wilayah Negara bukan lagi merupakan halangan bagi
proses hubungan atau interaksi antar umat manusia di dunia untuk berbagai
kepentingan. Berbagai perubahan lingkungan strategis global tersebut terjadi,
baik karena dipicu oleh perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi maupun karena perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat
global. Masalah utama yang sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dalam
menghadapi era global ini adalah keterbatasan sumber daya manusia(SDM) yang
berkualitas untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik dalam
lingkup nasional maupun internasional. Memasuki era pasar bebas ASEAN 2003 dan
ASIA pasifik 2020, Indonesia dihadapkan pada masalah kesiapan dan kemampuan SDM
bangsa Indonesia relatif masih jauh
tertinggal dibandingkan Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Philipina,
Thailand, dan Singapura.
II. POKOK BAHASAN
Dalam
makalah ini, penulis akan membicarakan tentang:
A. Sumber
Daya Manusia Aparatur dan Bisnis Pendidikan Dalam Persaingan Global
B. Kualitas
dan Relevansi Pendidikan
C. Urgensi
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur
D. Urgensi
Peningkatan Kualitas Manajemen Pendidikan
III. PEMBAHASAN
A. Sumber Daya Manusia Aparatur dan Bisnis Pendidikan
Dalam Persaingan
Global
Khusus
sumber daya manusia aparatur (SDMA), dunia internasional saat ini juga masih
menganggap bahwa kualitas maupun citra birokrasi Indonesia masih buruk jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Dari jumlah 3,6 juta orang PNS, yang
betul-betul menjalankan tugas secara profesional dan menunjukkan produktivitas
tinggi hanya sekitar 60-65%. Adapun sisanya, belum mengalami banyak perubahan
sejak Menpan menggenjot profesionalisme dan produktivitas selama dua setengah
tahun terakhir (Media Indonesia, 30 Mei 2004:1). Implikasinya, daya saing
tenaga kerja Indonesia saat ini masih menempati posisi yang terendah di Asia
Tenggara. Oleh karena itu perlu diciptakan iklim dan kondisi yang memungkinkan
untuk peningkatan kualitas SDMA Indonesia, khususnya berkenaan dengan
profesionalisme dalam melaksanakan tugas pemerintahan maupun tugas-tugas
pembangunan di bidang infrastruktur. Hal ini sejalan dengan kebijakan strategis
dari kementrian PAN antara lain: 1) meningkatkan kualitas aparatur Negara
dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem
karir berdasarkan prestasi; 2) meningkatkan fungsi dan keprofesionalan
birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya dalam mengelola
kekayaan Negara secara transparan, bersih dan bebas dari penyalahgunaan
kekuasaan. Kebijakan strategis ini menunjukkan bahwa keprofesionalan bukan
hanya sekedar dilihat dari kecerdasan intelektual, tapi yang tidak kalah
pentingnya adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual,yang mengandung
makna moralitas dalam penyelenggaraan tugas.
Peningkatan
kualitas SDMA ini sangat penting,mengingat tantangan era global dan perdagangan
bebas yang menuntut kualitas SDM yang lebih kompetitif sesuai dengan kompetensi
yang dibutuhkan masyarakat dunia. Sebenarnya kebijakan desentralisasi yang kini
sedang berjalan merupakan artikulasi penting dalam perubahan manajemen
birokrasi yang sedang mengalami proses transformasi yang mengharuskan
ditegakkannya prinsip-prinsip good
governance. Proses transformasi ini mengindikasikan perlunya peningkatan
SDM di sektor publik maupun swasta dan masyarakat, agar bangsa Indonesia tidak
tertinggal dengan bangsa-bangsa lain. Peningkatan kualitas SDM ini dapat
dilakukan antara lain melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang sesuai
dengan kebutuhan peningkatan kinerja ditempat tugasnya. Namun kenyataannya saat
ini, dunia pendidikan kita sedang menghadapi masalah keterkaitan dan
kesepadanan antara program pendidikan dengan bidang tugas di unit kerjanya
masing-masing, sebagaimana dikemukakan pula oleh William (1970:21) yaitu: ”The spectacular expansion in the output of
students from higher education and from secondary education in many developing
countries during the last five years in several instances been accompanied by
alarming increases in the number of educated unemployed.The term educated
unemployed too easily suggests some sort of causal relationship between the
provision of additional education and the growth of unemployment”.
Visi
pendidikan hendaknya diarahkan untuk menyelesaikan berbagai masalah serta
diarahkan untuk menyesuaikan terhadap perubahan paradigma. Menurut Azzumardi
(2002:29) paradigma baru itu mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang
mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Pelaksanaan
pendidikan dimasa yang akan datang harus berorientasi pada aspirasi masyarakat,
pendidikan harus mengenali siapa pelanggannya , dan dari pelanggan ini
pendidikan memahami apa aspirasi dan kebutuhannya (Thoha, 1994:4). Adapun misi
yang perlu dilaksanakan dalam menghadapi tantangan millenium ketiga menurut
Huda (1999:10) adalah sebagai berikut:
1)
Membangun sistem pendidikan nasional
yang mampu mengembangkan SDM yang berkualitas dan mampu mengantisipasi kemajuan
IPTEK untuk menghadapi tantangan millennium ketiga.
2)
Menata manajemen pendidikan nasional
yang dapat menyerap aspirasi masyarakat serta dapat mendayagunakan potensi
masyarakat dan daerah dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
3)
Meningkatkan demokratisasi
penyelenggaraan pendidikan secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan
masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat.
Menurut
Tilaar dalam karyanya yang berjudul ‘Manajemen
Pendidikan Nasional’ (1999:181), saat
ini terdapat jurang pemisah antara dunia universitas dengan dunia kerja. Antara
keduanya tidak terdapat hubungan yang saling menguntungkan, kampus terisolasi
dari dunia industri atau dunia kerja nyata. Padahal menurut laporan Bank Dunia,
Negara Korea saja sejak tahun 1980 sudah aktif mempromosikan konsep kemitraan
universitas dan industry (The World Bank,
2002:12).
Dalam memasuki era
pasar bebas AFTA (2003) dan APEC (2020) perguruan tinggi asing diprediksikan
akan lebih leluasa bergerak, karena mereka dipastikan memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif yang jauh lebih signifikan jika dibandingkan dengan
lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Oleh karena itu praktis pendidikan tinggi Indonesia harus berhati-hati serta
terus mencermati dan mewaspadai hadirnya pendidikan tinggi asing yang akan
menjadi pesaing utama pendidikan kita (Rahardi, 2002:154) dan hasil didik dari
perguruan tinggi di Indonesia nantinya harus mampu bersaing secara terbuka
dengan para pekerja dari negara-negara di kawasan ASEAN.
B. Kualitas dan Relevansi Pendidikan
Sistem pendidikan jarak
jauh pada perguruan tinggi swasta pernah dilarang pemerintah melalui keputusan
Menteri Pendidikan Nasional, karena dianggap telah merugikan masyarakat.
Sebelum itu banyak warga masyarakat yang datang ke lembaga pendidikan semacam
itu hanya untuk mencari gelar dengan belajar dua minggu sampai dua bulan saja
(Harian Media Indonesia, 31 Maret 2004:26). Saat ini sudah ada tindakan tegas
dari pemerintah denga menangkap aktor-aktor intelektual yang mengelola
pendidikan tanpa izin dan memberikan gelar-gelar palsu. Bahkan iklan di
berbagai media gencar mensosialisasikan UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dengan
mengancam sanksi hukuman bagi penjual maupun pembeli ijazah palsu.Pemerintah
meminta hati-hati kepada masyarakat dalam memilih perguruan tinggi. Pemerintah
saat ini sedang membuat rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai aturan
pendirian lembaga pendidikan jarak jauh dan lembaga pendidikan kelas jauh.
Kalaupun para pegawai
mengikuti pendidikan di lembaga yang resmi dan mengikuti program regular, namun
dengan berbagai pertimbangan sebagian besar diantara mereka mengikuti program
studi yang dirasakan mudah menyelesaikannya, tanpa mempertimbangkan
relevansinya dengan kebutuhan SDMA di unit kerjanya. Sekali lagi,mereka hanya
mengejar gelar semata untuk kepentingan kenaikan pangkat. Dan ini tidak
bertentangan dengan aturan yang ada, karena peraturan kenaikan pangkatnya tidak
secara spesifik mensyaratkan gelar pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas. Inilah
masalah yang saat ini dihadapi oleh setiap Departemen. Sebagai contoh di
Departemen Pekerjaan Umum, perilaku seperti ini sangat mungkin terjadi
mengingat dari 11.312 pegawai Departemen Pekerjaan Umum, lebih dari setengahnya
(5.978 orang) memiliki latar belakang pendidikan non teknik. Disamping itu
masih ada sekitar 5.032 orang hanya memiliki ijazah SLTA, dan dari jumlah itu
hanya 2.387 orang memiliki ijizah SLTA Teknik, selebihnya berlatar belakang
pendidikan sosial. Kondisi yang lebih parah lagi akan dijumpai pada kondisi
Sumber Daya Manusia yang menangai pembangunan bidang pekerjaan umum di tingkat
propinsi dan tingkat kota / kabupaten di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu,untuk
mengantisipasi merebaknya perilaku asal mengikuti pendidikan serta dalam upaya
menjawab permasalahan kualitas SDMA yang ada, maka penyelenggaraan pendidikan
profesional kedinasan sangat penting mengingat kenyataan saat itu menunjukkan bahwa
Universitas kita lebih mementingkan pembentukan intelektual serta penguasaan
ketrampilan atau kiat-kiat tertentu, tetapi belum memberikan perhatian kepada
terbentuknya sikap profesionalisme (Tilaar, 1998:180). Pendidikan seharusnya
mampu memberikan pengetahuan ketrampilan dan kompetensi kepada peserta didik, sehingga
mereka dapat berperan dalam mengisi berbagai lapangan kerja yang diperlukan
dalam penyelenggaraan pembangunan di berbagai daerah.
C. Urgensi Peningkatan Kualitas Sumber
Daya Manusia Aparatur
Menurut Rukmana dalam
bukunya yang berjudul ‘Strategic Partnering’ (2006:9) mengatakan bahwa pembangunan
infrastruktur di berbagai daerah diseluruh Indonesia sangat penting dan
strategis karena sangat mendukung terhadap berbagai kegiatan ekonomi, social
dan budaya. Pembangunan infrastruktur akan sangat menentukan tingkat
pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena itu
perlu perhatian khusus terhadap Sumber Daya Manusia yang menangani pembangunan
infrastruktur ini baik di tingkat pusat maupun di daerah. Kesungguhan dalam
memperhatikan SDM ini semakin penting, mengingat masalah utama yang umumnya dihadapi dalam
penyelenggaraan pembangunan
infrastruktur di Indonesia yakni rendahnya kualitas SDM, khususnya SDM
yang menangani pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum di Pemda.
Propinsi, Pemda. Kota dan Pemda. Kabupaten.
Ditengah-tengah polemik
dan pro kontra pendirian sekolah tinggi kedinasan, bahkan jauh sebelum
terbitnya UU No.20/2003, Departemen Pekerjaan Umum sejak tahun 1998 sudah
merubah pola penanganan pendidikan kedinasan, tidak lagi mengelola pendidikan
kedinasan sendiri, tetapi menggunakan pola kerjasama kemitraan dengan berbagai
Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia dalam jenjang Diploma (D3 dan D4) dan
Magister (Rukmana, 2006:10) dan pola kerjasama kemitraan ini merupakan
pengembangan dari kegiatan yang sudah dirintis sebelumnya (sejak tahun 1952)
dalam penyelenggaraan pendidikan jenjang Diploma 3. Pada tahap pertama
(1952-1972) penyelenggaraan pendidikan ini dilakukan sendiri dengan mendirikan
Akademi Teknik Pekerjaan Umum dan Tenaga (ATPUT); Tahap kedua (1972-19988)
penyelenggaraannya berafiliasi dengan tiga perguruan tinggi terkemuka yakni
ITB, UNDIP, dan ITS, dengan mendirikan Lembaga Politeknik Pekerjaan Umum (LPPU),
dan pengembangan selanjutnya melalui model kemitraan dengan perguruan tinggi
nasional.
D. Urgensi Peningkatan Kualitas
Manajemen Pendidikan
Penyelenggaraan
pendidikan yang efektif dan efisien harus mengacu pada kepentingan masyarakat
yang kompleks dan terus berubah di masa-masa yang akan datang serta harus dapat
menyerap aspirasi anggota masyarakat (Huda, 1999:10). Oleh karena itu, kapabilitas
dan kompetensi kerja yang dimiliki oleh para lulusan pendidikan profesional
harus memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan kompetensi
kerja yang benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat pengguna jasa lulusan (Rahardi, 2002:164) dan untuk meningkatkan
kualitas dan relevansi pendidikan perlu perencanaan yang harmonis antara manpower planning dan planning for education (William, 1970:19). Salah satu faktor
yang menyebabkan banyaknya educated
unemployed di Negara kita antara lain disebabkan kualitas manajemen pendidikan yang tidak profesional. Padahal
untuk mempertahankan kualitas manajemen pendidikan, paling sedikit harus
memiliki dua elemen penting, yakni sistem dan kualiitas tenaga pengajar (Greenwood
dan Gaunt, 1994:127), dalam kaitan itu penyelenggaraan pendidikan profesional
sangat penting mengingat kenyataan saat ini menunjukkan bahwa Universitas kita
lebih mementingkan pembentukan intelektual serta penguasaan ketrampilan atau
kiat-kiat tertentu, tetapi belum memberikan perhatian kepada terbentuknya sikap
profesionalisme.
Dewasa ini
proses belajar-mengajar yang terdapat di dalam kampus tidak mendorong kearah
terbentuknya sikap profesionalisme (Tilaar, 1998:180), dan dalam rangka
pemulihan kondisi perguruan tinggi yang kritis salah satunya adalah menjalin
hubungan yang saling menguntungkan antara pengusaha dan Perguruan Tinggi dalam
rangka menambah daya tampung dan peningkatan mutu serta relevansi lulusan
pendidikan tinggi dengan lapangan kerja. Kerja sama antara
industri dan perguruan tinggi dapat menghasilkan sinergi antara dua kekuatan
yang punya uang dan fasilitas dengan kekuatan yang punya gagasan, tentu saja di
dalam kerja sama tersebut perlu dikultivasi persaingan yang sehat antar
perguruan tinggi, sehingga terjadi kemajuan di dalam perkembangan perguruan
tinggi masing-masing (Supriadi, 1997:59).
Dalam hal ini
kemitraan yang strategis didefinisikan oleh Lendrum dalam bukunya yang berjudul
‘The Strategic Patnering Handbook,The
Practitioners’guide to Partnerships and
Alliances’ (2003:7) sebagai kerja sama jangka panjang yang didasarkan
saling percaya antar lembaga yang bermitra dan memberikan manfaat bagi semua
institusi yang bermitra. Menurut Bell (1997:25) kemitraan yang kuat yakni
kemitraan yang berlandaskan kepercayaan, tujuan bersama, kejujuran dan
keseimbangan. Perilaku kemitraan yang baik antara lain (1) harus setia kepada
kemitraan, dengan mendahulukan keuntungan bersama; (2) menghargai perbedaan
sudut pandang dan budaya organisasi masing-masing mitra; (3) bersikap lapang
dada atas kekurangan yang ada pada mitra, karena tidak ada yang sempurna; (4)
tidak berprasangka buruk terhadap mitra kerja (Cohen dan David, 2000:394).
Kerjasama kemitraan yang efektif adalah kerjasama kemitraan yang saling
menguntungkan antar pihak, dengan menempatkan kedua pihak dalam posisi
sederajat. Dalam kemitraan yang efektif harus mengandung pengertian upaya
memenuhi keinginan masing-masing pihak yang bermitra (Bell, 1997:35) dan
kemitraan yang efektif harus mengandung makna lebih jauh melampaui pengertian
sinergis.
IV. SIMPULAN
Dalam
rangka meningkatkan kualitas SDM di berbagai daerah sebagai konsekwensi logis
diterapkannya kebijakan otonomi daerah serta dalam upaya pemulihan kondisi
perguruan tinggi yang menghadapi masalah serius dalam hal kualitas dan
relevansi, menjalin kemitraan yang saling menguntungkan antara Departemen
Teknis dan Perguruan Tinggi merupakan hal yang sangat strategis. Kerjasama
kemitraan ini diyakini dapat meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan
pendidikan tinggi dengan lapangan kerja. Kerjasama antara Daparteman Teknis,
Pemda dan perguruan tinggi dapat menghasilkan sinergi antara dua kekuatan besar
yang memiliki sumber daya dengan kekuatan yang memiliki berbagai keahlian dalam
berbagai bidang yang dibutuhkan Departemen Teknis. Namun, kelemahan yang ditemui
dilapangan, dalam praktek kemitraan ini belum sepenuhnya berorientasi pada
faktor-faktor strategis kemitraan.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat penulis buat, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu penulis membutuhkan kritik dan saran bagi para pambaca
sekalian. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, AAMIIN.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, 2002. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Bell, Chip, 1997. Customers as Partners, Jakarta: Profesional
Books.
Cohn, A. R. dan
David L. Brandford, 2000. Influence
Without Authority, Batam: Interaksasa.
Greenwood, M.
and Helen J. Gaunt, 1994. Total Quality
Management for Schools, London:
Cassell.
Huda, Nuril, 1999. Desentralisasi
Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Restu Agung.
Lendrum, Toni, 2003. The
Strategic Patnering Handbook, The Practitioners’guide
to Partnerships and Alliances, Australia: The McGraw-Hill Companies.
Platt, W. J.,
1970. Research for Educational Planning,
Notes on Emergent Needs, England: A
Plume Book.
Rahardi, Kunjana, 2002. Kurikulum
Berbasis Kompetensi dan Implementesinya
Pada Pendidikan Tinggi Jalur
Profesional, Yogyakarta: UAJ.
Rukmana, Nana,
2006. Strategic Partnering, Bandung:
ALFABETA.
Sufyarma, M.,
2003. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan,
Bandung: Alfabeta.
Supriadi, Dedi,
1997. Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di
Indonesia, Jakarta: Rosda Jayaputra.
Tilaar, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.
Thoha,
Miftah, 1999. Menyoal Birokrasi Publik, Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar