KONSEP
KEPEMIMPINAN MENURUT SUNNI
A. Konsep
nashb al-Imam ( Pemilihan Pemimpin ) Menurut Sunni
Peristia tahkim yang menimbulkan
konfli berkepanjangan di antara para sahabat Nabi menjadikan sikap perilaku
politik umat islam terkotak-kotak menjadi beberapa aliran: syiah, khawarij,
mu’tazilah, dan Ahl al-sunnah wa al-jama’ah ( sunni ).
Sunni sebagai salah satu dari aliran
dalam islam, mendasarkan teori politiknya dan praktek-praktek yang di lakukan
oleh khulafa’ ar-rasyidin dalam
berbagai aspek politiknya, mulai dari bentuk Negara, prosedur pengangkatan
imam, kualifikasi seorang pemimipin dan undang-undang yang harus diterapkan
dalam suatu Negara.
Berpijak dari sikap perilaku (uswah al-hasanah), khlafa’ ar-rosyidin
dalam memimpin Negara, maka para digma pemikiran politik sunni secara umum
didasarkan atas empat prinsip. Pertama, berdasarkan
kualitas dan kemampuan seorang imam. Kedua,
bii’at yaitu perjanjian yang disepakati oleh, mayoritas umat islam dalam
pemilihan kepala Negara yang dilakukan oleh ahl
al-hall wa al’aqd.ketiga prinsip musyawarah (syura’) yaitu sebuah prinsip
konsultasi bersama untuk membahas pemilihan imam (kholifah). Keempat, prinsip keadilan. Kedilan
menurut islam adalah nilai-nilai fundamental (fundamental values) dan nilai
universal (universal values) yang berlaku dalam undang-undang ataupun dalam
tekhnik operasional.
Dari empat prinsip diatas, maka
secara teknis operasional pemilihan pemimpin tidak terlepas dari tiga unsure
teknis, pertama: pemilihan pemimpin berdasarkan wasiat, kedua: pemilhan
pemimpin berdasarkan pemilihan ahl al-hall wa al-‘aqd, ketiga: pemilihan
pemimpin berdasarkan dukungan dari kekuatan rakyat. Ketiga konsep ini dapat
tercermin dari berbagai pendapat pemikiran politik sunni yang terkemuka dalam
sejarah islam, diantaranya yaitu:
1. Al-baqilani
Adapun pemikiran politiknya banyak tertuang dalam bukunya yang berjudul at-tahmid fi ar-radd ala al-mulhidat wa
al-khawarij wa al-mu’tazilat.
2.
Al-baghdadi
Formulasi
doktrin politik al-Baghdadi terdapat hanya dalam karya monumentalnya yang
berjudul: ushul ad-din.
3. Ibn Abi
Rabi
Teori poliyiknya tertuang dalam
karya monumental yang berjudul: suluk a;-mamalik fi tadbir al-mamalik.
4.
Al-mawardi
Pemikiranya sangat berpengaruh
dikalangan daulat Abasiyah. Sebagai pemikir terkemuka dari madzhab syafi’I
kesinukanya menjadikan dia banyaknterkenal di berbagai kota.
5.
Al-juwaini
karya
teologinya, kitab al-irsyad dan lam’u al-adillah. Dia hidup pada masa ahir
daulah Abasiyyah.
6. Al-ghozali
Pada masa ini berkembang subur
sebagai mazhab dan aliran, baik dalam bidang aqidah seperti: aliran
asy’ariyyah, aliran mu’tazilah, aliran syi’ah, maupun dalam bidang hukum.
7.
Ibn taimiyyah
Gagasan
politiknya dia banyak dituangkan dalam karya-karya seperti: as-siyasah fi
ishlah al-ra’ wa ar-ra’iyyah dan minhaj as-sunnah.
8.
Ibn khaldun Pemikiran politiknya banyak
tertuang dalam karya monumentalnya yang diberi nama muqoddimat.
Adapun paradigm nash al-imam menurut sunni ada
tiga nodel, yaitu:
1.
Pemilihan pemimpin
berdasakan wasiat
Menurut al-baghdadi untuk menjaga
keadilan dalam pemilihan kepala Negara maka diadakan pemba’iataian antara
kepala Negara dan rakyat sebagai wujud adanya perjanjian dan kontrak social
diantara kedua belah pihak, keduanya harus saling melengkapi terhadap undang-undang
yang telah disepakati.
Pendapat al-baghdadi didukung oleh
pendapat al-mawardi. Menurut al-mawardi pengangkatan kepala Negara dengan cara
menunjukan wasiat adalah berdasarkan ijma’, yaitu kesepakatan ittifaq umat
islam terhadap pengangkatan umar ibn khottab yang ditunjuk abu bakar (yang pada
waktu itu sebagai kholifah).
Ibn abi rabi’ juga berpendapat
dengan pemikiran al-baghdadi dan al-mawardi tentang pengangkatan kepala Negara
dengan model penunjukan wasiat, sikap ini didasarkan atas praktek-praktek
pengangkatan kholifah pada masa daulat abasiyyah yang berdasarkan turun temurun
atas pertimbangan kerabat.
2. Pengangkatan kepala Negara melaui pemilihan
ahl al-hall wa al-‘aqd
Model pertama adalah pendapat
al-bagillani. Menurut dia bahwa pengangkatan kepala Negara harus melaui jalan
pemilihan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd, walaupun
ditetapkan oleh satu orangdalam pemilihanya. Menurut al-baqillani tidak
sah mnetapkan dua atau lebih kepala Negara atau imam dalam satu waktu yang
bersamaan.Pandangan al-baqilani ini tampaknya dimaksudkan untuk menjaga
jeutuhan dan kesatuan umat islam dalam satu kerajaan.
Sebagaimana pendapat al-baqilani
adalah pendapat al-juwaini (imam haramain). Menurut dia, pengangkatan imam
harus dilakukan oleh perwakilan dari ahl al-hall wa al-‘aqd, walaupun tidak
melakukan ba’iat secara umum atas pemilihanya. Menurut al-juwaini pemilihan
aleh ahl al-hall wa al-‘aqd tidak ada ketentuan harus melibatkan semua unsure
kelompok masyarakat.
Model kedua pemilihan sah apabila
ditetapkan oleh dua orang ataulebih dari anggot ahl al-hall wa al-‘aqd. Model
ini kemukakan oleh al-mawardi, menurutnya pemilihan model kepala Negara harus
melalui penetapan dari anggota ahl al-hall wa al-‘aqd.karena mempunyai wewenang
mengangkat, mengikat, dan melepaskanya. Menurut al-mawardi tugas dari ahl
al-hall wa al-‘aqd adalah melakukan penelitian dan uji kelayaan terhadap calon
kholifah terutama berkautan dengan syarat-syarat kholifah. Syarat ahl al-hall
wa al-‘aqd Maka al-mawardi mensyaratkan seorang wakil pemiliha hrus: 1.
Bersifat adil, 2. Berilmu pengetahuan luas sehingga mengetahui siapa imam yang
pantas dan berhak dipilih, 3. Memiliki wawasan yang kearifan.
3. Pemilihan kepala Negara berdasarkan dukungan
ahl al-syaukhah (kelompok yang kuat)
Konsep ibn taimiyyah memberikan
pengertian bahwa bai’at mempunyai arti penting dalam nash al-imam ini, oleh
karnanya bai’at harus dilakukan oleh semua komponin-komponen masyarakat (bai’at
al-ammah).
Ada hal yang menarik terhadap
konsep nashhhb al-imam ibn taimiyyah ini, dari paradigma ini. Menurut
pendapatnya pemilihan kholifah melalui “ system perwakilan” dan “wasiat” merupakan kebohongan besar, sehingga klaim
syi’ah tentang pengangkatan ali oleh Allah (wahyu) itu tidak benar dan tidak
sesuai dengan ajaran islam.
KritIk ibn taimiyyah terhadap
elittisme yang tergabung dalam ahl al-hall wa al-‘aqd merupakan kekhawatiran
terhadap lembaga tersebut melakukan keputusan-keputusan dan tindakan yang
berlebihan dan melenceng dari al-Qur’an, karena dengan sifat
kesewenang-wenangan yang diberikan kepada lembaga tersebut akan menyambat
pendapat-pendapat yang dalam masyarakat’ padahal di dalam al-Qur’an tidak
mengajarkan yang demikian.
Dalam konteks ini pendapat ibn
taimiyyah dan al-ghazali dimana kepercayaan imam yang didukung oleh ahl
al-syaukah harus diterima demi kepentingan pelaksanaan syari’ah dan keamana
Negara muslimin.
B.
Pro Kontra
Ulama “ Sunni “ terhadap Wanita Sebagai Pemimpin
Persyaratan yang ditetapkan oleh
ulama sunni terhadap seorang kholifah bertujuan untuk menegakan Negara yang
islami dan ideal yaitu terwujudnya Negara yang demokratis, berkeadilan dan
terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui pemimpin terbaik yang diharapkan dapat
membentuk sebuah Negara yang adil dan makmur. Demi terciptanya Negara yang adil
dan sejahtera, maka seorang pemimpin harus memenuhi 1). Sebagai anggota dari
keluarga raja, artinya dia masih mempunyai pertalian keturunan dengan raja yang
berkuasa sebelumnya. 2). Bercita-cita besar, berpendidikan tinggi dan berakhlak
mulia. 3). Pandanganya kokoh dan mantap. 4). Memiliki kekayaan yang besar. 6).
Memiliki pembantu-pembantu yang berloyalitas tinggi. Ada hal yang menarik
terhadap syarat-syarat imam yang dikemukakan oleh ibn abi rabi’ dimana dia
tidak mencantumkan kepala Negara harus dari suku quraisy. Menurutnya, seorang
raja cukup hanya seorang anggota dekat dari raja yang berkuasa.
Menurut al-baghdadi, kualifiakasi
seorang pemimpin harus memiliki kualitas: 1). Berilmu pengetahuan, terutama
ilmu syari’ah yang berkaitan dengan hukum. 2). Bersifat jujur dan shaleh. 3).
Bertindak adil dalam melaksanakan tugas pemerintah. 4). Pandai dalam mengatur
pemerintahan dan administrasi Negara. 5). Berasal dari keturunan suku qurqisy. Tampaknya
al-baghdadi mempunyai keyakinan, bahwa suku quraisy merupakan syarat mutlak
dalam sebuah kepimpinan karena dia menggap bahwa keunggulan, kepercayaanya
dalam memegang keistimewaan-keistimewaan lain yang menurutnya tidak diragukan
lagi kualitasnya.
Pandangan al-mawardi seorang
kepala Negara harus mempunyai kriteria-kriteria ilmu sebagai berikut: 1). Berlaku adil. 2).
Berilmu pengetahuan terutama ilmu syari’ah, 3). Sehat pendengaran, penglihatan
dan lisan, 4). Memiliki anggota tubuh yang sempurna, 5). Berwawasan luas dalam
,mengatur rakyat dan mengelola untuk kemaslahatan umum, 6). Kuat, kokoh dan
pembarani dalam menghadapi musuh dan melindungi rakyat, 7). Dari suku quraisy.
Syarat yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan
kesempurnaan jasmani bagi al-mawardi ada dua macam. Pertama apabila seorang kepala nagara kurang sempurna fisiknya
namun kekurangan fisik tidak mempengaruhi terhadap kemampuan mereka dalam
mengatur Negara, memprtahankan Negara, melindungi rakyat, menentang berlaku
musuh, berlaku adil dan masih mampu untuk mensejahterakan rakyat maka
kekurangan fisik tersebut tidak membtalkan syarat dalam pengangkatan kepala
Negara. Kedua, kepala Negara yang
kurang sempurna badan jasmaniyahnya seperti tidak melihat, tidak dapat
mendengar, tidak dapat berjalan dan lain-lain, yang kekurangan fisik tersebut
dapat mempengaruhi kemampuan dan kualitas sebagai pemimpij Negara maka hal
tersebut dapat membatalkan seorang kepala Negara, artinya dia tidak ;layak
sebagai imam (kepala Negara).
Bagi al-juwaini, seorang kepala
Negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Seorang mujtahid,
sehingga ia mengusai berbagai hukum. 2). Mampu mengurus pemersalahan dengan
baik. 3). Memiliki wawasan untuk kemajuan muslim. 4). Kokoh dan pandai strategi
perang (pandai dalam ilmu-ilmu kemiliteran). 5). Memilikin sifat lemah lembut.
6). Adil (dalam menegakan hukum). 7). Laki-laki. Bebrapa syarat yang
dikemukakan oleh al-juwaini pemimpin harus mempunyai kemampuan (kifayat)
menggunakan kekuasaanya untuk mengatur semua permasalahan kenegaraan dan
kesejahteraan kemasyarakatan (bangsa).
Sementara menurut al-ghazali
mensyaratkan seorang imam harus memilkikualifikas: 1). Laki-laki yang dewasa
(baligh). 2). Berakal sehat. 3). Sehat penglihatan dan pendengaran. 4). Merdeka.
5). Dari suku quraisy. 6). Mempunyai kenyataan yang nyata (al-najat). 7).
Mempunyai kemampuan (kifayat). 8). Wara’. 9). Najat.
Menurut ibn taimiyyah pemilihan
seorang Negara hrus memilih putra Negara yang paling utama, kemudian mengangkat
yang layak dan sesuai. Namun bila tidak memenuhi syarat diatas, maka dapat
dipilih kualitas yang ada dibawahnya, karena pada dasarnya menurut taimoyyah
kekusaan kolektif tidak kekuasaan individu.
Menurut ibn khaldun, seorang
kepala Negara harus memenuhi lima syarat, 1). Berilmu pengetahuan etrutam
ilmu-ilmu syari’at (hukum islam), 2). Sanggup melaksanakan hukum sesuai dengan
undang-undang, sanggup memelihara tugas-tugas politik dan siasat berdiplomasi,
mengetahui solidaritas kelompok, mempunyai kemampuan melindungi agama, mampu
melawan musuh, mampu mengelola kepentingan umum. 3). Berlaku adil, adil menjadi
prasyarat penting karena dengan berlaku adil seorang kepala Negara dapat
melenyapkan terjadinya tindakan sewenag-wenang di dalam sebuah Negara. 4).
Sehat panca indra. 5). Keturunan dari quraisy.
Demikian juga pendapat al-ghazali
yang terkesan sangat fleksibel dan realitas. Menurutnya apabila tidak terpenuhi
persyaratan-persyaratan imam secara ideal, maka seorang imam dapat mengandalkan
orang lain yang mampu menangani masalah-masalah hukum dan kemiliteran.
Hal yang menarik terhadap pro dan
kontra di kalngan ulama sunni tentang kepemimpinan wanita di atas adalah ada
dua golongan kelompok disiplin sebuah ilmu menerapkan terhadap permasalahan
ilmu yang sama. Perdebatan antara kedua golongan ulam tampak jelas, para ulama
siyasah lebih mengerti terhadap kondisi masyarakat, tentang penerapan sebuah
term yang berkaitan dengan urusan politik, kenegaraan pemerintahan (seperti
pemilihan kepala Negara). Oleh karenanya dalam pro dan kontrak tentang
kepemimpinn wanita ini perlu dianalisis masalahnya secara tajam dan apabila
teorinya harus secara propesional dalam permaslahan-permasalahan yang terkait
dalam bidang politik dan yang terkait dalam bidang hukum.
Dari perbedaan di atas tentang
kepemimpinan wanita jelas, bahwa yang lebih berkompeten mmenganalisa
masalah-masalah politik adalah ulama siyyah. Mereka lebih mengerti terhadap
perinti-perinti kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Sehingga konterversi
yang ada tidak sebatas membicarakan halal haramnya seorang pemimpin wanita,
tapi wanita itu tersebut layak atau tidak untuknmenjadi pemimpin. Apakah dapat
menjaga keutuhan Negara atau tidak, dapat menciptakan keamanan, kesejahteraan,
peningkatan ekonomi atau tidak.
KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PERSEPEKTIF
NAHDLATUL ULAMA (NU)
Ø Konsep Nashb al-Imam Menurut NU
Pada
dasarnya dalam islam tidak memberikan konsep yan baku tentang mekanisme
pengangkatan sseorangb kepala Negara (nasb al-imam). Ini dibuktikan oleh
sejarah politik islam, mulai dari pemerintah khulafa’ ar-rosyidin sampai
runtuhnya daulat absolute abasiyyah dan munculnya kerajaan syi’ah. Tidak adanya
konsep nasb al-imam (pengangkatan kepala Negara), menjadikan bidang ini sebagai
masalah-masalah ijtihadiyyah teknik operasionalnya ditentukan oleh
masing-masing ulama sesuai dengan ketentuan lingkungan dan kondisi Negara yang
melingkupinya.
Tentang nashb al-imam dan dimokrasi dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Menurut pandangan islam, pada hakekatnya kekeuasaan
adalah amanat Allah yang diberikan kepada seluruh umat manusia yang kemudian
oleh manusia hanya boleh di berikan kepada pihak lain yang ahli untuk
mengengemban dan memikulnya.
2.
Bahwa keahlian mmegang amanat kekuasaan masyarakat
kemampuan, kejujuran, keadialn kejuangan yang senantiasa memihak pada pemberi
amanat.
3.
Proses pengangkatan kepemimpinan Negara sebagai
pengemban dan pemikul amanat menurut islam dilakukan dengan beberapa cara.
4.
Menurut paham aswaja bahwa membangun Negara adalah
wajib syar’i.
5.
Negara dimaksud harus dibangun di atas nilai-nilai
luhur ke-islaman.
6.
Untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut
dibutuhkan wujudnya pemerintahan yang demokratis.
7.
Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa diperlukan adanya kesadran dan keinginan yang kuat.
8.
Negara yang demokratis yang merupakan perwujudtan as-syura.
Ada tiga
prinsip pemikiran NU, dalam merumuskan konsep “mekanisme pemilihan kepala
Negara“ nasb al-imam:
1.
“al-amanah” kekuasaan Negara sebagai amanah yang
diberikan Allah kepada kita, di syaratkan bagi pengemban amanah harus dapat
dipercaya untuk mengatur Negara secara baik, jujur, adil, dan demokratis.
Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang menguasai terhadap berbagai hal
yang berkaitan dengan pengaturan Negara dan kepemerintahan. Pemilu berfungsi
alat penyaring politis yang akan mewakili dan membawa rakyat di dalam lembaga
perwakilan.
2.
Al-syura sebagai lembaga permusyawaratn, memainkan
peranan penting untuk menetukan orang yang dipandang paling baik dan paling
tepat dalam menduduki sebagai kepala Negara.
3.
Al-adalah, keadilan bagi NU merupakan hal yang
palin prinsip dalam mewujudkan Negara yang demokratis. Karena dalam islam
nkeadilan harus ditegakan di b umi ini, untuk menjaga kepentingan umat islam
dan mewujudkan tegaknya sebuah hukum.
1. Perdebatan Ulama NU tentang Presiden Wanita
Bagi NU
terdapat berbagai pertentangan di kalangan ulama’. Ada ulama mengatakan tidak
boleh wanita menjadi presiden dan sebagian lagi ada ulama yang mengatakan
wanita boleh menjadi presiden. Bagi ulama fiqih kebanyakan wanita tidak boleh
menjadi presiden, karena menurut hukum islam wanita tidak boleh menangani
masalah-masalah public (seperti peran social dan politik).
Sementara
itu majelis ulama Indonesia (MUI) memberi fatwa menolak dan tidak menerima
presiden wanita karena tidak sesuai dengan hukum islam, kecuali dalam keadaan
darurat. Di sisi lain, sebagian besar ulama NU mendukung atas bolehnya seorang
pemimpin Negara dari wanita, ini berdasarkan kepada pesan-pesa universal
al-Qur’an, yang secara historis kehadiran al-Qur’an adalah untuk membela
hak-hak dasar wanita.
KH. Sa’id
aqil siraj, MA, juga mengatakan bahwa penempatan dalil para yang menentang
presiden wanita itu kurang kuat,ena dalil-dalil tersebut konteksnya adalah
hukum bukan politik seperti mengqiyaskan pembagian antara laki-lakidan
perempuan dengan bagian 1:2 tidak bolehnya wanita menjadi hakim disamakan
dengan ketidak bolehaan wanita menjadi pemimpin kepala Negara, itu salah,
karena pembagian 1:2 dan masalah hakim merupakan wilayah hukum sedang
kepimpinan wanita itu merupakan masalh-masalah pilitik. Di samping itu KH. Dr.
sa’id aqil siradj, mengatakan bahwa pada dasarnya dalam al-Qur’an dan hadits
tidak terdapat pelarangan presiden wanita, karena hal ituntermasuk
masalah-masalah ijtihadiyyah.
KH.
Abdurahman wahid sendiri membagi corak islam di Indonesia menjadi dua yaitu
“islam cultural” dan “ islam formal”. Islam formal menghendaki islamisasi
terhadap pola-pola penyelenggaraan Negara dan system kenegaraan. Sementara
islam cultural hanya bergerak pada spiritnya saja, tanpa harus melaukan formalisasi
kenegaraan.
Menurut
Dr. muhamad AS. Hikmah, bahwa survey diatas merupakan persoalan-persoalan
ilmiah, tidak ada rekayasa dari sebuah partai untuk menjustifikasi terhadap
kepentinganya, karena survey itu merupakan alternative yang lebih baik untuk menyelesaikan
masala-masalah bias gender, dibanding harus melakukan dengan cara-cara
kekerasan.
Menurut
KH. Zainudin MZ dan KH. Noer iskandar, bahwa permasalahan presiden sebaiknya
kita serahkan kepada MPR, siapapun yang dipilih nanti, apakah laki-laki ataupun
perempuan wajib kita dukung yang penting pemimipin tersebut dapat membawa
kemaslahatan, menegakan ukhuwah islamiyah demi kemajuan bangsa dan Negara ini.
Kontroversi
tentang pro dan kontra terhadap persiden wanita menurut berbagai pengamat
politik mempunyai dampak yang tidak baik terhadap persatuan dan kesatuan
bangsa. Hal ini dapat dilihat berbagai demonstran yang mendukung mega dan
beberapa demonstran yang mendukung Habibie. Demonstran tersebut bertujuan untuk
memekasakan kehendaknya mendukung Megawati supaya menjadi presiden. Pendukung
habibie mayoritas menolak megawati karena mereka beralasan bahwa di dalam hukum
islam wanita tidak boleh menjadi seorang pemimimpin.
KH. Abdurrahman wahid (ketua PBNU) dan Amin rais (ketua PAN) ketika itu
menyatakan bahwa polarisasi yang muncul di masyarakat antara kubu magawati dan
kubu habibie sebagai calon presiden berpotensi besar menimbulkan konflik
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Para ulama berpendapat bahwa
permasalahan tentang persiden wanita dalam tujuan islam tidak ditentukan oleh
jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu untuk mensikapi realitas social dan politik yang begitu
membahayakan keutuhan bangsa dan menghindari perpecahan di antara kelompok demi
untuk meraih jabatan maka para ulama NU, Bali dan Nusa tenggara barat berkumpul
di pondok pesantren Raudlatut thalibin lateh kabupaten rembang. Pertemuan ini
di perkasai oleh KH. Cholil bisri dan KH. Dimyati ro’is, KH. Mustofa dan KH.
Nadzief zuhri. Dalam pertemuan ulama NU di Rembang ini menghasilkan keputusan
Sembilan butir yang isinya seruan kepada ulama pesantren dan seruan moral
kepada masyarakat untuk senantiasa menjaga keutuhan bangsa dan mendahulukan
kepentingan Negara dari pad kepentingan pribadi, isi seruan ulama NU sebagaimana
dalam lampiran.
Pada prinsipnya, seruan ulama yang terdiri dari Sembilan butiran di
atas, untuk mengingatkan kepada ulama khususnya dan bangsa Indonesia pada
umumnya untuk senantiasa mewaspadai terhadap upaya-upaya sekelompok orang untuk
politasi agama bagi kepentingan jabatan, pangkat yang sifatnya sementara dan
terlalu pribadi. Latar belakang munculnya politisasi agama ini jelas, yaitu
dengan maraknya gagasan-gagasan yang mengeksploitasi sentiment-sentimen
keagamaan demi mencapai tujuan politik, tanpa mempertimbangkan resiko dan
bahaya besar yang mengancam persatuan bangsa yang hal ini akan mewujudkan
konflik antar umat dan kelompok di masyarakat.
2. Kualifikasi
Presiden Menurut NU
Mekanisme
asy-syura yang dianut NU tentunya menganut system yang sudah berlaku di
Indonesia yaitu melalui siding umum MPR. Adapun kualifikasi presiden sepenuhnya
diserahkan dalam sidang umum MPR, karena MPR merupakan jelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karenanya MPR sebagai lembaga untuk memilih kepala Negara maka
NU memberikan rambu-rambu terhadap syarat-syarat kepala Negara yaitu harus mempunyai kepribadian yang jujur
(dapat dipercaya) dan mempunyai jiwa keadilan. NU menyebutkan terhadap
kritria-kriteria pemimpin yang pantas menjadi kepala Negara. Hal ini berbentuk
dengan rekomendasi politik yang berbunyi:
“Agar siding umum MPR mampu memilih dan
menetapkan kepemimpinan nasional yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia
masa kini dan masa depan serta mempunyai persyaratan kepemimpinan yang di
syar’iatkan oleh ajaran agama”
Rekomendasi
munas NU di ats mengandung dua pengertian denga kualifikasi presiden ini. Pertama, pemimpin Negara harus sesuai
dengan kebutuhan bangsa. Kedua,
pemimpin Negara harus mempuyai criteria atau syarat-syarat pemimpin menurut
islam. Bagi NU pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan bangsa adalah pemimpin
yang bisa dipercaya. Artinya dia dapat dipercaya oleh rakyat (pemimpin yang
legitimate) tidak melakukan korupsi,penyelewengan-penyelewengan terhadap
kekeyaan Negara dan berkeinginan besar mensejahterakan rakyat kecil.
Criteria
kedua seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat imam dalam hukum islam,
tetunya yang dikehendaki NU adalah islam sunni. Hal terpenting bagi seorang
yang masuk dalam kualifikasi pemimpin adalah kepala Negara yang mempunyai
kekuatan dan kecakapan (al-quwwah) dan pemimpin yang mempunyai integritas yang
tinggi (al-amanah). Kekuatan ini meliputi kekuatan yang berkaitan dengan
kemampuanya, dan kekuatan dari dukungan rakyat.
Syarat kedua adalah pemipin yang mempunyai
integritas yang tinggi. Bagi NU hakikat dari sebuah kekuasaan adalah amanat
dari Allah, oleh karenanya untuk mengemban amnat ini kekuasaab harus diberikan
kepada pemimpin yang mempunyai kemampuan tinggi (berilmu), mempunyai sifat
kejujuran, bersifat adil dan mau berkorban deemi nusa dan bangsa.
Keseluruhan
persyaratan pemimpin yang di paparkan NU jelas bahwa persyaratan pemimpin tidak
dilihat dari jenis kelaminya, namun dari kemampuan dan integritasnya memimpin
bangsa, artinya walaupun perempuan, namun mereka mempunyai kualitas, kapasitas
dan akseptabilitas yang tinggi, wanita di perbolehkan melakukan peran-peran
social, budaya, ekonomi, politik (termasuknya adalah menjadi presiden). Dengan
kedudukan wanita dalam proses system bernegara dan berbangsa telah terbuka
lebar untuk memasuki kawasan-kawasan public. Dengan catatan (bagi NU) harus
tanpa melupakan fungsi kodrati wanita.dengan kata lain tidak terlalu istimewa
kalau hanya memperjuangkan presiden wanita, namun disisi lain di sekeliling
(presiden wanita) tersebut masih banyak dari laki-laki,yang menimbulkan sebuah
kebijakan yang menimbulkan sebuah kebijakan yang merugiakan hak-hak wanita,
sehingga kepentingan wanita senantiasa dirugikan.
ANALISIS
Bagi NU,
permasalahan tentang presiden wanita, merupakan permasalahan khilafiyyah,
artinya NU saling menghargai terhadap pendapat tersebut. Namun yang menjadi
titik penting dalam masalah ini adalah apakah klaim diantara keduanya
melibatkan agama sebagai alat politasi demi untuk memenangkan kepentingan
pribdi mereka, karena permasalahan sangat erat sekali dengan muatan-muatan
politik. Bagi NU yang sudah kenyang dengan trik-trik politik mengingatkan agar
jangan sampai posisi agama dijadikan sebagai politisasi di jadikan sebagai
kepentingan jabatan., pangkat, kedudukan, pangkat dan harta. Sehingga mereka
nantinya akan menghalalkan segala cara yang menimbulkan adanya perpecahan dan
peperangan saudara di antara bangsa sendiri. Ulama NU juga menghimbau kepada
ormas islam untuk senantiasa menghimbau dan mengedepankan kepentingan bangsa
dan jangan sekali-kali memakai tangan Tuhan untuk memploitasi demi kepentingan
pribadi dan meraih ambisi jabatan. Berdasarkan atas dalil dan hukum syari’ah islam
yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin di karena kan
seorang wanita tidak boleh keluar dari rumah, seorang wanita sangat terbatas di
rumah tidak boleh diluar rumah dan mengqiyaskan mengharamkan wanita menjadi
pemimpin dengan ketidak bolehan wanita menjadi hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar