Minggu, 06 Januari 2013

Kitab Al-Faraidh



KITAB AL-FARAIDH

       I.            PENDAHULUAN
Ilmu artinya pengetahuan. Al-Faraidh artinya bagian-bagian yang tertentu. Kalau satu bagian disebut Fariidhah. Di dalam Islam terpakai dengan arti Ilmu Pembagian Pusaka. Hadits Rasulullah:
حدثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي. ثنا حفص بن عمر بن أبي العطاف. ثنا أبو الزناد عن الأعرج، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((يأأبا هريرة ! تعلموا الفرائض وعلموها فإنه نصف العلم. وهو ينسى. وهو أول شيء ينزعمن أمتي)). في الزوائد: قلت أخرجه الحاكم في المستدرك، وقال: إنه صحيح الإسناد. وفيما قاله نظر. فإن حفص بن عمر المذكور ضعفه ابن معين والبخاري والنسائي وأبو حاتم. وقال ابن حبان: لا يجور الاحتجاج به بحال: وقال ابن عدي: قليل الحديث. وحديثه. كما قال البخاري، منكر (ﺮﻮﺍﻩ ﺇﺒﻥﻤﺎﺠﻪ ﻓﻲ كتاب الفرائض)[1]
Arti dari hadits tersebut kurang lebihnya adalah: Belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena ilmu itu merupakan separoh ilmu; dan akan dilupakan. Dan ilmu itu merupakan ilmu yang pertama akan dicabut dari umatku. (HR. Ibnu Majah dalam kitab Al-Faraidh)
Yang dimaksud dengan kalimah “separoh ilmu” ialah separoh ilmu di dalam urusan pusaka dan yang berkenaan dengannya seperti wasiat, hibah, waqaf, dan lainnya. Jadi, bukan separoh ilmu dari ilmu agama Islam
Adapun perkataan Rasulullah, bahwa ilmu Faraidh akan dilupakan orang dan akan tercabut daripada umatnya itu, memang telah terbukti kalau kita perhatikan kepandaian orang-orang dahulu disbanding dengan orang-orang sekarang. Kita bisa lihat, beberapa Ulama’ yang besar-besar, pintar dalam ilmu ini dan itu, tetapi dalam ilmu Faraidh, terdapat kosong atau kurang. Kalau kita fikirkan betul-betul, niscaya kita dapat tahu, bahwa dalam umat Nabi Muhammad zaman belakangan, memang sedikit sekali orang yang pandai ilmu Faraidh.

    II.            POKOK BAHASAN
Dalam makalah ini, saya akan membahas pokok bahasan tentang:
A.    Definisi Faraidh dan Ahli Waris
B.     Rukun-Rukun, Sebab-Sebab, dan Penghalang-Penghalangnya Pusaka
C.     Hijab, Ashobah, dan Ashhabul Furudh
D.    ‘Aul dan Radd
E.     Pusaka Rahim dan Wasiat

 III.            PEMBAHASAN
A.    Definisi Faraidh dan Ahli Waris
1)      Definisi Faraidh
ﺍﻟﻓﺭﺍﺌﺽ ﺠﻤﻊ ﻓﺭﻴﻀﺔ ﻭﺍﻟﻓﺭﻴﻀﺔ ﻤﺄﺨﻭﺫﺓ ﻤﻥﺍﻟﻓﺭﺽ ﺒﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﺘﻗﺩﻴﺭ. ﻭﺍﻟﻓﺭﺽ ﻓﻲﺍﻟﺸﺭﻉ ﻫﻭﺍﻟﻨﺼﻴﺏ ﺍﻟﻤﻗﺩﺭ ﻠﻟﻭﺍﺭﺙ[2]
Faraidh, jama’ dari Fariidhah. Kata ini diambil dari Fardhu. Fardhu dalam istilah ulama’ fiqih Mawaris islah bagian yang telah ditetapkan oleh syara’. Masalah-masalah mawaris di dalam syari’at Islam, merupakan salah satu pembahasan ilmu fiqih yang terpenting. Ahli fiqih telah mendalami masalah-masalah yang berpautan dengan warisan, dan menulis buku-buku mengenai masalah-masalah ini, dan menjadikannya suatu ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya ilmu Mawaris atau ilmu Faraidh. Orang yang pandai dalam ilmu ini dinamakan Faridh, Fardhi, Faraidhi, Firridh.[3]
Sedangkan ilmu Faraidh didefinisikan oleh para ulama’ sebagai berikut: ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka.[4]
2)      Ahli Waris
Firman Allah SWT:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 .......( ﺍﻟﻨﺴﺄ : ١١)
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…….(QS. An-Nisa’: 11)
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. Anak laki-laki dapat dua bagian dan anak perempuan dapat satu bagian dari semua harta orang tua mereka, kalau tidak ada lain-lain ahli warits; atau mereka dapat sisanya, kalau ada lain-lain ahli warits yang tertentu bagiannya. Jika tidak ada anak, maka cucu menggantikan anak tentang mendapat waritsan itu. Begitulah seterusnya, asal saja dari pihak laki-laki
Laki-laki yang jadi warits:
·      Anak laki-laki
·      Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki bagi anak laki-laki, dan seterusnya, yaitu cucu laki-laki bagi anak laki-laki hingga ke bawah
·      Ayah
·      Datuk, yaitu ayah bagi ayah, hingga ke atas, yakni datuk bagi ayah dan datuk bagi datuk, dan seterusnya, dari pihak laki-laki
·      Saudara laki-laki seibu sebapak
·      Saudara laki-laki sebapak, lain ibu
·      Saudara laki-lakiseibu, lain bapak
·      Keponakan laki-laki seibu sebapak, yaitu anak laki-laki bagi saudara laki-laki seibu sebapak
·      Keponakan laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki bagi saudara laki-laki sebapak
·      Paman seibu sebapak, yaitu saudara laki-laki seibu sebapak bagi bapak
·      Paman sebapak, yaitu saudara laki-laki sebapak bagi bapak
·      Sepupu (misan) laki-laki seibu sebapak, yaitu anak laki-laki bagi paman seibu sebapak
·      Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki paman sebapak
·      Suami
·      Laki-laki yang memerdekakan
Perempuan-perempuan yang jadi warits:
·      Anak perempuan
·      Cucu perempuan, yaitu anak perempuan bagi anak laki-laki atau anak perempuan bagi cucu laki-laki, hingga kebawah
·      Ibu
·      Nenek dari sebelah ibu, yaitu ibu bagi ibu, ibu bagi nenek, dan seterusnya
·      Nenek dari sebelah bapak, yaitu ibu bagi bapak, ibu bagi datuk dan seterusnya
·      Saudara perempuan seibu sebapak
·      Saudara perempuan sebapak
·      Saudara perempuan seibu
·      Isteri
·      Perempuan yang memerdekakan[5]
B.     Rukun-Rukun, Sebab-Sebab, dan Penghalang-Penghalangnya Pusaka
1.      Rukun-Rukun Pusaka
Rukun-rukun pusaka ada tiga:
ü Muwarrits, yaitu orang yang meninggalkan hartanya
ü Warits, yaitu orang yang ada hubungan dengan orang yang telah meninggal, seperti kekerabatan dan perkawinan
ü Mauruts, yaitu harta yang menjadi pusaka. Harta ini dalam istilah fiqih dinamakan mauruts, mirats, irts, turats, dan tarikah [6]
2.      Sebab-Sebab Pusaka
Adapun kriteria seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu:
ü Hubungan kekerabatan
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 7:   
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
Artinya: bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisa’: 7)
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kepada 3 golongan, yakni:
o  Furu’, yaitu anak turunan si mayyit
o  Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayyit
o  Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayyit melalui garis menyamping
ü Hubungan perkawinan
Firman Allah dalam surat An-Nisa’: 12:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 ...............ÇÊËÈ  
Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu…….(QS. An-Nisa’: 12)
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri. Hak saling mewarisi itu selama hubungan perkawinan itu masih tetap berlangsung. Jika mereka telah bercerai, maka tidak ada lagi hak saling mewarisi, kecuali dalam keadaan talak raj’i yang masih dalam masa iddah.
ü Hubungan karena sebab al-wala’
Al-wala’ adalah apabila ada seseorang memerdekakan budak, maka apabila orang yang dimerdekakan tadi mati, maka orang yang memerdekakan mendapat warisan.[7] Sebagaimana hadits Rasul SAW:
حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء الهمداني. حدثنا أبو أسامة. حدثنا هشام بن عروة. أخبرني أبي عن عائشة. قالت: دخلت علي بريرة فقالت: إن أهلي كاتبوني على تسع أوق في تسع سنين. في كل سنة أوقية. فأعينيني فقلت لها: إن شاء أهلك أن أعدها لهم عدة واحدة، وأعتقك، ويكون الولاء لي، فعلت. فذكرت ذلك لأهلها. فأبوا إلا أن يكون الولاء لهم. فأتتني فذكرت ذلك. قالت: فانتهرتها. فقالت: لاها الله إذا. قالت: فسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم. فسألني فأخبرته. فقال "اشتريها وأعتقيها. واشترطي لهم الولاء. فإن الولاء لمن أعتق" ففعلت. فقالت: ثم خطب رسول الله صلى الله عليه وسلم عشية. فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله. ثم قال "أما بعد. فما بال أقوام يشترطون شروطا ليست في كتاب الله ؟ ما كان من شرط ليس في كتاب الله عز وجل فهو باطل. وإن كان مائة شرط. كتاب الله الحق. وشرط الله أوثق. ما بال رجال منكم يقول أحدهم: أعتق فلانا والولاء لي. إنما الولاء لمن أعتق".(ﺮﻮﺍﻩ مسلم ﻓﻲ كتاب العتق) [8]
Maksud dari hadits tersebut adalah: barangsiapa memerdekakan seorang hamba, maka ia berhak mendapat waritsan hamba itu, kalau hamba itu tidak meninggalkan ahli warits. (HR. Muslim dalam kitab Al-‘Itqu).
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid juga diterangkan sebagai berikut:
أجمع العلماء على أن من أعتق عبده عن نفسه فإن ولاءه له وأنه يرثه إذا لم يكن له وارث، وأنه عصبة له إذا كان هنالك ورثة لا يحيطون بالمال فأما كون الولاء للمعتق عن نفسه، فلما ثبت من قوله عليه الصلاة والسلام في حديث بريرة "إنما الولاء لمن أعتق" واختلفوا إذا أعتق عبد عن غيره؛ فقال مالك الولاء للمعتق عنه لا الذي باشر العتق  [9].
Tiga kriteria untuk mendapatkan hak waris mewarisi telah disepakati oleh para ulama’. Di samping itu, ada suatu hal lagi yang oleh ulama’ Syafi’iyyah dan ulama’ Malikiyyah dijadikan criteria untuk memperoleh hak waris mewarisi, yaitu jurusan keislaman. Ini berarti andaikata seorang Muslim mati, tidak mempunyai ahli waris sama sekali atau mempunyai ahli waris tetapi hartanya tidak habis dibagi, maka peninggalan tersebut harus diserahkan ke kas perbendaharaan Negara.
3.      Penghalang-Penghalang Pusaka
Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan muwarrits. Adapun halangan tersebut adalah:
ü Pembunuh, semua ulama’ sepakat bahwa pembunuhan dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris.
ü Beda agama, seseorang terhalang untuk mewarisi, apabila antara ahli waris dan muwarrits berbeda agamanya. Sebagaimana dalam hadits Nabi SAW:
حدثنا أبو عاصم، عن ابن جريج، عن ابن شهاب، عن علي بن حسين، عن عمرو بن عثمان، عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم). (ﺮﻮﺍﻩﺍﻠﺑﺧﺎﺮﻱ ﻓﻲ كتاب الفراﺽ)[10]
Maksud dari hadits tersebut adalah bahwa orang Islam tidak bisa jadi ahli warits bagi orang kafir, dan tidak pula si kafir jadi ahli warits bagi orang Muslim. (HR. Bukhari dalam kitab Al-Faraidh)
ü Perbudakan, seorang hamba tidak bisa jadi waris dan tidak pula bisa jadi orang yang meninggalkan harta buat diwarisi, karena selama belum merdeka, ia jadi milik bagi tuannya bersama sekalian hak miliknya.[11]
C.    Hijab, Ashobah, dan Ashhabul Furudh
a)      Hijab
Hijab secara harfiyyah berarti terhalang, sedangkan secara istilah adalah terhalangnya ahli waris dari memperoleh warisan, baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian saja.
Hijab terdiri dari dua macam, yakni:
v  Hijab Hirman
Hijab hirman adalah terhijabnya seorang ahli waris dalam memperoleh warisan secara keseluruhan. Hijab hirman ada dua, yaitu:
o  Hijab hirman bil syahshi, yaitu terhalangnya ahli waris dari memperoleh warisan disebabkan berkumpul dengan ahli waris lain yang lebih dekat.
o  Hijab hirman bil washfi, yaitu terhalangnya ahli waris dari memperoleh warisan disebabkan memiliki sifat yang bisa menghalangi dari memperoleh warisan.
v  Hijab Nuqshan
Hijab nuqshan adalah terhijabnya seorang ahli waris dalam memperoleh warisan hanya sebagian saja, hanya pengurangan bagian yang diperolehnya.[12]
b)     Ashobah
Ashobah menurut bahasa berarti kekerabatan seorang laki-laki dengan ayahnya. Dinamakan ashobah karena mereka mengelilinginya. Kata ashoba artinya mengelilingi untuk melindungi dan membela. Adapun menurut istilah yang digunakan dalam ilmu waris, ashobah adalah ahli waris yang tidak mempunyai bagian yang tegas ditentukan dalam Al-Qur’an dan Nash atau bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris Ashhabul Furudh. Hadits Nabi SAW:
حدثنا عبدالأعلى بن حماد (وهو النرسي). حدثنا وهيب عن ابن طاوس، عن أبيه، عن ابن عباس. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (ألحقوا الفرائض بأهلها. فما بقي فهو لأولى رجل ذكر). (ﺮﻮﺍﻩ ﻤﺳﻠﻡ ﻓﻲ كتاب الفرائض)[13]
Bagikanlah pusaka itu menurut nash. Kalau ada lebih, berikanlah kepada laki-laki yang lebih hampir kepada si mati. (HR. Muslim dalam kitab Al-Faraidh). Laki-laki yang lebih hampir ini ialah ‘ashabah yang lebih hampir kepada si mati
Macam-macam ashabah:
Ø Ashabah binafsihi
Ashabah binafsihi yaitu kerabat laki-laki yang bernisbah kepada mayit tanpa diselingi oleh orang perempuan. Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu bahwa antara mereka dengan si mati tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah, dan terdapat perantara tetapi perantaranya bukan orang perempuan, seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Dalam kitab karangan guru saya, sewaktu saya masih duduk di bangku MA-FUTUHIYYAH-1, disana beliau menjelaskan lebih mudah tentang definisi ashabah binafsishi, yaitu: “Kulluman ahraza jamii’al maali idza infarada au maa baqiya ba’da al-furuudhi au yasquthu idza istaghraqat”, yang artinya kurang lebih seperti ini: setiap orang yang memperoleh keseluruhan harta ketika sendiri, atau sisa dari pembagian hartanya, atau tidak memperoleh sama sekali.
Di dalam kitab karangan Imam Ibn Rusyd Al-Qurthubi yang berjudul Bidayatul Mujtahid juga diterangkan mengenai masalah ini, yaitu:
وأجمع المسلمون على أن ميراث الولد من والدهم ووالدتهم إن كانوا ذكورا وإناثا معا هو أن للذكر منهم مثل حظ الأنثيين، وأن الابن الواحد إذا انفرد فله جميع المال، وأن البنات إذا انفردن فكانت واحدة أن لها النصف، وإن كن ثلاثا فما فوق ذلك فلهن الثلثان. واختلفوا في الاثنتين فذهب الجمهور إلى أن لهما الثلثين[14]
Ø Ashabah bil ghoiri
Ashabah bil ghoiri adalah adalah setiap wanita yang mempunyai fardhu, yang dalam menerima ashabah memerlukan kepada yang lain dan dia bersekutu dengan yang lain. ‘Ashabah bil ghoiri itu ada empat, yaitu:
o  Anak perempuan sekandung bersama anak laki-laki sekandung
o  Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
o  Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
o  Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah
Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 176:
4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur ̍x.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 33 ÇÊÐÏÈ
Artinya: dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. (QS. An-Nisa’: 176)
Maksudnya kata “saudara” tersebut adalah saudara seibu sebapak, karena itu, yang perempuan dapat sebagian dan yang laki-laki dapat dua bagian
Apabila salah seorang ahli waris dari perempuan-perempuan tersebut bersama mu’ashshibnya yang sama derajat dan kekuatannya, ia menjadi ashabah bil ghoiri.
Ø Ashabah ma’al ghoiri
Ashabah ma’al ghoiri adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima sisa harta warisan. Orang yang menjadikan ashabahnya tetap menerima bagian menurut fardhnya sendiri. Ashabah ma’al ghoiri ini, terbatas pada dua wanita saja, yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah.[15] Sebagaimana contoh dari putusan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang berbunyi:
حدثنا آدم: حدثنا شعبة: حدثنا أبو قيس: سمعت هزيل بن شرحبيل قال: سئل أبو موسى عن ابنة وابنة ابن وأخت، فقال: للابنة النصف، وللأخت النصف، وأت ابن مسعود فسيتابعني، فسئل ابن مسعود، وأخبر بقول أبي موسى فقال: لقد ضللت إذاً وما أنا من المهتدين، أقضي فيها بما قضى النبي صلى الله عليه وسلم: للابنة النصف، ولابنة الابن السدس تكملة الثلثين، وما بقي فللأخت، فأتينا أبا موسى فأخبرناه بقول ابن مسعود، فقال: لا تسألوني ما دام هذا الحبر فيكم. (ﺮﻮﺍﻩﺍﻠﺑﺧﺎﺮﻱ ﻓﻲ كتاب الفرائض)[16]
Maksud dari hadits di atas adalah: bahwasanya Rasulullah SAW pernah memutuskan untuk seorang anak perempuan 1/2, dan untuk seorang cucu perempuan 1/6 buat mencukupkan 2/3, dan selebihnya itu buat saudara perempuan. (HR. Bukhari dalam kitab Al-Faraidh).
Di bawah ini saya mencoba membuatkan tabel mengenai definisi secara ringkas tapi akurat mengenai ‘ashabah, yaitu:
Binafsihi
Bil ghairi
Ma’al ghairi
Setiap orang LK yang mendapat ‘ashabah
Orang PR yang di’ashabahkan orang LK
Orang PR yang di’ashabahkan orang PR

c)      Ashhabul Furudh
Fardhu disini dimaksud mafrudh, sebagaimana ridhah dimaksudkan mafrudhah. Fardhu menurut istilah fiqh mawarits adalah bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk ahli warits dari harta peninggalan, baik dengan nash ataupun dengan ijma’. Furudh (jama’ dari fardhu) yaitu bagian-bagian yang sudah ditetapkan dalam Kitabullah, ada enam yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.[17]
Ashhabul furudh adalah warits-warits yang mempunyai bagian yang telah ditentukan pada harta peninggalan dengan nash atau dengan ijma’. Biar lebih mudah dipahami, maka saya mencoba membuatkan tabel di bawah ini:
Al-Furudh
Ashhabul Furudh
1/2
·      Anak PR, ketika sendirian dan tidak ada anak LK
·      Cucu PR dari anak LK, ketika sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya
·      Suami, ketika tidak berkumpul dengan anak secara mutlak
·      Saudara PR sekandung, ketika sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya
·      Saudara PR sebapak, ketika sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya
1/4
·      Suami, ketika berkumpul dengan anak secara mutlak
·      Istri, ketika tidak berkumpul dengan anak secara mutlak
1/8
·      Istri, ketika berkumpul dengan anak secara mutlak
2/3
·      Anak PR, ketika berbilangan dan tidak ada anak LK
·      Cucu PR dari anak LK, ketika berbilangan dan tidak ada yang mengashabahkannya
·      Saudara PR sekandung, ketika berbilangan dan tidak ada yang mengashabahkannya
·      Saudara PR sebapak, ketika berbilangan dan tidak ada yang mengashabahkannya
1/3
·      Ibu, ketika tidak berkumpul dengan anak & saudara yang berbilangan (secara mutlak)
·      Saudara (LK&PR) seibu, ketika berbilangan dan tidak ada yang memahjubkannya
1/6
·      Bapak, ketika berkumpul dengan anak secara mutlak
·      Kakek, ketika berkumpul dengan anak secara mutlak & tidak berkumpul dengan bapak
·      Cucu PR dari anak LK, ketika berkumpul dengan satu anak PR
·      Ibu, ketika berkumpul dengan anak atau saudara yang berbilangan (secara mutlak)
·      Nenek dari arah ibu, ketika tidak berkumpul dengan ibu.
·      Nenek dari arah bapak, ketika tidak berkumpul dengan ibu dan ayah
·      Saudara PR sebapak, ketika berkumpul dengan saudara PR sekandung biasa
·      Saudara (LK&PR) seibu, ketika sendirian dan tidak ada yang memahjubkannya

D.     ‘Aul dan Radd
                                    1)      Aul
‘Aul menurut bahasa adalah curang, menyimpang dari kebenaran, hilang atau dikalahkan. Sedangkan menurut istilah adalah menambah saham-saham ashhabul furudh atas asal masalah, lantaran furudh memerlukan tambahan atau dengan kata lain, ‘aul adalah bagian ahli waris yang berhak mendapat warisan ada lebih banyak daripada harta peninggalan si mati. Sesudah diperiksa oleh ‘ulama’ faraidh, terdapat bahwa ‘aul itu hanya ada di masalah 6, 12, dan 24, tidak di lainnya.[18]
                                    2)      Radd
Apabila jumlah saham para ahli waris lebih kecil daripada asal masalahnya, maka memerlukan penyelesaian setepat-tepatnya agar harta peninggalan yang akan dibagi tidak ada sisa yang tidak terbagikan. Ini yang disebut dengan radd, yaitu: penambahan pada bagian-bagian ahli waris dan pengurangan pada saham-sahamnya.
Dalam ilmu waris, sisa tersebut harus dikembalikan lagi kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut perbandingan besar kecilnya fardh atau saham yang mereka terima masing-masing. Semua ahli waris berhak menerima kelebihan kacuali suami dan istri.[19]
Supaya lebih mudah dipahami mengenai definisi ‘aul dan radd, saya mencoba membuatkan tabel di bawah ini:
‘Aul
Radd
Bagian ahli warits yang berhak mendapat warisan ada lebih banyak daripada harta peninggalan si mati
( Harta < Ahli Warits )
Membagi sisa pusaka kepada ahli warits, menurut pembagian masing-masing
( Harta > Ahli Warits )

E.     Pusaka Rahim dan Wasiat
Ø Pusaka Rahim
Rata-rata Ulama’ berpendapat, bahwa jika seorang mati, sedang isterinya mengandung, maka anak itu tidak dapat pusaka melainkan kalau lahirnya dengan berjiwa yang salah satu tandanya ialah bersuara. Menurut pendapat ‘Ulama’, bahwa yang dalam kandungan itu dianggap anak si mati, tetapi ia bisa dapat warisan apabila ia pernah hidup di luar perut ibunya.[20]
Yang menyebabkan mereka berpendapat begitu ialah hadits-hadits. Akan tetapi menurut pemeriksaan ahlinya, terdapat bahwa hadits-hadits yang tersebut itu lemah semuanya. Maka hadits-hadits yang lemah itu tidak patut dijadikan alasan buat menghilangkan hak anak yang telah tsaabit dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Dari itu, menurut faham saya, bahwa anak yang lahir walaupun tidak bersuara, asal sudah pernah hidup di perut ibunya, mesti diberi waritsan. Allahu A’lamu
Ø Wasiat
Wasiat ialah sesuatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Jelasnya pengelolaan terhadap yang jadi obyek wasiat, berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal. Menurut asal hukum, wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. Inilah pendapat jumhur fuqaha’.[21]
 Segolongan fuqaha’ tabi’in dan imam-imam fiqih dan hadits berpendapat: bahwasanya wasiat untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat pusaka adalah wajib, sebagaimana firman Allah:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ 
Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah: 180)
Al-Jashshash di dalam kitabnya Ahkamul Qur’an, menandaskan bahwa ayat tersebut terang menunjuk kepada wajibnya wasiat buat para keluarga yang tidak mendapat pusaka. Perkataan “kutiba” dalam ayat itu maknanya “furidha” (difardhukan). Dan perkataan “bil ma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiina” (menurut ma’ruf sebagai suatu hak (kewajiban) atas segala orang yang bertaqwa), adalah suatu lafadz yang sangat kuat menunjuk kepada wajibnya wasiat. Allah menjadikan pelaksanaan wasiat ini salah satu dari syarat taqwa, menunjukkan kepada kewajiban wasiat itu.
Para ulama’ berselisihan pendapat tentang masih berlakukah hukum yang telah dinashkan oleh ayat itu, yaitu wajib wasiat untuk ibu, ayah dan kerabat-kerabat terdekat, ataukah tidak lagi. Kebanyakan ahli tafsir dan jumhur ahli fiqih berpendapat, bahwa wajibnya wasiat untuk ibu, ayah dan kerabat-kerabat terdekat sudah mansukh, baik terhadap yang menerima pusaka maupun tidak, karena ayat wasiat ini telah dimansukhkan oleh ayat-ayat mawarits.

 IV.            SIMPULAN
Ilmu Faraidh merupakan Ilmu Fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka.
Kriteria seseorang yang menerima Waris ada 3 hal yaitu karena hubungan Perkawinan, Kekerabatan, dan sebab Wala’. Di dalam Ilmu Faraidh ada Istilah Hijab dan Ashabah, Hijab itu ada dua, yaitu Hijab Hirman dan Hijab Nuqshan, sedangkan Ashabah ada tiga, yaitu Ashabah Bi Nafsihi, Bil Ghairi, Dan Ma’al Ghairi.
Menurut faham saya (penulis makalah ini), bahwa anak yang lahir walaupun tidak bersuara, asal sudah pernah hidup di perut ibunya, mesti diberi waritsan. Wasiat ialah sesuatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Jelasnya pengelolaan terhadap yang jadi obyek wasiat, berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal. Menurut asal hukum, wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. AMIIN.


DAFTAR PUSTAKA
Gani, Bustami, 1990. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mushhaf.
Hasan, A., 2003. Al-Faraidh, Ilmu Pembagian Waris, Surabaya: Pustaka Progressif.
Hasbiyallah, 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hashbi, Muhammad, Teungku, 2010. Fiqih Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Ibn Rusyd, Imam Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid, Al-Maktabah Al-Syamilah.
 Muhammad, Abu Abdillah bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah, Shahih Bukhari, Kutubul Tis’ah.
Muhammad, Abu Abdillah bin Yazid Ar Raba’i Al Qazwani, Sunan Ibnu Majah, Kutubul Tis’ah.
Murod, Maghfur, Agus, TT. Al-Miftah fi ‘Ilmil Faraidh, Mranggen: TN.
Muslim, Abul Husain bin Al Hajaj Al Qusyairy, Shahih Muslim, Kutubul Tis’ah.
Sabiq, Sayyid, 1972. Fiqhus Sunnah, Juz 3, Kairo: Al-Fath Al-I’lam Al-‘Arabi.




       [1] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ar Raba’i Al Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Kutubul Tis’ah).
       [2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz 3, (Kairo: Al-Fath Al-I’lam Al-‘Arabi, 1972), Hlm. 290.
       [3] Teungku Muhammad Hashbi, Fiqih Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), Cet. 1, Hlm. 5.
       [4]  Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), Cet. 1, Hlm. 2.
       [5] A. Hasan, Al-Faraidh, Ilmu Pembagian Waris, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2003), Hlm. 23.
       [6] Teungku Muhammad Hashbi, Op. Cit., Hlm. 27.
       [7] Hasbiyallah, Op. Cit., Hlm. 12.
       [8] Abul Husain Muslim bin Al Hajaj Al Qusyairy, Shahih Muslim, (Kutubul Tis’ah).
       [9] Imam Ibn Rusyd Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid, (Al-Maktabah Al-Syamilah).
       [10] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah, Shahih Bukhari, (Kutubul Tis’ah).
       [11] A. Hasan, Op. Cit., Hlm. 33.
       [12] Agus Maghfur Murod, Al-Miftah fi ‘Ilmil Faraidh, (Mranggen: TN., TT.), Hlm. 22.
       [13] Abul Husain Muslim bin Al Hajaj Al Qusyairy, Op. Cit.
       [14] Imam Ibn Rusyd Al-Qurthubi, Op. Cit.
       [15] Hasbiyallah, Op. Cit., Hlm. 34.
       [16] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah, Op. Cit.
       [17] Teungku Muhammad Hashbi, Op. Cit., Hlm. 58.
       [18]  A. Hasan, Op. Cit., Hlm. 101.
       [19]  Hasbiyallah, Op. Cit., Hlm. 54.
       [20]  A. Hasan, Op. Cit., Hlm. 121.
       [21] Teungku Muhammad Hashbi, Op. Cit., Hlm. 262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar