Minggu, 06 Januari 2013

Konsep Kepemimpinan Menurut Sunni



KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SUNNI

A.      Konsep nashb al-Imam ( Pemilihan Pemimpin ) Menurut Sunni
Peristia tahkim yang menimbulkan konfli berkepanjangan di antara para sahabat Nabi menjadikan sikap perilaku politik umat islam terkotak-kotak menjadi beberapa aliran: syiah, khawarij, mu’tazilah, dan Ahl al-sunnah wa al-jama’ah ( sunni ).
Sunni sebagai salah satu dari aliran dalam islam, mendasarkan teori politiknya dan praktek-praktek yang di lakukan oleh khulafa’ ar-rasyidin dalam berbagai aspek politiknya, mulai dari bentuk Negara, prosedur pengangkatan imam, kualifikasi seorang pemimipin dan undang-undang yang harus diterapkan dalam suatu Negara.
Berpijak dari sikap perilaku (uswah al-hasanah), khlafa’ ar-rosyidin dalam memimpin Negara, maka para digma pemikiran politik sunni secara umum didasarkan atas empat prinsip. Pertama, berdasarkan kualitas dan kemampuan seorang imam. Kedua, bii’at yaitu perjanjian yang disepakati oleh, mayoritas umat islam dalam pemilihan kepala Negara yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al’aqd.ketiga prinsip musyawarah (syura’) yaitu sebuah prinsip konsultasi bersama untuk membahas pemilihan imam (kholifah). Keempat, prinsip keadilan. Kedilan menurut islam adalah nilai-nilai fundamental (fundamental values) dan nilai universal (universal values) yang berlaku dalam undang-undang ataupun dalam tekhnik operasional.
Dari empat prinsip diatas, maka secara teknis operasional pemilihan pemimpin tidak terlepas dari tiga unsure teknis, pertama: pemilihan pemimpin berdasarkan wasiat, kedua: pemilhan pemimpin berdasarkan pemilihan ahl al-hall wa al-‘aqd, ketiga: pemilihan pemimpin berdasarkan dukungan dari kekuatan rakyat. Ketiga konsep ini dapat tercermin dari berbagai pendapat pemikiran politik sunni yang terkemuka dalam sejarah islam, diantaranya yaitu:
1.      Al-baqilani
Adapun pemikiran politiknya banyak tertuang dalam bukunya yang berjudul at-tahmid fi ar-radd ala al-mulhidat wa al-khawarij wa al-mu’tazilat.
2.      Al-baghdadi
Formulasi doktrin politik al-Baghdadi terdapat hanya dalam karya monumentalnya yang berjudul: ushul ad-din.
3.      Ibn Abi Rabi
Teori poliyiknya tertuang dalam karya monumental yang berjudul: suluk a;-mamalik fi tadbir al-mamalik.
4.      Al-mawardi
Pemikiranya sangat berpengaruh dikalangan daulat Abasiyah. Sebagai pemikir terkemuka dari madzhab syafi’I kesinukanya menjadikan dia banyaknterkenal di berbagai kota.
5.      Al-juwaini
karya teologinya, kitab al-irsyad dan lam’u al-adillah. Dia hidup pada masa ahir daulah Abasiyyah.
6.      Al-ghozali
Pada masa ini berkembang subur sebagai mazhab dan aliran, baik dalam bidang aqidah seperti: aliran asy’ariyyah, aliran mu’tazilah, aliran syi’ah, maupun dalam bidang hukum.
7.      Ibn taimiyyah

Gagasan politiknya dia banyak dituangkan dalam karya-karya seperti: as-siyasah fi ishlah al-ra’ wa ar-ra’iyyah dan minhaj as-sunnah.

8.      Ibn khaldun  Pemikiran politiknya banyak tertuang dalam karya monumentalnya yang diberi nama muqoddimat.
Adapun paradigm nash al-imam menurut sunni ada tiga nodel, yaitu:
1.      Pemilihan pemimpin berdasakan wasiat
Menurut al-baghdadi untuk menjaga keadilan dalam pemilihan kepala Negara maka diadakan pemba’iataian antara kepala Negara dan rakyat sebagai wujud adanya perjanjian dan kontrak social diantara kedua belah pihak, keduanya harus saling melengkapi terhadap undang-undang yang telah disepakati.
Pendapat al-baghdadi didukung oleh pendapat al-mawardi. Menurut al-mawardi pengangkatan kepala Negara dengan cara menunjukan wasiat adalah berdasarkan ijma’, yaitu kesepakatan ittifaq umat islam terhadap pengangkatan umar ibn khottab yang ditunjuk abu bakar (yang pada waktu itu sebagai kholifah).
Ibn abi rabi’ juga berpendapat dengan pemikiran al-baghdadi dan al-mawardi tentang pengangkatan kepala Negara dengan model penunjukan wasiat, sikap ini didasarkan atas praktek-praktek pengangkatan kholifah pada masa daulat abasiyyah yang berdasarkan turun temurun atas pertimbangan kerabat.
2.      Pengangkatan kepala Negara melaui pemilihan ahl al-hall wa al-‘aqd
Model pertama adalah pendapat al-bagillani. Menurut dia bahwa pengangkatan kepala Negara harus melaui jalan pemilihan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd, walaupun  ditetapkan oleh satu orangdalam pemilihanya. Menurut al-baqillani tidak sah mnetapkan dua atau lebih kepala Negara atau imam dalam satu waktu yang bersamaan.Pandangan al-baqilani ini tampaknya dimaksudkan untuk menjaga jeutuhan dan kesatuan umat islam dalam satu kerajaan.
Sebagaimana pendapat al-baqilani adalah pendapat al-juwaini (imam haramain). Menurut dia, pengangkatan imam harus dilakukan oleh perwakilan dari ahl al-hall wa al-‘aqd, walaupun tidak melakukan ba’iat secara umum atas pemilihanya. Menurut al-juwaini pemilihan aleh ahl al-hall wa al-‘aqd tidak ada ketentuan harus melibatkan semua unsure kelompok masyarakat.
Model kedua pemilihan sah apabila ditetapkan oleh dua orang ataulebih dari anggot ahl al-hall wa al-‘aqd. Model ini kemukakan oleh al-mawardi, menurutnya pemilihan model kepala Negara harus melalui penetapan dari anggota ahl al-hall wa al-‘aqd.karena mempunyai wewenang mengangkat, mengikat, dan melepaskanya. Menurut al-mawardi tugas dari ahl al-hall wa al-‘aqd adalah melakukan penelitian dan uji kelayaan terhadap calon kholifah terutama berkautan dengan syarat-syarat kholifah. Syarat ahl al-hall wa al-‘aqd Maka al-mawardi mensyaratkan seorang wakil pemiliha hrus: 1. Bersifat adil, 2. Berilmu pengetahuan luas sehingga mengetahui siapa imam yang pantas dan berhak dipilih, 3. Memiliki wawasan yang kearifan.
3.      Pemilihan kepala Negara berdasarkan dukungan ahl al-syaukhah (kelompok yang kuat)
Konsep ibn taimiyyah memberikan pengertian bahwa bai’at mempunyai arti penting dalam nash al-imam ini, oleh karnanya bai’at harus dilakukan oleh semua komponin-komponen masyarakat (bai’at al-ammah).
Ada hal yang menarik terhadap konsep nashhhb al-imam ibn taimiyyah ini, dari paradigma ini. Menurut pendapatnya pemilihan kholifah melalui “ system perwakilan” dan “wasiat”  merupakan kebohongan besar, sehingga klaim syi’ah tentang pengangkatan ali oleh Allah (wahyu) itu tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran islam.
KritIk ibn taimiyyah terhadap elittisme yang tergabung dalam ahl al-hall wa al-‘aqd merupakan kekhawatiran terhadap lembaga tersebut melakukan keputusan-keputusan dan tindakan yang berlebihan dan melenceng dari al-Qur’an, karena dengan sifat kesewenang-wenangan yang diberikan kepada lembaga tersebut akan menyambat pendapat-pendapat yang dalam masyarakat’ padahal di dalam al-Qur’an tidak mengajarkan yang demikian.
Dalam konteks ini pendapat ibn taimiyyah dan al-ghazali dimana kepercayaan imam yang didukung oleh ahl al-syaukah harus diterima demi kepentingan pelaksanaan syari’ah dan keamana Negara muslimin.
B.      Pro Kontra Ulama “ Sunni “ terhadap Wanita Sebagai Pemimpin
Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama sunni terhadap seorang kholifah bertujuan untuk menegakan Negara yang islami dan ideal yaitu terwujudnya Negara yang demokratis, berkeadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui pemimpin terbaik yang diharapkan dapat membentuk sebuah Negara yang adil dan makmur. Demi terciptanya Negara yang adil dan sejahtera, maka seorang pemimpin harus memenuhi 1). Sebagai anggota dari keluarga raja, artinya dia masih mempunyai pertalian keturunan dengan raja yang berkuasa sebelumnya. 2). Bercita-cita besar, berpendidikan tinggi dan berakhlak mulia. 3). Pandanganya kokoh dan mantap. 4). Memiliki kekayaan yang besar. 6). Memiliki pembantu-pembantu yang berloyalitas tinggi. Ada hal yang menarik terhadap syarat-syarat imam yang dikemukakan oleh ibn abi rabi’ dimana dia tidak mencantumkan kepala Negara harus dari suku quraisy. Menurutnya, seorang raja cukup hanya seorang anggota dekat dari raja yang berkuasa.
Menurut al-baghdadi, kualifiakasi seorang pemimpin harus memiliki kualitas: 1). Berilmu pengetahuan, terutama ilmu syari’ah yang berkaitan dengan hukum. 2). Bersifat jujur dan shaleh. 3). Bertindak adil dalam melaksanakan tugas pemerintah. 4). Pandai dalam mengatur pemerintahan dan administrasi Negara. 5). Berasal dari keturunan suku qurqisy. Tampaknya al-baghdadi mempunyai keyakinan, bahwa suku quraisy merupakan syarat mutlak dalam sebuah kepimpinan karena dia menggap bahwa keunggulan, kepercayaanya dalam memegang keistimewaan-keistimewaan lain yang menurutnya tidak diragukan lagi kualitasnya.
Pandangan al-mawardi seorang kepala Negara harus mempunyai kriteria-kriteria ilmu  sebagai berikut: 1). Berlaku adil. 2). Berilmu pengetahuan terutama ilmu syari’ah, 3). Sehat pendengaran, penglihatan dan lisan, 4). Memiliki anggota tubuh yang sempurna, 5). Berwawasan luas dalam ,mengatur rakyat dan mengelola untuk kemaslahatan umum, 6). Kuat, kokoh dan pembarani dalam menghadapi musuh dan melindungi rakyat, 7). Dari suku quraisy.
Syarat  yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan kesempurnaan jasmani bagi al-mawardi ada dua macam. Pertama apabila seorang kepala nagara kurang sempurna fisiknya namun kekurangan fisik tidak mempengaruhi terhadap kemampuan mereka dalam mengatur Negara, memprtahankan Negara, melindungi rakyat, menentang berlaku musuh, berlaku adil dan masih mampu untuk mensejahterakan rakyat maka kekurangan fisik tersebut tidak membtalkan syarat dalam pengangkatan kepala Negara. Kedua, kepala Negara yang kurang sempurna badan jasmaniyahnya seperti tidak melihat, tidak dapat mendengar, tidak dapat berjalan dan lain-lain, yang kekurangan fisik tersebut dapat mempengaruhi kemampuan dan kualitas sebagai pemimpij Negara maka hal tersebut dapat membatalkan seorang kepala Negara, artinya dia tidak ;layak sebagai imam (kepala Negara).
Bagi al-juwaini, seorang kepala Negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Seorang mujtahid, sehingga ia mengusai berbagai hukum. 2). Mampu mengurus pemersalahan dengan baik. 3). Memiliki wawasan untuk kemajuan muslim. 4). Kokoh dan pandai strategi perang (pandai dalam ilmu-ilmu kemiliteran). 5). Memilikin sifat lemah lembut. 6). Adil (dalam menegakan hukum). 7). Laki-laki. Bebrapa syarat yang dikemukakan oleh al-juwaini pemimpin harus mempunyai kemampuan (kifayat) menggunakan kekuasaanya untuk mengatur semua permasalahan kenegaraan dan kesejahteraan kemasyarakatan (bangsa).
Sementara menurut al-ghazali mensyaratkan seorang imam harus memilkikualifikas: 1). Laki-laki yang dewasa (baligh). 2). Berakal sehat. 3). Sehat penglihatan dan pendengaran. 4). Merdeka. 5). Dari suku quraisy. 6). Mempunyai kenyataan yang nyata (al-najat). 7). Mempunyai kemampuan (kifayat). 8). Wara’. 9). Najat.
Menurut ibn taimiyyah pemilihan seorang Negara hrus memilih putra Negara yang paling utama, kemudian mengangkat yang layak dan sesuai. Namun bila tidak memenuhi syarat diatas, maka dapat dipilih kualitas yang ada dibawahnya, karena pada dasarnya menurut taimoyyah kekusaan kolektif tidak kekuasaan individu.
Menurut ibn khaldun, seorang kepala Negara harus memenuhi lima syarat, 1). Berilmu pengetahuan etrutam ilmu-ilmu syari’at (hukum islam), 2). Sanggup melaksanakan hukum sesuai dengan undang-undang, sanggup memelihara tugas-tugas politik dan siasat berdiplomasi, mengetahui solidaritas kelompok, mempunyai kemampuan melindungi agama, mampu melawan musuh, mampu mengelola kepentingan umum. 3). Berlaku adil, adil menjadi prasyarat penting karena dengan berlaku adil seorang kepala Negara dapat melenyapkan terjadinya tindakan sewenag-wenang di dalam sebuah Negara. 4). Sehat panca indra. 5). Keturunan dari quraisy.
Demikian juga pendapat al-ghazali yang terkesan sangat fleksibel dan realitas. Menurutnya apabila tidak terpenuhi persyaratan-persyaratan imam secara ideal, maka seorang imam dapat mengandalkan orang lain yang mampu menangani masalah-masalah hukum dan kemiliteran.
Hal yang menarik terhadap pro dan kontra di kalngan ulama sunni tentang kepemimpinan wanita di atas adalah ada dua golongan kelompok disiplin sebuah ilmu menerapkan terhadap permasalahan ilmu yang sama. Perdebatan antara kedua golongan ulam tampak jelas, para ulama siyasah lebih mengerti terhadap kondisi masyarakat, tentang penerapan sebuah term yang berkaitan dengan urusan politik, kenegaraan pemerintahan (seperti pemilihan kepala Negara). Oleh karenanya dalam pro dan kontrak tentang kepemimpinn wanita ini perlu dianalisis masalahnya secara tajam dan apabila teorinya harus secara propesional dalam permaslahan-permasalahan yang terkait dalam bidang politik dan yang terkait dalam bidang hukum.
Dari perbedaan di atas tentang kepemimpinan wanita jelas, bahwa yang lebih berkompeten mmenganalisa masalah-masalah politik adalah ulama siyyah. Mereka lebih mengerti terhadap perinti-perinti kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Sehingga konterversi yang ada tidak sebatas membicarakan halal haramnya seorang pemimpin wanita, tapi wanita itu tersebut layak atau tidak untuknmenjadi pemimpin. Apakah dapat menjaga keutuhan Negara atau tidak, dapat menciptakan keamanan, kesejahteraan, peningkatan ekonomi atau tidak.


















KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PERSEPEKTIF
NAHDLATUL ULAMA (NU)

Ø  Konsep Nashb al-Imam Menurut NU
Pada dasarnya dalam islam tidak memberikan konsep yan baku tentang mekanisme pengangkatan sseorangb kepala Negara (nasb al-imam). Ini dibuktikan oleh sejarah politik islam, mulai dari pemerintah khulafa’ ar-rosyidin sampai runtuhnya daulat absolute abasiyyah dan munculnya kerajaan syi’ah. Tidak adanya konsep nasb al-imam (pengangkatan kepala Negara), menjadikan bidang ini sebagai masalah-masalah ijtihadiyyah teknik operasionalnya ditentukan oleh masing-masing ulama sesuai dengan ketentuan lingkungan dan kondisi Negara yang melingkupinya.
 Tentang nashb al-imam dan dimokrasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Menurut pandangan islam, pada hakekatnya kekeuasaan adalah amanat Allah yang diberikan kepada seluruh umat manusia yang kemudian oleh manusia hanya boleh di berikan kepada pihak lain yang ahli untuk mengengemban dan memikulnya.
2.      Bahwa keahlian mmegang amanat kekuasaan masyarakat kemampuan, kejujuran, keadialn kejuangan yang senantiasa memihak pada pemberi amanat.
3.      Proses pengangkatan kepemimpinan Negara sebagai pengemban dan pemikul amanat menurut islam dilakukan dengan beberapa cara.
4.      Menurut paham aswaja bahwa membangun Negara adalah wajib syar’i.
5.      Negara dimaksud harus dibangun di atas nilai-nilai luhur ke-islaman.
6.      Untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut dibutuhkan wujudnya pemerintahan yang demokratis.
7.      Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya kesadran dan keinginan yang kuat.
8.      Negara yang demokratis yang merupakan perwujudtan as-syura.
Ada tiga prinsip pemikiran NU, dalam merumuskan konsep “mekanisme pemilihan kepala Negara“  nasb al-imam:
1.      “al-amanah” kekuasaan Negara sebagai amanah yang diberikan Allah kepada kita, di syaratkan bagi pengemban amanah harus dapat dipercaya untuk mengatur Negara secara baik, jujur, adil, dan demokratis. Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang menguasai terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan pengaturan Negara dan kepemerintahan. Pemilu berfungsi alat penyaring politis yang akan mewakili dan membawa rakyat di dalam lembaga perwakilan.
2.      Al-syura sebagai lembaga permusyawaratn, memainkan peranan penting untuk menetukan orang yang dipandang paling baik dan paling tepat dalam menduduki sebagai kepala Negara.
3.      Al-adalah, keadilan bagi NU merupakan hal yang palin prinsip dalam mewujudkan Negara yang demokratis. Karena dalam islam nkeadilan harus ditegakan di b umi ini, untuk menjaga kepentingan umat islam dan mewujudkan tegaknya sebuah hukum.

1.      Perdebatan Ulama NU tentang Presiden Wanita
Bagi NU terdapat berbagai pertentangan di kalangan ulama’. Ada ulama mengatakan tidak boleh wanita menjadi presiden dan sebagian lagi ada ulama yang mengatakan wanita boleh menjadi presiden. Bagi ulama fiqih kebanyakan wanita tidak boleh menjadi presiden, karena menurut hukum islam wanita tidak boleh menangani masalah-masalah public (seperti peran social dan politik).
Sementara itu majelis ulama Indonesia (MUI) memberi fatwa menolak dan tidak menerima presiden wanita karena tidak sesuai dengan hukum islam, kecuali dalam keadaan darurat. Di sisi lain, sebagian besar ulama NU mendukung atas bolehnya seorang pemimpin Negara dari wanita, ini berdasarkan kepada pesan-pesa universal al-Qur’an, yang secara historis kehadiran al-Qur’an adalah untuk membela hak-hak dasar wanita.
KH. Sa’id aqil siraj, MA, juga mengatakan bahwa penempatan dalil para yang menentang presiden wanita itu kurang kuat,ena dalil-dalil tersebut konteksnya adalah hukum bukan politik seperti mengqiyaskan pembagian antara laki-lakidan perempuan dengan bagian 1:2 tidak bolehnya wanita menjadi hakim disamakan dengan ketidak bolehaan wanita menjadi pemimpin kepala Negara, itu salah, karena pembagian 1:2 dan masalah hakim merupakan wilayah hukum sedang kepimpinan wanita itu merupakan masalh-masalah pilitik. Di samping itu KH. Dr. sa’id aqil siradj, mengatakan bahwa pada dasarnya dalam al-Qur’an dan hadits tidak terdapat pelarangan presiden wanita, karena hal ituntermasuk masalah-masalah ijtihadiyyah.
KH. Abdurahman wahid sendiri membagi corak islam di Indonesia menjadi dua yaitu “islam cultural” dan “ islam formal”. Islam formal menghendaki islamisasi terhadap pola-pola penyelenggaraan Negara dan system kenegaraan. Sementara islam cultural hanya bergerak pada spiritnya saja, tanpa harus melaukan formalisasi kenegaraan.
Menurut Dr. muhamad AS. Hikmah, bahwa survey diatas merupakan persoalan-persoalan ilmiah, tidak ada rekayasa dari sebuah partai untuk menjustifikasi terhadap kepentinganya, karena survey itu merupakan alternative yang lebih baik untuk menyelesaikan masala-masalah bias gender, dibanding harus melakukan dengan cara-cara kekerasan.
Menurut KH. Zainudin MZ dan KH. Noer iskandar, bahwa permasalahan presiden sebaiknya kita serahkan kepada MPR, siapapun yang dipilih nanti, apakah laki-laki ataupun perempuan wajib kita dukung yang penting pemimipin tersebut dapat membawa kemaslahatan, menegakan ukhuwah islamiyah demi kemajuan bangsa dan Negara ini.
Kontroversi tentang pro dan kontra terhadap persiden wanita menurut berbagai pengamat politik mempunyai dampak yang tidak baik terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini dapat dilihat berbagai demonstran yang mendukung mega dan beberapa demonstran yang mendukung Habibie. Demonstran tersebut bertujuan untuk memekasakan kehendaknya mendukung Megawati supaya menjadi presiden. Pendukung habibie mayoritas menolak megawati karena mereka beralasan bahwa di dalam hukum islam wanita tidak boleh menjadi seorang pemimimpin.
KH. Abdurrahman wahid (ketua PBNU) dan Amin rais (ketua PAN) ketika itu menyatakan bahwa polarisasi yang muncul di masyarakat antara kubu magawati dan kubu habibie sebagai calon presiden berpotensi besar menimbulkan konflik mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Para ulama berpendapat bahwa permasalahan tentang persiden wanita dalam tujuan islam tidak ditentukan oleh jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu untuk mensikapi realitas social dan politik yang begitu membahayakan keutuhan bangsa dan menghindari perpecahan di antara kelompok demi untuk meraih jabatan maka para ulama NU, Bali dan Nusa tenggara barat berkumpul di pondok pesantren Raudlatut thalibin lateh kabupaten rembang. Pertemuan ini di perkasai oleh KH. Cholil bisri dan KH. Dimyati ro’is, KH. Mustofa dan KH. Nadzief zuhri. Dalam pertemuan ulama NU di Rembang ini menghasilkan keputusan Sembilan butir yang isinya seruan kepada ulama pesantren dan seruan moral kepada masyarakat untuk senantiasa menjaga keutuhan bangsa dan mendahulukan kepentingan Negara dari pad kepentingan pribadi, isi seruan ulama NU sebagaimana dalam lampiran. 
Pada prinsipnya, seruan ulama yang terdiri dari Sembilan butiran di atas, untuk mengingatkan kepada ulama khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk senantiasa mewaspadai terhadap upaya-upaya sekelompok orang untuk politasi agama bagi kepentingan jabatan, pangkat yang sifatnya sementara dan terlalu pribadi. Latar belakang munculnya politisasi agama ini jelas, yaitu dengan maraknya gagasan-gagasan yang mengeksploitasi sentiment-sentimen keagamaan demi mencapai tujuan politik, tanpa mempertimbangkan resiko dan bahaya besar yang mengancam persatuan bangsa yang hal ini akan mewujudkan konflik antar umat dan kelompok di masyarakat. 

2.      Kualifikasi  Presiden Menurut NU
Mekanisme asy-syura yang dianut NU tentunya menganut system yang sudah berlaku di Indonesia yaitu melalui siding umum MPR. Adapun kualifikasi presiden sepenuhnya diserahkan dalam sidang umum MPR, karena MPR merupakan jelmaan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya MPR sebagai lembaga untuk memilih kepala Negara maka NU memberikan rambu-rambu terhadap syarat-syarat kepala Negara  yaitu harus mempunyai kepribadian yang jujur (dapat dipercaya) dan mempunyai jiwa keadilan. NU menyebutkan terhadap kritria-kriteria pemimpin yang pantas menjadi kepala Negara. Hal ini berbentuk dengan rekomendasi politik yang berbunyi:
“Agar siding umum MPR mampu memilih dan menetapkan kepemimpinan nasional yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia masa kini dan masa depan serta mempunyai persyaratan kepemimpinan yang di syar’iatkan oleh ajaran agama” 
Rekomendasi munas NU di ats mengandung dua pengertian denga kualifikasi presiden ini. Pertama, pemimpin Negara harus sesuai dengan kebutuhan bangsa. Kedua, pemimpin Negara harus mempuyai criteria atau syarat-syarat pemimpin menurut islam. Bagi NU pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan bangsa adalah pemimpin yang bisa dipercaya. Artinya dia dapat dipercaya oleh rakyat (pemimpin yang legitimate) tidak melakukan korupsi,penyelewengan-penyelewengan terhadap kekeyaan Negara dan berkeinginan besar mensejahterakan rakyat kecil.
Criteria kedua seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat imam dalam hukum islam, tetunya yang dikehendaki NU adalah islam sunni. Hal terpenting bagi seorang yang masuk dalam kualifikasi pemimpin adalah kepala Negara yang mempunyai kekuatan dan kecakapan (al-quwwah) dan pemimpin yang mempunyai integritas yang tinggi (al-amanah). Kekuatan ini meliputi kekuatan yang berkaitan dengan kemampuanya, dan kekuatan dari dukungan rakyat.
 Syarat kedua adalah pemipin yang mempunyai integritas yang tinggi. Bagi NU hakikat dari sebuah kekuasaan adalah amanat dari Allah, oleh karenanya untuk mengemban amnat ini kekuasaab harus diberikan kepada pemimpin yang mempunyai kemampuan tinggi (berilmu), mempunyai sifat kejujuran, bersifat adil dan mau berkorban deemi nusa dan bangsa.
Keseluruhan persyaratan pemimpin yang di paparkan NU jelas bahwa persyaratan pemimpin tidak dilihat dari jenis kelaminya, namun dari kemampuan dan integritasnya memimpin bangsa, artinya walaupun perempuan, namun mereka mempunyai kualitas, kapasitas dan akseptabilitas yang tinggi, wanita di perbolehkan melakukan peran-peran social, budaya, ekonomi, politik (termasuknya adalah menjadi presiden). Dengan kedudukan wanita dalam proses system bernegara dan berbangsa telah terbuka lebar untuk memasuki kawasan-kawasan public. Dengan catatan (bagi NU) harus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita.dengan kata lain tidak terlalu istimewa kalau hanya memperjuangkan presiden wanita, namun disisi lain di sekeliling (presiden wanita) tersebut masih banyak dari laki-laki,yang menimbulkan sebuah kebijakan yang menimbulkan sebuah kebijakan yang merugiakan hak-hak wanita, sehingga kepentingan wanita senantiasa dirugikan.

ANALISIS     
Bagi NU, permasalahan tentang presiden wanita, merupakan permasalahan khilafiyyah, artinya NU saling menghargai terhadap pendapat tersebut. Namun yang menjadi titik penting dalam masalah ini adalah apakah klaim diantara keduanya melibatkan agama sebagai alat politasi demi untuk memenangkan kepentingan pribdi mereka, karena permasalahan sangat erat sekali dengan muatan-muatan politik. Bagi NU yang sudah kenyang dengan trik-trik politik mengingatkan agar jangan sampai posisi agama dijadikan sebagai politisasi di jadikan sebagai kepentingan jabatan., pangkat, kedudukan, pangkat dan harta. Sehingga mereka nantinya akan menghalalkan segala cara yang menimbulkan adanya perpecahan dan peperangan saudara di antara bangsa sendiri. Ulama NU juga menghimbau kepada ormas islam untuk senantiasa menghimbau dan mengedepankan kepentingan bangsa dan jangan sekali-kali memakai tangan Tuhan untuk memploitasi demi kepentingan pribadi dan meraih ambisi jabatan. Berdasarkan atas dalil dan hukum syari’ah islam yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin di karena kan seorang wanita tidak boleh keluar dari rumah, seorang wanita sangat terbatas di rumah tidak boleh diluar rumah dan mengqiyaskan mengharamkan wanita menjadi pemimpin dengan ketidak bolehan wanita menjadi hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar